Wawancara Eksklusif
Omnibus Law Cipta Kerja Dimata DR Muhammad Erwin, SH MHum, Pekerja Perusahaan Kena Dampak
Kini draf RUU tersebut menjadi sorotan masyarakat karena jika nantinya memang berlaku dikhawatirkan hanya banyak membawa dampak kerugian.
PEMERINTAH telah menyampaikan Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja yang dirumuskan dengan metode Omnibus Law kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI). Kini draf RUU tersebut terus menjadi sorotan masyarakat karena jika nantinya memang berlaku dikhawatirkan hanya banyak membawa dampak kerugian.
DR. Muhamad Erwin, S.H., M.Hum, Dosen Politeknik Negeri Sriwijaya, Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya, dan STIHPADA sebagai akademisi hukum melihat pada dasarnya Omnibus Law diadakan sebagai suatu bentuk konsolidasi terhadap beberapa peraturan sehingga dapat membuatnya menjadi satu tujuan. Jadi, dalam fungsinya untuk harmonisasi. Niat baik pemerintah tersebut adalah untuk kepastian hukum dan kejelasan pada suatu materi agar tidak tumpang tindih, kemudian untuk penyederhanaan pemangku kepentingan agar dapat berlaku lebih efektif.
Hanya saja, terlihat beberapa poin yang menurutnya jadi sisi negatif RUU Cipta Kerja ini. Seperti pada pasal 170 ayat 1 BAB XIII RUU Cipta Kerja dimana Kepala Negara mempunyai kewenangan untuk mengubah Undang-Undang melalui Peraturan Pemerintah (PP). Berikut wawancara eksklusif terkait RUU Cipta Kerja
• Menurut pandangan Anda seperti apa RUU Cipta Kerja ini yang belakangan menimbulkan pro-kontra masyarakat?
Seperti pada Pasal 170 ayat 1 RUU Cipta Kerja tersebut dimana Kepala Negara dapat mencabut Undang-Undang melalui Peraturan Pemerintah (PP), ini aneh sekali dalam istilah hukum tata negara telah melanggar asas contrarius actus (badan atau pejabat tata usaha negara yang menerbitkan keputusan tata usaha negara dengan sendirinya membatalkan). Padahal sudah jelas dalam hierarki peraturan perundang-undangan pada Pasal 7 UU No. 12 Tahun 2011 yang menentukan bahwa PP itu di bawah UU. Kok bisa PP mencabut UU. Harusnya merubah UU lazimnya bukan PP tapi diadakan RUU perubahan atau jika ingin dicabut maka dilakukan RUU Pencabutan, tidak bisa sewenang-wenang PP mencabut UU.
Di sana juga saya cermati pada Pasal 251 Draf RUU Cipta Kerja dimana kepala negara juga mempunyai kewenangan mencabut Peraturan Daerah (Perda) melalui Peraturan Presiden (Perpres). Di situ terkesan adanya otoritarianisme pada kekuasaan Presiden.
Secara teoritis, peranan dan fungsi investasi itu sendiri dalam sistem perekonomian dapat digambarkan dengan rumus Y=C+I+G+(X-I).
Y = Pendapatan nasional dengan pendekatan pengeluaran; C = Konsumsi nasional; I = Investasi; G = Pengeluaran Pemerintah; X = Ekspor; I = Impor.
Dari pemahaman tersebut terlihat bahwa investasi merupakan salah satu instrumen yang sangat menentukan dalam peningkatan perekonomian suatu negara.
• Apakah sisi positif dan negatifnya RUU Cipta Kerja?
Sisi positifnya, seperti pada pengaturan tentang urusan investasi memang begitu nyata ditampilkan untuk penyederhanaan soal perizinan. Dimana proses perizinan yang berbelit benar dipangkas. Ini menjadi karpet merah bagi investor.
Negatifnya, yang saya perhatikan semisal pada RUU Cipta Kerja dimana saya mencermati kurang berpihak pada tenaga kerja terlihat mulai dari penghapusan Upah Minimum Kabupaten/Kota. Kemudian terdapat perpanjangan waktu lembur yang sebelumnya pada UU No. 13 Tahun 2003, waktu lembur maksimal 3 jam dalam sehari atau 14 jam dalam seminggu tapi pada RUU Cipta Kerja diperpang menjadi 4 jam dalam sehari atau 18 jam dalam seminggu.
Lalu terdapat pula penghapusan pengupayaan pengusaha, pekerja, serikat pekerja agar dapat mencegah PHK. Padahal pada UU nomor 13 tahun 2003 sebelum PHK harus ada pengupayaan baik dari pekerja, perusahaan atau serikat pekerja untuk mencegah PHK terjadi.
Kemudian Pasal 89 RUU Cipta Kerja terdapat penghapusan pengecualian asas “no work no pay” terhadap hak pekerja perempuan yang sakit pada hari pertama dan kedua masa haidnya sehingga tidak dapat melakukan pekerjaan namun tetap memperoleh upah yang sebelumnya diatur pada Pasal bersama Pasal 93 ayat (2) huruf b UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
• Jika ini disahkan, profesi yang paling terdampak?
Terutama pada pekerja yang ada di perusahaan sudah pasti. Karena dalam RUU Cipta Kerja ini telah membentangkan karpet merah untuk kehadiran investor dan kapitalisme. Salah satu tolok ukurnya nampak pada tataran perumusan materi muatan bagian ketenagaakerjaan dalam RUU Cipta Kerja yang terdesentralisasi dengan suatu pasar kompetitif sebagai suatu syarat utama untuk mewujudkan efisiensi optimum alokasi sumber daya dan dalam hubungan di antara pekerja dengan pengusaha.
• Saat ini memang belum disahkan, apa saran yang bisa disampaikan?
Sekarang RUU Cpta Kerja ini memang sudah ada di tangan DPR. Disinilah peran DPR RI untuk membahasnya secara hikmat kebijaksaan dalam memperbaikinya sesuai dengan nilai-nilai yang terkandung pada lima sila Pancasila dan Panca Krida Hukum Ketenagakerjaan yang berketetapan untuk 1. Membebaskan manusia Indonesia dari perbudakan, perhambaan; 2. Pembebasan manusia Indonesia dari rodi atau kerja paksa; 3. Pembebasan buruh/pekerja Indonesia dari poenale sanksi; 4. Pembebasan buruh/pekerja Indonesia dari ketakutan kehilangan pekerjaan; dan 5. Memberikan posisi yang seimbang antara buruh/pekerja dan pengusaha.
• Apa Harapan Anda?
Saya berharap pembahasan RUU ini dapat menyeimbangkan di antara nilai keadilan dengan nilai kepastian hukum dan nilai kemanfaatan. (rahmaliyah)