Wawancara Eksklusif Bagian 1
Mahfud MD, Sipil Pertama Jabat Menkopolkam, Kaget saat Prabowo Ditunjuk Jadi Menteri Pertahanan
Sebagai Menkopolhukam, Mahfud MD mengkoordinasikan sejumlah kementerian, termasuk Kementerian Pertahanan.
KETIKA Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyusun Kabinet Indonesia Maju, ada sebuah keunikan di posisi Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan (Polhukam). Jokowi memilih Prof Dr Mahfud MD SH, orang sipil pertama yang menjabat Menkopolhukam semenjak kementerian itu ada.
Sebagai Menkopolhukam, Mahfud MD mengkoordinasikan sejumlah kementerian, termasuk Kementerian Pertahanan. Secara mengejutkan Presiden Joko Widodo (Jokowi) menunjuk Prabowo Subianto, bekas rivalnya dalam Pilpres 2019, menjadi Menteri Pertahanan (Menhan).
Berikut petikan wawancara eksklusif tim Redaksi Tribun Network, dipimpin Regional Newspaper Director Febby Mahendra Putra, dengan Mahfud MD di kantor Kemenkopolkam, Jakarta, Selasa (19/11).
Apakah Presiden Jokowi sempat memberitahu atau minta pendapat Anda sebelum menunjuk Prabowo Subianto sebagai Menteri Pertahanan (Menhan)?
Tidak. Saya juga kaget kok. Ketika muncul nama Pak Prabowo, saya kaget betul.
Tidak menyangka, Pak Prabowo ke situ (jadi Menhan).
Saya pikir Pak Prabowo akan menjadi Ketua Wantimpres (Dewan Pertimbangan Presiden). Tapi beliau mau menjadi Menhan, ya saya kaget. Saya pikir bagus juga karena dia punya latar belakang soal itu.
Saya menyatakan kaget itu bukan berarti tidak setuju. Kaget karena tidak menyangka.
Sepengetahuan saya, tidak hanya dalam konteks Menteri Pertahanan ya, semua menteri yang diangkat ini merupakan pilihan Presiden Jokowi secara independen.
Masukan-masukan mungkin saja ada, tetapi dia tetap memilihnya sendiri. Makanya ada yang kaget juga, kok itu jadi Menteri Agama, kok itu jadi Menteri Pendidikan. Surprise. Artinya apa, tidak bisa orang mengintervensi Presiden.
Baru-baru ini saya sampaikan ke Pak Jokowi, “Pak satu hal yang mendapat apresiasi dari masyarakat, penyusunan kabinet kali ini Bapak independen. Tidak mau didikte.” Saya katakan itu ke beliau.
Presiden menegaskan para menteri koordinator mempunyai hak veto terkait dengan kementerian yang berada di bawah koordinasinya. Muncul selentingan, hak veto diperlukan supaya Anda bisa mengontro Menhan Prabowo, benarkah?
Ah tidak. Selama ini Pak Rabowo sebagai Menhan tidak ada masalah. Apa yang dilakukan oleh Pak Prabowo sebagai Menteri Pertahanan tidak ada sama sekali berbenturan dengan policy Presiden.
Saya kira baik-baik saja. So far so good, dan saya kira begitu jua untuk selanjutnya. Harus diingat, Indonesia menganut sistem presidential.
Dalam rapat Menkopolhukam, Prabowo selalu hadir?
Baru rapat satu kali beliau persis kunjungan ke Tangerang, Pandeglang, atau apa, jadi yang hadir (rapat) Wakil Menteri Pertahanan (Wamenhan). Tapi tidak apa-apa, karena dia resmi memberitahu. Bukan hanya Pak Prabowo sih, Pak Tito (Mendagri Tito Karnavian) waktu itu juga tidak hadir karena sedang tugas di Jawa Timur.
Anda pernah menjadi ketua tim sukses Prabowo Subianto dalam Pilpres 2014 lalu. Apakah hal itu lebih memudahkan Anda berkomunikasi dengan Prabowo?
Tidak, biasa saja. Komunikasi saya dengan Pak Prabowo, yang dulu satu tim, maupun komunikasi saya dengan Pak Yasonna (Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly) yang dulu timnya Pak Jokowi. Sama saja kok, karena kami kan sudah sama-sama dewasa.
Politik itu adalah pilihan, dan kalau sudah dipilih, ya sudah. Bersatu untuk bangsa dan negara ini. Tidak ada kekhususan.
Apa makna hak veto yang secara eksplisit disampaikan Presiden?
Sebenarnya hak veto dimaksud tidak dalam arti yuridis formal, tetapi dalam arti pengendalian. Dalam Peraturan Presiden (Perpres) tentang Menko, kan’ disebutkan Menteri Koordinator tugasnya mengkoordinasikan, mensinkronisasikan, dan mengendalikan. Mengendalikan ini kalau ada yang tidak bisa dikendalikan kan’ bisa di veto.
Sebenarnya itu bermula dari pengalaman masa lalu. Ada Menteri Koordinator yang melapor ke Presiden, “Pak saya semenjak jadi Menko kok sulit mengendalikan, para menteri tidak konsisten sehingga para investor jadi terganggu.”
Dalam pidatonya Presiden mengatakan, “Saya tidak ingin mendengar lagi ada menteri kalau diundang oleh Menko tidak datang, lalu tidak setuju pada keputusan.” Kalau memang tidak setuju ya berdebat, namun setelah diputuskan ya harus menurut.
Tapi menurut saya tidak perlu ribut-ribut soal veto, wong ini tidak ada apa-apa, baik semua sampai sekarang. Tidak ada yang berbenturan.
Tapi pada periode lalu kan pernah terjadi benturan seperti itu?
Makanya Presiden mengatakan, boleh Anda berdebat di dalam rapat, bahkan dalam empat kali rapat terakhir perdebatan berlangsung seru. Namun kalau sudah diputuskan, semuanya harus tunduk.
Ini negara. Jadi harus ada yang mengkomando. Konsekuensi dari demokrasi kan’ harus begitu. (dennis)