Hari Kartini
Antara Siti Nurbaya dan RA Kartini
Gaung peringatan hari RA Kartini 21 April masih terasa semarak.Bagi anak-anak TK dan SD, mungkin perayaan hari tersebut identik baju khas nusantara
Oleh: Muhammad Walidin, M.Hum.
Dosen Jurusan Sastra Arab Fakultas Adab/Kaprodi Bahasa dan Sastra Arab UIN Raden Fatajlh
Gaung peringatan hari RA Kartini 21 April masih terasa semarak.

Bagi anak-anak TK dan SD, mungkin perayaan hari tersebut identik dengan berbagai baju khas nusantara, lalu melanggak lenggok di atas catwalk, dan akhirnya mendapatkan piala.
Dengan even seperti itu, sebenarnya kita sedang memperkenalkan kepada anak-anak tentang emansipasi wanita dalam bahasa yang menyenangkan.
Bagi kita yang dewasa, ada banyak jalan membahas masalah ini, mulai dari pendidikan gender hingga pendidikan sastra.
Nah, tulisan ini akan mengajak pembaca merunut kembali ide-ide emansipasi wanita dalam roman-roman terkenal, seperti Siti Nurbaya, Layar Terkembang dan Belenggu dengan memanfaatkan pendekatan intertekstual.
Kajian intertekstual berangkat dari asumsi bahwa sebuah karya lahir diinspirasi oleh aspek-aspek tertentu yang telah ada pada karya-karya sebelumnya.
Aspek-aspek tersebut adalah unsur-unsur budaya, termasuk teks-teks sastra yang ditulis sebelumnya.
Menurut Riffaterre, karya sastra yang menjadi latar penciptaan bagi karya kemudian itu disebut hipogram, yang bisa saja meneruskan konvensi, menyimpangkan, atau menolaknya.
Julia Kristeva juga meyakini adanya unsur hipogram ini dalam setiap karya.
Menurutnya, tiap teks merupakan sebuah mozaik kutipan-kutipan dan merupakan penyerapan serta transformasi dari teks-teks lain.
Akan tetapi yang perlu diingat bahwa manfaat dari analisis intertekstual ini adalah dalam rangka memberi makna hakiki dan penuh terhadap berbagai karya dengan cara mengkontraskan dengan teks hipogramnya.
Pembicaraan tentang emansipasi wanita dalam roman kali ini akan menemui benang merahnya bila terdapat usaha intertekstualisasi antara ketiga roman di atas.
Dapat dikatakan masalah emansipasi wanita ini pertama kali diangkat dalam sastra Indonesia Modern oleh Marah Rusli ke dalam romannya Siti Nurbaya (1922), lalu Sutan Takdir Alisyahbana (STA) dalam Layar Terkembang (1936), dan Armijn Pane dalam Belenggu (1940).
Masalah emansipasi wanita di dalam Siti Nurbaya diangkat secara verbal saja, namun memiliki pengaruh besar bagi sikap pengarang maupun pembaca setelahnya.
Siti Nurbaya menceritakan betapa nasib wanita berada di tangan-tangan lelaki di sekelilingnya.
Siti Nurbaya harus mengalah pada nasib untuk tidak meneruskan sekolah, sementara Samsulbahri teman dan calon kekasihnya meneruskan sekolah kedokteran ke Jakarta.
Kekalahan kedua, Siti Nurbaya harus rela menerima Datuk Maringgih sebagai suaminya karena ayah Siti Nurbaya terlibat hutang yang sengaja ditebar karena sang Datuk yang sudah ringkih ini ternyata doyan kawin.
Kekalahan Siti Nurbaya pada roman ini mengilhami tokoh Tuti dalam roman Layar Terkembang untuk menjadi lebih terpelajar dan menjadi pejuang emansipasi wanita.
Perjuangan wanita ini digemakan dalam pidato-pidato Tuti di depan berbagai majelis secara bergelora dan menggebu.
Tuti juga berusaha mengamalkan persamaan hak ini dalam kehidupannya serta mengajak kaum wanita untuk melakukan hal yang sama demi kemajuan bangsa.
Tuti sebagai wujud transformasi ide-ide kamajuan sebagai mana dikemukakan dalam Siti Nurbaya, digambarkan sebagai berikut.
Tuti adalah wanita yang insaf akan dirinya.
Ia tahu andai ia pintar, maka banyak hal yang bisa dicapai.
Ia kukuh pendirian, tak suka beri memberi, gelisah bekerja, dan berjuang untuk cita-cita sesuai dengan pikirannya yang luhur.
Ia seorang pemimpin perkumpulan wanita ’Puteri Sedar’ yang menyakini bahwa perempuan bangsanya memiliki nasib amat buruk dan diikat oleh beratus-ratus ikatan, yang harus tunduk pada kehendak kaum laki-laki sebagaimana terjadi pada Siti Nurbaya.
Ia sangat konsekwen dalam perjuangan emansipasi yang terwujud dalam pembatalan pertunangan dengan Hambali, putera Bupati Serang karena tidak memiliki persamaan persepsi.
Ia juga menolak lamaran Supomo yang tulus mencintainya, tetapi sebaliknya ia tidak mencintainya.
Pada akhirnya, Tuti mendapatkan lelaki ideal, yaitu Yusuf.
Ia dapat menghormati dan memahami hak-hak wanita serta teman yang baik dalam berdiskusi.
Pada keduanya, timbul perasaan saling menghargai dan saling mencintai.
Hubungan Yusuf dan Tuti tersebut dapat dikatakan sebagai transformasi pikiran Siti Nurbaya-nya Marah Rusli.
Belenggu tampaknya mereaksi Layar Terkembang dalam hal emansipasi wanita meskipun tidak seluruhnya.
Emansipasi wanita yang menggebu-gebu diperjuangkan STA lewat tokoh Tuti direaksi oleh tokoh Tini ’yang sangat terpelajar’.
Jadi hubungan intertekstual antara Layar Terkembang dengan Belenggu adalah hubungan pertentangan.
Belenggu hendak meluruskan pengertian yang tidak benar tentang emansipasi wanita ‘yang berlebihan’.
Tokoh-tokoh dalam kedua roman ini memiliki kesejajaran.
Tini dalam Belenggu adalah pejuang emansipasi wanita sebagaimana Tuti dalam Layar Terkembang. Sementara Tono memiliki kesejajaran dengan Yusuf.
Yusuf mahasiswa sekolah tinggi kedokteran sedangkan Tono dokter lulusan sekolah tinggi kedokteran.
Adapun perbedaannya, terutama tokoh Tuti dan Tini sangat kontras.
Tuti wanita yang menerima lelaki pasangannya, bahkan dapat mengagumi sekaligus menghormatinya dan akhirnya ia mau menjadi istri Yusuf.
Sementara Tini selalu melawan pikiran Tono, suaminya dan tidak mau mengurus keperluan suaminya.
Ia seorang egois yang hanya memikirkan kesenangan sendiri.
Dalam Belenggu, Tini lebih digambarkan sebagai tokoh karikatur, seorang perempuan yang secara berlebihan menuntut persamaan hak dengan lelaki sehingga melalaikan tugasnya sebagai ibu rumah tangga.
Bila ia dimintai tolong oleh suaminya, ia merasa sebagai diperbudak.
Belenggu hendak mengoreksi keinginan kaum wanita yang ingin ‘bebas 100%’ seperti tokoh Tini.
Akhirnya, Tono merasa Tini tidak menjalankan tugasnya sebagai istri.
Ia berpaling ke tokoh Yah yang keibuan dan selalu menyambutnya dengan penuh kecintaan, melebihi istrinya sendiri.
Yah mengerti kesukaan ’suami’; memberi sigaret kesenangannya, menyulutkan rokoknya, menanggalkan baju dokter dan sepatunya.
Tono merasa seolah-olah telah tercapai cita-citanya.
Menurut Tono, Yah adalah wanita sejati.
Di rumah Yah, Tono hatinya tenang dan merasa tentram.
Tentu saja, hal ini menggambarkan rumah tangganya yang hancur berantakan.
Dari kedua roman di atas, kehidupan pasangan modern dan terpelajar berbeda arah. Takdir mengisyaratkan kebahagiaan jatuh kepada pasangan Tuti dan Yusuf dalam Layar Terkembang, sementara Tono dan Tini menggapai nasib buruknya dalam Belenggu.
Dari penjelasan di atas dapat dimaknai bahwa roman Belenggu akan mendapat makna hakikinya bila dikontraskan dengan Layar Terkembang yang menjadi hipogramnya.
Begitupun Layar Terkembang akan mendapat makna penuh bila disejajarkan dengan Siti Nurbaya.
Layar Terkembang meneruskan ide-ide emansipasi wanita yang dikemukakan dalam Siti Nurbaya.
Sedangkan Belenggu menentang ide-ide emansipasi yang berlebihan yang menyebabkan kehidupan rumah tangga hancur dan tak bahagia, penuh ketidakharmonisan, dan ketegangan.
Hal ini kontras dengan ide emansipasi dalam Layar Terkembang yang menghendaki wanita bebas menentukan nasibnya, bahkan kalau perlu tidak usah kawin bila tanpa cinta dan haknya tidak sama dengan laki-laki.
RA Kartini sebagai pejuang emansipasi wanita tampaknya akan sangat sedih melihat kaumnya hanya tamat pendidikan dasar sebagai mana Siti dalam Siti Nurbaya.
Ia juga akan sangat kecewa bila kaumnya terlalu ’maju’ seperti Tini dalam Belenggu.
Akan tetapi, ia akan sangat respek dengan wanita yang berprinsip sebagaimana tokoh Tuti dalam Layar Terkembang yang bisa memaknai esensi emansipasi dengan benar. SELAMAT HARI KARTINI