Kampus Merdeka

Merdeka Belajar Dalam Kampus Merdeka, Seperti apa?

Kebaruan terobosan me­n­­dikbud setelah mencermati keberlangsungan pendidikan tinggi selama ini mendatangkan ke­ge­lisahan tersendiri.

Editor: Salman Rasyidin
ist
Dr. Houtman Mpd 

Merdeka Belajar Dalam Kampus Merdeka, Seperti apa?

Dr. Houtman Mpd

Dosen Pascasarjana Universitas PGRI Palembang

Tampak seperti bermain kata, kala topik ini mengemuka.

Betapa tidak, kebaruan terobosan me­n­­dikbud setelah mencermati keberlangsungan pendidikan tinggi selama ini mendatangkan ke­ge­lisahan tersendiri.

Terpuruknya kualitas pendidikan tinggi di kancah dunia, membuktikan per­lu adanya revolusi pendidikan di tanah air

. Geliat aktivitas kampus, seperti gejolak ge­lom­bang dengan frekuensi rendah.

Tenang nyaris tanpa gejolak.

Gejolak yang dimaksud tentu me­ng­arah pada pada apa yang diperoleh dan dibuktikan oleh insan akademik, utamanya ma­ha­sis­wa.

Dalam peluncuran Merdeka Belajar:

Kampus Merdeka di Gedung D Komplek Kemendikbud 24 Januari 2020, Mendikbud yang memunculkan kebijakan empat fokus utama Kampus Mer­de­ka:

1. Otonomi untuk Perguruan Tinggi Swasta (PTS) dan Perguruan Tinggi Negeri (PTN) untuk me­ngadakan pembukaan dan penambahan program studi baru.

2. Program re-akreditasi yang bersifat otomatis dan sukarela bagi Perguruan Tinggi dan program studi yang telah siap un­tuk naik peringkat.

3. Menyangkut pada kebebasan bagi Perguruan Tinggi Negeri Badan La­yan­an Umum (BLU) serta Satuan Kerja (Satker) untuk menjadi Perguruan Tinggi Negeri Badan Hu­kum (PTN BH).

4. Akan memberikan hak kepada setiap mahasiswa Perguruan Tinggi untuk da­pat mengambil dan menambah mata kuliah yang berada di luar program studi.

Menanggapi butir pertama kebijakan yang diluncurkan, terlihat adanya upaya percepatan untuk me­mo­sisikan keotonomian perguruan tinggi dalam meningkatkan kiprah lembaga dan keber­da­yaan alumninya.

Untuk itu melalui kebijakan ini, PTS dan PTN diberi kesempatan untuk bekerja sa­ma dengan organisasi luar negeri atau universitas yang berada dalamQS Top 100 World Universities.

Keadaan ini berdampak pada munculnya program studi baru yang tentu saja diha­rap­kan akan banyak peminatnya.

Situasi ini terkadang dapat membawa keterpurukan bagi PT yang belum memiliki kemampuan untuk membuat terobosan kerjasama.

Tipis harapan rasanya a­kan ada organisasi atau perguruan tinggi besar yang mau bekerja sama dengan perguruan tinggi yang dianggap jauh di bawah standar.

Tentu saja tidak semua Perguruan Tinggi atau organisasi be­sar seperti itu.

Namun yang pasti bahwa kebijakan butir pertama ini jelas mengarah pada perubahan orientasi lu­lusan yang sudah memiliki kemampuan konkret dari keilmuannya.

Pesan yang dalam jelas sudah disampaikan bahwa perkembangan dunia pendidikan saat ini harus mampu mengiringi kebutuhan riil masyarakat.

Program studi yang masih mengandalkan kekuatan teoretis perlu se­ge­ra menyesuaikan dengan kebutuhan.

Belajar tentang ilmu bahasa, tentu tidak belajar tentang teori bahasa (walau ini tentu perlu).

Namun mampu memanfaatkan bahasa sebagai sarana untuk pelbagai kebutuhan, misalnya komunikasi yang akurat untuk pelbagai transaksi dan persoalan so­­sial kemasyarakatan lainnya, tentu lebih diutamakan.

Menyikapi kebijakan kedua, untuk saat ini masih diperlukan kontrol yang kuat dari lembaga pe­ne­tap peringkat.

Salah satu kebiasaan yang sudah harus diubah adalah, dalam menghadapi akre­di­tasi, lembaga PT cenderung akan berjuang mati-matian untuk mengejar peringkat.

Putusan pe­ringkat akreditasi, saat ini adalah nyawa bagi keberlangsungan program studi atau perguruan ti­nggi tersebut.

Keinginan untuk akreditasi yang sukarela, tentu membawa angin segar sekaligus me­munculkan pertanyaan.

Angin segar dapat bermakna bahwa PT tidak akan berlomba-lomba un­tuk mengejar peringkat yang lebih tinggi jika dirasa masih belum mampu.

Yang penting sudah me­menuhi standar BAIK.

Pertanyaan menjadi muncul karena sepertinya, pemerintah lebih melihat bahwa peringkat akre­ditasi adalah hasil dari sebuah usaha yang secara nyata telah dilakukan.

Peringkat bersifat me­nye­suaikan dari sebuah capaian. Jadi simbol peringkat adalah julukan dari sebuah kegiatan besar a­tau capaian besar dari keterpakaian dan kemumpunitasan lulusan.

Jadi, yang dikejar adalah PT ya­ng mampu memproduk lulusan yang SIAP BEKERJA, bukan SIAP MENCARI PEKERJA­AN.

Kebijakan ketiga kembali memberi kesempatan bagi PTN untuk memosisikan PT-nya agar dapat lebih berinovasi dan memberikan terobosan serta target tertentu dari lembaganya.

Dengan status yang ditawarkan PTN tentu akan lebih dapat menetapkan orientasi lembaganya.

Dalam bidang pe­nelitian misalnya, terlihat jelas bahwa Indonesia sangat membutuhkan kualitas riset yang ba­gus.

Dalam menanggapi kebijakan kampus merdeka, Menristek menyatakan bahwa pokok kebi­jak­an Kampus Merdekabertujuan memberikan kebebasan kepada mahasiswa untuk mening­kat­kan kualitasnya sejalan dengan harapan Kemenristek/BRIN yang ingin mendorong demo­kra­tisasi penelitian.

Karena itu Kemenristek mendukung sinergi Kemendikbud dengan Kemen­ris­tek dengan harapan capaian unversitas kelas dunia dapat terlaksana melalui riset.

Keadaan saat ini menunjukkan bahwa peneliti paling banyak ada di PTN BH.

Maka tanpa par­ti­sipasi aktif dan konstruktif dari PTN dan PTS dalam melakukan penelitian, impian untuk me­raih QS world ranking akan sulit tercapai,”

Kebijakan terakhir adalah sebuah penajaman atas kualitas lulusan.

Pemberian kesempatan untuk memanfaatkan tiga semester di luar program studinya, jelas memberikan keleluasaan mahasiswa untuk menetapkan arah hidup.

Namun yang perlu dipertimbangkan adalah prsiapan dan kesiapan antarprodi dan perguruan tinggi untuk mewujudkan kebijakan ini.

Penyiapan paket kerjasama ha­rus dapat dilakukan dengan perhitungan yang tepat.

Tidak mudah untuk dapat secara langsung dan serta merta memberikan kebebasan kepada mahasiswa untuk memilah dan memilih apa yang di­inginkannya.

PT dan prodi tentu harus memfasilitasinya . yang pasti, perhitungan atas besaran dana yang dikeluarkan oleh mahasiswwa patut diperhitugkan.

Memang, kebijakan ini sangatlah baik. Namun perlu dilakukan analisis yang tepat, utamanya menyangkut masalah besaran biaya sekaligus pilihan atas keilmuan yang dipilih untuk menunjang ilmu utama yang ditekuni.

Mu­ng­kin, ada baiknya perlu disiapkan paket keilmuan tambahan, bukan menyertakan diri di program studi lain atau lembaga lain selama tiga semester.

Kerjasama dengan lembaga PT lain jelas perlu dilakukan dalam upaya menyiasati “tiga semester” ini. Perhatikan pernyataan menteri ini.

“Per­guruan tinggi harus diberikan kepercayaan untuk melakukan inovasi ini, jadi seluruh kampus mer­deka ini bisa mengakselerasi prosesresearch.

Di Kampus Merdeka, kami buka kesempatan ti­ga semester dari delapan semester bagi mahasiswa melakukanimmersive learningdi luar pro­di, salah satunya dia bisa mengambilresearch project,”

Pernyataan Ketua BEM UGM, Fajar, cukup menggelitik bahwa harus ada pengaturan yang jelas ba­gi perusahaan yang membuka pemagangan bagi mahasiswa nantinya.

Ia khawatir, program ma­gang yang dicanangkan justru menjadi alat bagi industri untuk mendapatkan tenaga kerja mu­rah.

Tanggung jawab penyesuaian ini seharusnya tidak hanya dibebankan pada perguruan tinggi, te­tapi juga lembaga non-pendidikan untuk melindungi mahasiswa pada saat melakukan salah satu bentuk pembelajaran sehingga tidak dieksploitasi industri.

Kampus Merdeka adalah pola ba­ru dalam sistem pembelajaran pendidikan tinggi di Indonesia sehingga akan ada banyak hal yang perlu disesuaikan mulai dari kurikulum, dosen, sistem informasi, dan lain-lain.

Tanya kepada diri sendiri. Sudahkan Kita berada dalam Kampus yang Merdeka?

Kemerdekaan se­perti apa yang sesungguhnya diharapkan?

Apakah kebijakan ini adalah sebuah kemerdekaan bagi Kemdikbud atau bagi Pengguna lulusan, atau bagi mahasiswa?

Ataukah sebenarnya kita ti­dak perlu merdeka mengingat bahwa Kampus merdeka yang sesungguhnya kita harapkan adalah se­buah Kampus yang Tidak Merdeka. Karakteristik masyarakat Indonesia perlu dipahami secara tepat.

Budaya mencari kerja dan budaya capaian prestasi akademik dalam transkrip nilai masih men­jadi sasaran utama.

Romantisme kurikulum, kesiapan lapangan kerja, arogansi perguruan ting­gi (besar), kesatupahaman segenap insan akademik, dan kesadaran bahwa Indonesia perlu percepatan peningkatan kualitas SDM, masih sangat perlu untuk dimengerti secara benar.

Yang pasti, Mas Menteri tentu punya rencana baik yang juga harus dilakukan dan dilanjutkan oleh orang-orang yang berkemauan baik dan bermental baik.

Sumber: Sriwijaya Post
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved