Legasi Habibie

Eyang Habibie, begitu beliau sering minta untuk dipanggil, telah wafat.

Editor: Salman Rasyidin
zoom-inlihat foto Legasi Habibie
ist
Alip D. Pratama, MH

Legasi Habibie

Oleh: Alip D. Pratama, MH  

Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Strategis Center for Democracy and Civilization Studies, CDCS

“Tuntutannya memang banyak. Apakah terhadap istri, anak atau anak buahnya. Dia ingin men­­capai setinggi-tingginya. Dia memberikan segalanya dan menuntut segalanya. Dia mem­­beri dan menuntut secara mutlak. Begitulah sifatnya. Itulah yang membuat hidupnya ti­dak mudah”.

“Tetapi ia juga memberi secara mutlak.Semua yang ada padanya diberikannya kepada anak­-istrinya. Semua impiannya, kepandaiannya, semangatnya, kemarahannya, kekece­wa­an­nya, perhatiannya, kesehatannya dan pengorbanannya.

Di dalam segala kehebatannya, ia sesungguhnya adalah pribadi yang peka. Ia butuh perhatian kami, pengertian kami, dan dukungan kami. Itu semua adalah segala-galanya. Itulah yang membuat segalanya ada gunanya.” (Ainun tentang Habibie, dalam buku ‘Testimoni Untuk BJ. Habibie)

Di tengah kegaduhan ruang publik mengenai beberapa isu strategis, seperti kabut asap yang melanda beberapa kota di indonesia, kemudian mengenai polemik revisi UU KPK yang se­cara tiba-tiba dilancarkan oleh DPR RI kepada Presiden Jokowi, menjelang beberapa pekan terakhir sebelum purnanya mandat anggota DPR RI periode 2014-2019 pada 1 Oktober  men­datang, hingga urusan stabilitas Papua yang masih mengganjal di hati, tiba-tiba datang kabar duka dari RSAD Gatot Subroto.

BJ Habibie dan prototype R80
BJ Habibie dan prototype R80 ()

Jalan panjangnya se­bagai seorang negarawan, teknokrat, hingga pahlawan nasional di republik ini, telah usai.

Ke­pergian beliau, seperti menggenapkan kesedihan negeri ini, setelah sebelumnya, Ibu Ani Yu­dhoyono, istri dari Presiden keenam kita, Bapak Susilo Bambang Yudhoyono, juga wafat.

Keruan saja ruang media sosial, media konvensional, disesaki oleh berita tentang ke­pu­langan Sang Jenius tersebut.

Seorang anak kandung dari Ibu Pertiwi, yang mampu me­no­reh­kan tinta emas dalam altar sejarah peradaban modern, melalui kontribusinya yang sangat sig­nifikan, terutama pada bidang teknologi dirgantara, sehingga legasinya tersebut, sangat bermanfaat bagi perkembangan industri dirgantara hari ini, dan mungkin, akan terus seperti itu, untuk jangka waktu yang begitu panjang.

Kita tentu ingat dulu, ketika mendapat kabar bahwa negeri ini hendak mengembangkan in­du­stri dirgantara, dan mencoba untuk mengangkat wibawa dan level kepemimpinannya di dunia internasional, dengan melahirkan pesawat terbang yang kesemua-muanya, murni dari tangan kreatifitas anak negeri.

Dan kala itu, Sang Jenius ini, Eyang Habibie lah, yang meng­ko­mandoi proyek ambisius tersebut.

Dan pesawat yang dilahirkan melalui tangan anak negeri itu benar-benar terbang landas.

Berputar, melayang-layang di atas kepala anak bumi manusia yang sampai Penjajah Belanda benar-benar pergi dari Bumi Persada kemarin, mungkin tidak pernah berpikir akan mampu menghasilkan karya yang begitu monumental tersebut.

Kita juga masih ingat. Kala Sang Jenius itu, diuji untuk yang kesekian kalinya. Kali ini tak main-main.

 Setelah melalui sejumlah kerumitan sejarah yang panjang dan berliku, Sang Men­tor sekaligus Bos Besar, Bapak Soeharto, Presiden kedua Republik Indonesia, menya­takan mundur dari jabatannya, setelah 32 tahun berkuasa dan menjadi orang nomor satu di republik ini.

Otomatis, sebagai wakil, dirinya secara konstitusional, maju menggantikan di­rinya. Menerima mandat yang disaksikan langsung oleh Sang Mentor yang telah mem­besarkan namanya.

Memang masa jabatannya sebagai presiden ketiga republik indonesia tidak begitu lama.

Hanya sekitar 1 tahun 5 bulan saja. Namun dalam tempo yang amat sangat singkat tersebut, jus­tru dia menorehkan kontribusi sejarah yang begitu maksimal dan historikal.

Jika banyak pemimpin-pemimpin di negeri ini, yang justru memiliki rentang waktu me­mim­pin jauh lebih lama dibandingkan dengan Eyang Habibie, namun tanpa kontribusi yang sig­nifikan dan relevan sama sekali untuk diingat dalam memori kolektif kita sebagai sebuah bang­sa, sebab memang tidak ada sama sekali karya dari mereka yang patut untuk kita ke­nang, namun Habibie berbeda.

Dalam rentang waktu yang singkat tersebut, dia secara spektakuler mampu -sebagai se­orang pilot di tengah badai- mendaratkan pesawat yang bernama indonesia ini, dengan amat sangat ‘smooth’, padahal, ada begitu banyak mata yang di awal naiknya Beliau, me­nyangsikan dirinya mampu bertarung di dunia politik yang dipenuhi kegaduhan dan intrik ti­pu muslihat tersebut.

Jejak Langkah

Secara menakjubkan, Habibie mampu menstabilkan nilai tukar rupiah terhadap dollar, dari Rp.16.800,- ke Rp. 7.500,- dalam tempo yang sangat singkat, sehingga sangat membantu rak­yat pada waktu itu untuk kembali melanjutkan hidup, di tengah badai krisis ekonomi yang amat sangat parah, dan sekaligus merangsang pertumbuhan dan dinamika ekonomi domestik dalam kurun waktu yang bersamaan.

Selain itu, Habibie juga merangkul militer, yang notabenenya, selama tiga dekade kekuasaan Jenderal Soeharto, selalu menjadi fondasi utama pemerintahan, sekaligus memerankan diri sebagai otak, pikiran, dan tulang punggungnya republik. Sehingga, relasi yang baik tersebut, dengan sendirinya memuluskan proses depolitisasi Militer sekaligus mengembalikan ins­ti­tu­si tersebut kembali ke barak.

Habibie juga mengambil kebijakan-kebijakan yang krusial guna mempermulus proses tran­sisi dari negara yang sebelumnya otoriter, menuju negara yang semakin demokratis, dengan mensahkan UU No. 2 Tahun 1999 tentang partai politik, yang berimplikasi memotong peng­aruh Orba di panggung politik dengan mendorong semaksimal mungkin aktor politik dan par­tai politik baru untuk naik ke panggung kekuasaan dan sekaligus menggantikan para po­litisi warisan Orba.

Selanjutnya, Habibie juga menerbitkan UU No. 3 Tahun 1999 Tentang Pemilihan Umum, yang juga menjadi langkah konkret Sang Jenius, di dalam membentangkan jalan demokrasi ba­gi republik indonesia, melalui penyelenggaraan sirkulasi elit nasional melalui medium pemilu yang relatif lebih berimbang dan proporsional, dibandingkan produk pemilu di masa sebelumnya.

Habibie juga memiliki komitmen yang besar terhadap hidupnya kembali peranan pers sebagai pilar utama demokrasi.

Terbitnya UU Pers pada tanggal 13 september 1999, men­ja­di angin segar bagi insan pers nasional pada waktu itu.

Hantu pembreidelan melalui supre­ma­si kuasa SIUPP (Sura Izin Usaha Penerbitan Pers) yang diberlakukan semenjak tahun 1984, sebagai sarana Negara untuk memonopoli arus berita, informasi dan pikiran rakyat, di­tanggalkan begitu saja oleh Sang Jenius tanpa pikir panjang.

Kita juga belum menghitung berapa ratus korban tahanan politik (tapol) yang ditahan se­la­ma Rezim Orba, dibebaskan dengan begitu mudahnya oleh Habibie, sehingga para tapol tersebut segera menghirup udara segar kebebasan, sekaligus kembali berkiprah di lapangan pergerakan, sebagaimana yang selama ini mereka idam-idamkan.

Tiada Tanding

Menjadi pemimpin di sebuah negara yang tengah mengalami kelimbungan dan krisis demi krisis, bukanlah sebuah pekerjaan yang muda bagi manusia mana pun di dunia ini.

Tapi Ha­bi­bie menunjukkan daya magisnya. Bisa saja dia mengorganisir kekuatan yang berada di bela­kang­nya, guna terus-menerus duduk di kursi kekuasaan, untuk kemudian bertransformasi menjadi Soeharto yang baru.

Bukankah mengelola krisis, jauh lebih mudah jika dilakukan dengan kekuasaan yang besar, kuat dan terkonsolidasi?

Dibanding menggelar karpet demokrasi, dan kemudian setiap ora­ng bisa duduk di situ secara bising, terus bersuara satu persatu, sehingga justru membuat proses menuju solusi menjadi berputar dan terlalu panjang?

Tapi Habibie melupakan dengan segera opsi itu.

Baginya, demokrasi adalah kemestian.

Ma­kanya, ketika pidato laporan pertanggung jawabannya ditolak oleh MPR RI, dan gencar para politisi bergerak bermanuver guna mendongkel posisinya dari jabatan kepresidenan, dia menanggapinya dengan santai.

Baginya, kuasa, jabatan, hanyalah sarana, lahan pengabdian, bukan tujuan itu sendiri.

1 tahun 5 bulan, atau 517 hari dia memimpin Indonesia, legasinya tak terkira.

Baik di la­pangan politik, demokrasi, teknologi, dan lainnya.

Dialah, manusia pertama di republik ini yang secara berani, mengambil inisiatif untuk merumuskan dan meletakkan fondasi sistem demokrasi bagi republik ini, sehingga alam kebebasan ini, bisa terus kita nikmati selama dua dekade terakhir.

Tapi dirinya telah pergi.

Menggenapkan rindu yang mendesak untuk segera bertemu dengan sang terkasih.

Dan memang harus seperti itu, agar anak negeri, mampu mengenang dirinya melalui cerita yang diajarkan oleh setiap orang tua kepada para buah hatinya, untuk sepintar Habibie, dan yang lebih penting, mengambil ruh perjuangan dan pengabdian di­rinya bagi republik ini, untuk kita teruskan, dan kita jaga, agar jangan pernah sampai padam.

Selamat jalan Eyang. Selamat terbang menemui terkasihmu si gula merah yang telah menjadi gula putih. Legasimu, tiada tanding.

Sumber:
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved