Bilangan dalam Naskah Palembang

Mengenal Satuan Bilangan dalam Naskah Palembang

SEBAGAI salah satu pusat peradaban di Nusantara, Palembang memiliki hasanah kekayaan budaya yang luar biasa, tidak terkecuali dengan satuan

Editor: Salman Rasyidin
zoom-inlihat foto Mengenal Satuan Bilangan dalam Naskah Palembang
sripo/dok
Dr Muhammad Adil, MA

Mengenal Satuan Bilangan dalam Naskah Palembang

Oleh: Dr  Muhammad Adil, MA

Dosen Pascasarjana UIN Raden Fatah dan Pemerhati Naskah Palembang

SEBAGAI  daerah yang pernah menjadi salah satu pusat peradaban di Nusantara, Palembang memang memiliki hasanah kekayaan budaya yang luar biasa banyaknya, tidak terkecuali dengan satuan bilangan.

Tentu saja, satuan bilangan merupakan bagian penting yang pernah digunakan dan dipraktikkan oleh masyarakat sebagai alat komunikasi, baik tutur maupun tulisan.

Satuan bilangan seperti laksa dan keti selalu ditemukan dalam banyak naskah yang ditulis atau disalin oleh ulama Palembang.

Misalnya, dalam naskah Atiah al-Rahman karya Syeikh Muhammad Azhari yang ditulis pada tahun 1840M.

Ketika menjelaskan jumlah para nabi pada lembar ke-14 disebutkan bahwa satuan bilangan keti dan laksa: “…

Adapun bilangan nabinya itu demikian juga pada satu riwayat seketi dua laksa empat ribu, dan pada satu riwayat seketi dua laksa lima ribu, dan pada satu riwayat empat keti dua laksa empat ribu, dan pada satu riwayat duabelas keti”.

Sedangkan pada naskah Hikayat Palembang, penggunaan istilah ini dapat dijumpai ketika menuliskan kontrak yang dibuat oleh Kompeni dengan Palembang: “Mau bayar satu kali itulah empatpuluh laksa ringgit, dengan budak laki-laki empat puluh, dan budak perempuan empat puluh orang…”. 

Dari dua naskah ini, sepertinya istilah laksa dan keti adalah istilah yang mudah untuk dipahami oleh pembaca kala itu.

Ketika menyebutkan jumlah bilangan untuk menyatakan jumlah yang lebih banyak.

Dari sini juga kita dapat memahami bahwa istilah juta belum digunakan.

Persoalannya adalah sejak kapan satuan bilangan seperti ini digunakan secara definitip?

Pertama, satuan bilangan laksa. Sebenarnya, istilah laksa jika ditelusuri melalui sumber tertulis, maka diperoleh informasi yang sangat menarik bahwa satuan bilangan ini ternyata sudah cukup lama digunakan oleh masyarakat.

Paling tidak, sudah sejak Abad ke-7M. 

Laksa sudah dimuat dalam prasasti Kedukan Bukit yang berisi tentang eksistensi Kedatuan Sriwijaya.

Prasasti ini ditemukan di Palembang bertarikh 604 Saka (682M).

Prasasti ini oleh para ahli, didapuk sebagai prasasti yang berangka tahun tertua di Indonesia.

Ditulis menggunakan huruf Pallawa dan berbahasa Melayu Kuno (Sumatera Kuno).

Baris kelima dari sepuluh baris yang ada, berbunyi: “tamwan mamawa yang wala dua laksa dengan kosa”.

Jika diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia yaitu: “tambahan membawa balatentara dua laksa dengan perbekalan”.

 Dua Laksa dalam prasati ini, oleh para ahli, seperti George Codes, Philipus Samuel van Ronkel, dan Slamet Mulyana dibaca dan dipahamai dengan 20.000 (duapuluh ribu).

 Artinya, laksa itu adalah satuan bilangan untuk menyatakan “puluhan ribu”.

Karenanya, selaksa atau satu laksa, berarti 10.000.

Prasasti Kedukan Bukit ini menguraikan Jayasiddhayatra (perjalanan Jaya) dari penguasa Kerajaan Sriwijaya yang bergelar Dapunta Hyang.

Perjalanan ini dikisahkan bahwa Dapunta Hyang disertai dengan jumlah balatentara yang cukup banyak dengan membawa perbekalan.

Para ahli, seperti George Codes melihat bahwa kondisi ini sebagai perjalanan yang sangat penting, bahkan dipahami sebagai perjalanan ekspedisi militer dalam menaklukkan suatu daerah.

Perjalan itu ditempuh dengan cara menaiki perahu dimulai pada tanggal 11 Waisaka 604 (23 April 682M).

Dapunta Hyang berangkat dari suatu tempat bernama Minanga pada 7 Jesta (pada tanggal 19 Mei) dengan membawa lebih dari 20.000 balatentara.

Rombongan itu kemudian tiba di Muka Upang, yang sampai kini tempat yang disebutkan itu masih ada, dan berada persis di pinggir Sungai Musi sebelah Timur Palembang.

Karena sukses dalam ekspedisi militer itu, maka Dapunta Hyang membuat Wanua pada 5 Asada (16 Juni 682).

Kedua, satuan bilangan yang disebut dengan keti (seketi). Satuan bilangan ini sering dijumpai dalam manuskrip karya ulama Palembang.

Ternyata, jika dilakukan penelusuran, satuan bilangan ini juga dikenal dalam naskah Nagarakertagama karya Empu Prapanca, misalnya pada Pupuh XIII dengan sebutan kati (huruf kedua, “a”).

Kata ini terlihat ketika menjelaskan hubungan Majapahit dengan Tanjungpura di Kalimantan, berita berasal dari dinasti Ming: “…Hyawang dan pamannya konon memberitahukan bahwa kerajaannya setiap tahun membayar upeti sebanyak empatpuluh kati kapur barus kepada raja Jawa, mereka mohon agar kisar mengeluarkan pengumuman tentang pembatalan upeti itu agar upeti itu dapat dikirim ke negara kaisar”.

Empatpuluh kati sesuai dengan bahasa yang digunakan dalam naskah Negarakertagama, menurut para ahli dianggap sebagai kata yang berasal dari bahasa Melayu Kuno.

Penggunaan Bahasa Melayu kuno ini penting untuk menjadi perhatian, karena prasasti Kedukan Bukit juga menggunakan Bahasa Melayu kuno. 

Selain itu, untuk memeroleh gambaran yang lebih jelas tentang satuan bilangan kati, maka saya akan meminjam istilah yang digunakan untuk menyatakan nilai atau harga tanah pada periode abad ke-9 sampai ke-10.

Pada masa ini, terdapat dua prasasti yang dapat dijadikan sampel, yaitu prasasti Sumpit (tahun 878M) dan prasasti Hering (934M).

Prasasti yang Sumpit menyebutkan peristiwa jual beli tanah sawah seluas 3 tampah dengan harga emas senilai satu kati (emas satu kati). 

Kati dalam konteks ini, digunakan untuk menjelaskan tentang ukuran berat. Karenanya, satu kati hampir sama beratnya dengan 750 gram.

Para ahli sepertinya membedakan penggunaan istilah kati dengan keti.

Jika kati untuk menyatakan ukuran berat, maka keti tampaknya mirip dengan yang digunakan dalam prasasti Kedukan Bukit, dan juga dalam berbagai naskah karya ulama Palembang yaitu untuk menyatakan satuan bilangan.

Perbedaan ini terjadi karena uang kala itu berupa lempengan emas, perak, dan tembaga.

Lempengan uang yang terbuat dari tembaga adalah jenis mata uang yang paling rendah nilainya disebut dengan istilah picis.

Karenanya, picis atau satu picis ini, jika dikonversi ke dalam satuan bilangan, maka keti atau seketi itu sama nilainya dengan 100.000 picis.

Dengan demikian, kita dapat memahami satuan bilangan laksa dan keti, baik yang terdapat dalam naskah Atiah al-Rahman, maupun Hikayat Palembang di atas sebagai berikut: seketi dua laksa empat ribu (124.000), seketi dua laksa lima ribu (125.000), empat keti dua laksa empat ribu (424.000), duabelas keti (1.200.000), dan empatpuluh laksa (40.000) ringgit.

Kita, kemudian dapat memahami bahwa penggunaan satuan bilangan laksa telah digunakan jauh sebelum prasasti Kedukan Bukit yang ditemukan di Palembang.

Demikian juga dengan satuan bilangan keti.

 Laksa dan keti adalah satuan bilangan yang telah digunakan oleh masyarakat Palembang dalam bentuk tutur dan tulisan beraksara Pallawa dan berbahasa Sumatera Kuno.

 Inilah di antara hasanah peninggalan masa lalu yang sekarang sudah dilupakan, karena tidak dipakai lagi oleh masyarakat kita.

 Belum lagi, di Palembang pada masanya juga pernah mengalami kejayaan menggunakan banyak ragam aksara, seperti aksara Ulu (ka gha nga), aksara Arab Jawi, dan kemudian, aksara latin seperti sekarang.

Satuan bilangan keti dan laksa, sekarang ini mungkin tidak terlalu memiliki makna lagi.

Tapi, sebagai peninggalan kekayaan budaya masa lalu, mungkin pihak yang terkait perlu mengkaji ulang hasanah ini.

Mungkin berguna untuk kepentingan akademik, dan mungkin juga berguna untuk menjawab keraguan sebagian orang yang masih beranggapan bahwa Sriwijaya adalah khayalan, imajinasi, atau dongeng.

Satuan bilangan seperti keti dan laksa dapat menjawab keraguan itu karena dimuat dalam prasasti.

Sumber: Sriwijaya Post
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved