Wawancara Eksklusif
Pro Kontra e-Tax, Bisa Direvisi Sesuai Kondisi Masyarakat
Saat ini sudah 400 alat e tax sudah dipasang baik di restoran dan rumah makan di Kota Palembang.
Penulis: Yandi Triansyah | Editor: Soegeng Haryadi
SEJAK dua bulan terakhir Badan Pengelolaan Pajak Daerah (BPPD) Kota Palembang sudah menerapkan e tax atau alat transaksi pajak. Hasilnya pun cukup efektif hal ini terbukti meningkatnya pendapatan pajak dari beberapa sektor pajak.
Namun tentunya kebijakan ini tidak selalu berjalan lancar tentu ada saja tantangan mulai dari penolakan sampai tuntutan pedagang untuk tidak mau menggunakan alat tersebut. Bagaimana cerita selengkapnya, berikut wawancara eksklusif Sriwijaya Post bersama Kepala BPPD Kota Palembang Sulaiman Amin, Rabu (11/9).
Sudah berapa alat e tax dipasang di restoran dan rumah makan ?
Saat ini sudah 400 alat e tax sudah dipasang baik di restoran dan rumah makan di Kota Palembang. Saat ini kami masih menunggu tambahan alat lagi sebanyak 200 alat untuk dipasangkan ke restoran dan rumah makan..
Restoran dan rumah makan apa yang menjadi sasaran untuk dipasang alat e tax ini ?
Secara aturan yang ada di Perda Nomor 2 tahun 2018 rumah makan dan restoran yang memiliki omzet Rp 3 juta per bulan bisa dikenakan pajak. Namun kami tidak mungkin menerapkan sesuai aturan tersebut karena jika diterapkan UMKM akan juga kena imbas dari perda tersebut. Kami masih menyasar rumah makan dan restoran yang omzetnya berpotensi besar tiap harinya. Untuk mengetahui omzet tersebut maka dipasanglah alat tersebut untuk mengetahui transaksi. Transaksi itulah kemudian untuk menjadi acuan nominal pajak yang disetorkan kepada negara.
Apa saja tantangan bagi BPPD selama berlakunya kebijakan penerapan e tax ini ?
Ada penolakan, ada pula begitu alat dipasang tidak digunakan. Semua itu kami ketahui. Tapi kita terus berupaya untuk memberikan pengertian kepada masyarakat mengenai kebijakan tersebut.
Penolakan sempat disuarakan oleh pedagang ? Bagaimana sikap dan upaya BPPD terkait kondisi tersebut ?
Kami bertanya balik kenapa pengelola atau pemilik rumah makan atau restoran tidak mau dipasang alat e tax ? Apakah takut omzet aslinya ketahuan ? Pertanyaan ini harus kita jawab dulu. Kalau alasannya omzetnya takut turun hal itu bisa dibuktikan dari hasil rekaman transaksi. Pihaknya juga tak menutup mata perihal jika benar benar omzet restoran turun drastis. Bahkan dibeberapa tempat karena omzetnya tak terlalu berpotensi alatnya kemudian ditarik lagi oleh kami dan dipindahkan ke lokasi lainnya.
Apa rencana BPPD kedepan menyikapi kondisi di lapangan terkait penerapan pajak ini ?
Kami berencana untuk merevisi Perda nomor 2 tahun 2018 mengenai pajak daerah.
Apa saja poin yang akan direvisi pada perda tersebut ?
Kita akan sesuaikan mengenai nominal omset pajak yang tertera di aturan sekarang. Misalnya omzet pajak restoran sebesar Rp 3 juta per bulan. Menurut dia, nantinya akan disesuaikan lagi, sebab jika nominal sekarang yang diterapkan maka semua rumah makan dan restoran kecil kecil termasuk UMKM terkena semuanya.
Kapan rencana perda ini direvisi ?
Merevisi Perda ini tidak mudah karena kita harus melibatkan DPRD. Apalagi tidak lama lagi akan peralihan anggota dewan. Namun kami akan minta masukan kepada bagian hukum perihal rencana ini. Mudah mudah bisa dengan cepat terwujud.
Selain pajak restoran apalagi rencana yang akan diubah ?
Pajak lainnya juga seperti hiburan rekreasi dan akan juga dipertimbangkan. Kami akan melihat penerapan pajak di kota kota besar lainnya untuk pertimbangan kajian kami nantinya.
Perda ini kan baru disahkan apakah bisa direvisi ?
Meski baru disahkan perda ini bisa kita revisi. Karena untuk menyesuaikan kondisi masyarakat. (yandi)
