Picu Perang Dunia III

Sama-sama Punya Nuklir, Soviet dan China Bisa Picu Perang Dunia ke-3

Konflik Perang Dunia ke-2 sudah lama usah dan ditandai dengan banyak negara yang merdeka dari kolonialime.

Penulis: Salman Rasyidin | Editor: Salman Rasyidin
Rbth.com
Satuan penjaga perbatasan di pulau Damansky. 1969 

Apa yang terjadi?

Pada 1960-an, baik Uni Soviet dan China Mao Zedong mengklaim sebagai juara sosialisme dan menentang kapitalis Barat.

Tapi bagaimana hubungan mereka berdua dapat merosot menjadi bentrokan militer?

Bagaimana pun, Joseph Stalin mendukung Partai Komunis China.

Pada tahun 1950, China mengirim satu juta tentara "sukarelawan" untuk berperang dalam Perang Korea, di mana Moskow dan Beijing mendukung Korea Utara.

Uni Soviet, pada saat yang sama, membantu orang miskin, pertanian, dan penduduk China.

Tapi aliansi dua raksasa merah itu tidak bertahan lama.

Setelah kematian Joseph Stalin pada tahun 1953, hubungan antara kekuatan mulai memburuk.

Mao merasa cukup ambisius untuk mengejar kebijakannya sendiri, ketika ia membenci Nikita Khrushchev tentang "hidup berdampingan secara damai" antara blok sosialis dan Barat.

Jauh lebih radikal daripada Khrushchev, Mao bertindak agresif, menyebut AS "macan kertas" dan mengisyaratkan bahwa China tidak takut akan perang nuklir.

Situasi semakin memburuk: ketegangan militer antara bekas sekutu meletus ketika Beijing menyatakan tidak mengakui perbatasan abad ke-19 antara USSR dan RRC.

Pada saat itu, China sudah memiliki senjata nuklir, sehingga konflik antara kedua negara sosialis itu bisa saja memicu Perang Dunia Ketiga dengan perang nuklir maha dahsyat dalam waktu singkat.

Cukup mengejutkan, bahkan setelah konflik berlangsung selama beberapa bulan (tanpa bentrokan langsung, hanya terbatas pada penembakan di seluruh pulau), kedua pihak kemudian berhasil mencapai perdamaian.

Pada 11 September 1969, Perdana Menteri Soviet Alexei Kosygin mengunjungi Beijing.

Dia dan mitranya Zhou Enlai mencapai kesepakatan untuk berhenti berkonflik dan bernegosiasi untuk menggambar ulang perbatasan.

Selanjutnya pada 1989, Mikhail Gorbachev dan Deng Xiaoping menandatangani perjanjian tentang demiliterisasi perbatasan, dan menyatakan hubungan bilateral menjadi normal.

Beberapa tahun kemudian, Uni Soviet tidak ada lagi, dan pada 1991 Rusia secara resmi menyerahkan Pulau Damansky ke China.

Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved