Human Interest Story
Wiji Tak Sempat Melihat Cucu Pertamanya
Keluarga pihak keluarga tak mendapat firasat apapun terkait musibah itu.
KEBAKARAN yang terjadi di Kapal Motor (KM) Santika Nusantara mengakibatkan tiga orang kehilangan nyawa, satu di antaranya Supardoyo (47), anak buah kapal. Warga Klaten, Jawa Tengah, yang berposisi sebagai mualim KM Santi Nusantara itu meninggal saat membantu proses evakuasi terhadap para penumpang.
“Ia meninggal saat menolong para penumpang kapal. Ia memang bertugas di bagian evakuasi. Supardoyo meninggal dalam tugas,” ujar Bekti Trisetiyanto, sepupu Supardoyo, saat ditemui di Rumah Sakit Bhayangkara Surabaya, Minggu (25/8).
Menurutnya, keluarga pihak keluarga tak mendapat firasat apapun terkait musibah itu. “Tidak ada. Nggak ada firasat apapun,” katanya seraya menggeleng-gelengkan kepala.
Selain itu pihak keluaga besar korban sudah legowo. “Semuanya sudah siap dan sudah legowo. Kami tinggal antar ke peristirahatan terakhir,” katanya.
Bekti Trisetiyanto mengungkapkan dirinya semula tidak begitu hirau terhadap berita terbakarnya KM Santika Nusantara di perairan Pulau Masalembo, Kabupaten Sumenep, pada Kamis (22/8) malam lalu.
Namun setelah membaca informasi terkait daftar nama korban selamat, luka, dan meninggal, ia mulai waswas. “Saya juga sudah dapat foto. Saya kemudian tahu, Pak Bekti masuk dalam daftar korban,” katanya.
Supardoyo justru baru mengetahui ada anggota keluarganya yang menjadi korban kapal naas itu pada Sabtu siang. “Saya awalnya ngecek di rumah sakit pelabuhan, Tanjung Perak, Surabaya, ternyata nggak ada. Belakangan saya tahu Pak Bekti ikut jadi korban,” kata Bekti Trisetiyanto.
Seingat Bekti, sepupunya itu memang berprofesi sebagai anak buah kapal yang kerap berlayar ke berbagai wilayah di Indonesia. Sepengetahuannya, Supardoyo bertugas sebagai Mualim I (Chief Officer), yakni ABK yang bertugas mengatur muatan, persediaan air tawar, dan pengatur arah navigasi. “Ia sudah kerja sekitar 2 tahunan,” jelasnya.
Sedangkan korban tewas lainnya diidentifikasi sebagai Wiji (54), asal Blora, Jawa Tengah.
Aris (23), anak Wiji, menyebut ayahnya berangkat ke Kalimantan menumpang KM Santika Nusantara, untuk bekerja di sebuah proyek.
Ia mengaku tak ada yang aneh dari tingkah laku bapaknya sebelum berangkat ke Surabaya untuk naik kapal menuju Kalimantan. Sejak Aris berusia tujuh tahun atau masih di sekolah dasar, bapaknya sudah bekerja di sebuah proyek infrastruktur di luar Pulau Jawa.
Namun, untuk garapan proyek di Kalimantan, Wiji baru bekerja selama 3 tahun. Pergi pulang ke luar Pulau Jawa naik kapal, menurut Aris, sudah biasa bagi bapaknya. “Ke Balikpapan untuk kerja proyek, jadi sudah biasa. Memang dari dulu sudah kerja di sana,” katanya.
Sering telepon
Pada saat KM Santika Nusantara terbakar, keluarga Wiji sedang sibuk mempersiapkan kelahiran anak pertama Aris. “Anak saya kan baru lahir, malamnya dikabari (KM Santika Nusantara terbakar),” ujar Aris.
Sebenarnya, Aris berharap Wiji dapat melihat kelahiran sang cucu. Beberapa jam sebelum Wiji menumpang KM Santika Nusantara, ia berkali-kali menelepon untuk menanyakan kelahiran cucu pertamannya.
“Siangnya sering telepon untik bertanya sudah lahir belum. Terakhir, saya bilang ini sudah lahir. Waktu itu terputus karena mungkin sinyal sudah mulai lenyap,” katanya.
Aris mengaktakan komunikasi antara Wiji dan keluaganya di Blora terputus sekira pukul 13.00 WIB, Kamis atau beberapa jam sebelum KM Santika Nusantara terbakar. Sang anak baru mendapat kepastian mengenai identitas Wiji pada pukul 19.45, Sabtu.
Aris langsung menangis sambil memeluk ibunya yang mengenakan busana muslim merah muda. Hingga beberapa saat kemudian, pelukan di antara mereka belum juga lepas.
Korban tewas ketiga yaitu Asfani, seorang sopir angkot warga Kota Batu, yang hendak pengantarkan barang ke Balikpapan. Slamet (53), adik kandung Asfani, mengungkapkan beberapa hari sebelumnya ada kejadian aneh yang dilakukan korban.
Pada Selasa (19/8) lalu, tiba-tiba Asfani menyalami para tetangganya seusai mengikuti kerja bakti di kampungnya, Jalan Anjasmoro, Kelurahan Sisir, Kecamatan Batu, Kota Batu.
Saat itu Asfani menjabat tangan para tetangga seraya menghaturkan permohonan maaf. “Setelah kerja bakti di kampung ia pamit sama teman-temannya. Katanya mau berangkat ngangkut barang ke Kalimantan,” jelasnya
Perilaku itu menimbulkan keanehan bagi para tetangga. “Menurut teman-teman, perilakunya aneh. Istilahnya kok dengaren (tumben),” ungkapnya.
Menurut Slamet, Asfani mempunyai lima orang anak. “Dua orang anaknya sudah berkeluarga, anak paling kecil kelas 6 SD. Kakak saya sudah punya 2 cucu,” katanya. (tribunjatim/luhurpambudi)