RUU Cipta Kerja Sah, Pemerintah Tegaskan Soal Nasib Cuti Haid & Hamil Dalam Omnibus Law Cipta Kerja
"Jadi (UU) Cipta Kerja tidak menghapus cuti haid dan cuti hamil yang sudah diatur dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan," katanya dalam rapat paripurna,
SRIPOKU.COM - Senin (5/10/2020), DPR RI telah mengesahkan Rancangan Undang-undang (RUU) Cipta Kerja menjadi Undang-Undang.
Pengesahan Rancangan Undang-undang Cipta Kerja menjadi undang-undang menimbulkan kontra di kalangan buruh.
Sebelumnya Ketua Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal menegaskan, buruh tetap menolak keras kehadiran Omnibus Law RUU Cipta Kerja yang dinilai tidak berpihak kepada pekerja.
Lalu bagaimamna nasib soal cuti hamil atau haid?
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto memastikan cuti hamil dan cuti haid di UU Cipta Kerja tidak dihapus.
Pekerja wanita tetap bisa memanfaatkan cuti tersebut di waktu yang dibutuhkan.
Airlangga bilang, cuti tersebut sudah diatur dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan
"Jadi (UU) Cipta Kerja tidak menghapus cuti haid dan cuti hamil yang sudah diatur dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan," katanya dalam rapat paripurna, Senin (5/10/2020).
Nantinya, pemberian cuti ini disesuaikan dengan sektor mata pencaharian para pekerja, baik industri maupun digital.
Selain itu, mekanisme pemutusan hubungan kerja (PHK) juga tetap mengikuti persyaratan yang diatur dalam UU yang sudah ada.
"Mekanisme Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) juga tetap mengikuti persyaratan yang diatur dalam UU Ketenagakerjaan. Selain itu, RUU Cipta Kerja tidak menghilangkan hak cuti haid dan cuti hamil yang telah diatur dalam UU Ketenagakerjaan," jelas Airlangga ketika memberikan paparan usai pengesahan RUU Cipta Kerja, Senin (5/10/2020).
Di dalam UU Cipta Kerja sendiri, pasal mengenai hak cuti pekerja tertuang dalam pasal 79 Bab Ketenagakerjaan. Namun demikian, tidak ada klausul dalam beleid tersebut yang menjelaskan mengenai cuti haid atau melahirkan.
Di dalam pasal 79 ayat (1) draft RUU tersebut dijelaskan, pengusaha wajib memberi waktu istirahat dan cuti kepada pekerja.
Selanjutnya dijelaskan, waktu istirahat untuk di antara jam kerja diberikan paling sedikit setengah jam setelah bekerja selama empat jam terus menerus dan waktu istirahat tidak termasuk dalam jam kerja.
Sementara itu untuk istirahat mingguan diatur satu hari untuk enam hari dan kerja dalam satu minggu.
di sisi lain utnuk cuti wajib tahunan wajib diberikan paling sedikit 12 hari kerja setelah pekerja tersebut bekerja selama 12 bulan atau satu tahun.
"Pelaksanaan cuti tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.," tulis ayat (4) pasal tersebut.
Adapun selain waktu istirahat dan cuti yang telah dijelaskan di atas, perusahaan dapat memberikan istirahat panjang yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja sama.
Artikel ini telah tayang di kompas.com dengan judul Pemerintah Jamin Cuti Haid dan Hamil Tidak Dihilangkan dalam Omnibus Law Cipta Kerja
• Pengesahan RUU Cipta Kerja, Benarkan Upah Buruh Dibayar Lebih Rendah Dari UMK, Begini Penjelasannya
• Banyak Kontroversial RUU Omnibus Law Ciptakerja, Buruh Ancam Gelar Aksi Mogok Massal
Ketua Departemen Komunikasi dan Media KSPI, Kahar Cahyono, mengungkapkan terdapat pasal yang dinilai dapat merugikan buruh/pekerja.
Pertama, pasal 88C. Kahar menilai bunyi pasal itu berarti menghilangkan upah minimum sektoral kabupaten/kota.
Artinya, buruh yang saat ini upahnya mengacu upah minimum sektoral kabupaten/kota (UMSK) atau upah minimum kabupaten/kota (UMK) akan dirugikan.
"Pasal 88 C. Upah Minimum hanya UMP gitu? Tidak ada UMSK," kata Kahar dikutip dari Kontan.
Sebagai perbandingan, UMK 2020 di Kabupaten Karawang Rp 4.594.324, Kota Bekasi Rp 4.589.708, Kabupaten Bekasi Rp. 4.498.961, dan Kota Depok Rp 4.202.105.
Kemudian pasal 88D ayat (1), disebutkan formula kenaikan upah minimum hanya berdasarkan pertumbuhan ekonomi. Artinya, penetapan formula ini lebih buruk daripada penetapan kenaikan upah minimum berdasarkan PP 78 tahun 2015 tentang Pengupahan.
"Lah terus formula kenaikan cuma dikali ke Pertumbuhan Ekonomi? (Ini) Lebih buruk dari PP 78, yang kenaikannya berdasarkan inflansi dan pertumbuhan ekonomi," kata Kahar. Sebagai contoh, kenaikan UMP/UMK 2020 adalah 8,51 persen.
Berdasarkan Surat Kepala BPS Nomor B-246/BPS/1000/10/2019 Tanggal 2 Oktober 2019, inflasi pada tahun 2019 sebesar 3,39 persen, dan pertumbuhan ekonomi sebesar 5,12 persen.
"Kalau hanya pertumbuhan ekonomi, berarti naiknya hanya 5,12 persen," ungkap dia.
Sebagai informasi, berikut bunyi Pasal 88C yang akan ditambahkan ke dalam UU nomor 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan dalam RUU omnibus law cipta kerja.
Pasal 88C
(1) Gubernur menetapkan upah minimum sebagai jaring pengaman.
(2) Upah minimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan upah minimum provinsi.
Kemudian pasal 88D
Pasal 88D
(1) Upah minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 88C ayat (2) dihitung dengan menggunakan formula perhitungan upah minimum sebagai berikut:
UMt+1 = UMt + (UMt x %PEt).
"Sedangkan UMP Jawa Barat hanya Rp 1,81 juta," ucap dia.
Beda UMR, UMK, dan UMP
Dalam penetapan pengupahan di Indonesia, ada sejumlah skema yang biasa diterapkan. Pemilihan skema ini yang kemudian memengaruhi besaran upah yang diterima pekerja dari pengusaha.
Besarannya juga sangat tergantung dari masing-masing daerah yang umumnya menyesuaikan dengan harga kebutuhan pokok, tingkat inflasi, standar kelayakan hidup, dan variabel lainnya.
Upah minimum yang dibayarkan pengusaha kepada pekerja ini umumnya ditetapkan setiap tahun sekali.
Kenaikan upah minimum dibahas bersama antara pemerintah, pengusaha, dan pekerja atau lebih dikenal dengan tripartit.
Dalam skema pengupahan, orang mengenal Upah Minimum Regional (UMR).
Meski sering jadi pakem dalam penyebutan upah, skema pengupahan dengan model UMR sebenarnya sudah tak lagi digunakan.
Penerapan UMR diatur dalam Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor 1 Tahun 1999. Aturan ini kemudian direvisi lewat Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor 226 Tahun 2000, sehingga secara tidak langsung UMR kini sebenarnya sudah tak berlaku lagi.
Dalam regulasi lawas itu, dijelaskan bahwa UMR merupakan upah minimum yang penetapannya dilakukan oleh gubernur yang menjadi acuan pendapatan buruh di wilayahnya.
Dalam proses penetapannya, tim yang disebut Dewan Pengupahan melakukan survei kebutuhan hidup pekerja dari kebutuhan pangan, sandang, hingga rumah yang kemudian diperoleh angka Kebutuhan Hidup Layak (KHL).
Istilah UMR kemudian digantikan dengan UMP dan UMK. Meski dalam praktiknya tak lagi digunakan, UMR masih sering digunakan dalam penyebutan upah minumum, bahkan oleh sebagian orang lebih sering menyebut UMR ketimbang menggunakan UMP dan UMK.
Melalui Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor 226 Tahun 2000, UMR Tingkat I diubah menjadi Upah Minimum Provinsi (UMP). Sementara, UMR Tingkat II diubah menjadi Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK).
Artinya sebelum penggunaan istilah UMP dan UMK, semua penyebutan upah minimum menggunakan UMR, baik Tingkat I maupun Tingkat II. UMP merupakan perubahan nama dari UMR Tingkat I yang penetapannya oleh gubernur.
Sementara, UMK yang tak lain dulunya disebut UMR Tingkat II ini merupakan standar upah minimum yang berlaku di daerah tingkat kabupaten/kota, meski penetapannya tetap dilakukan oleh gubernur meski pembahasannya diusulkan oleh bupati atau wali kota.
Jika pada suatu kabupaten/kota belum bisa mengusulkan angka UMK, maka gubernur menjadikan UMP sebagai acuan untuk pemberian upah di kabupaten/kota tersebut.
Selain UMK dan UMP, ada dua istilah lain dalam aturan pengupahan. Pertama, Upah Minimum Sektoral (UMS) Provinsi, sebelumnya bernama Upah Minimum Sektoral Regional Tingkat I.
Adapun, di tingkat kabupaten/kota, dikenal dengan Upah Minumum Sektoral (UMS) Kabupaten/Kota. Sebelumnya, sebelumnya menggunakan istilah Upah Minimum Sektoral Regional Tingkat I.