Keteladan Bung Hatta

Mengenang Kembali Keteladan Bung Hatta

Dr. H. Mohammad Hatta dilahirkan di Bukittinggi pada tanggal 12 Agustus 1902. Mohammad Athar, adalah nama yang diberikan orangtuanya.

Editor: Salman Rasyidin
zoom-inlihat foto Mengenang Kembali Keteladan Bung Hatta
ist
Prof. Dr. H. Jalaluddin

Mengenang Kembali Keteladan Bung Hatta
Oleh Prof. Dr. H. Jalaluddin
Mantan Rektor IAIN (UIN) Raden Fatah Palembang
Dr. H. Mohammad Hatta dilahirkan di Bukittinggi pada tanggal 12 Agustus 1902. Mohammad Athar, adalah nama yang diberikan orangtuanya.

Athar berarti "Harum." Namun karena orang-orang tua dan lingkungan keluarga sulit untuk menyebutkan nama Athar, maka sehari-hari ia dipanggil "Atta" yang kemudian berkembang menjadi sebuah nama baru "Hatta".

Sejak berusia tujuh bulan, Hatta telah ditinggalkan ayah kandungnya.

Di masa kecil Hatta berkembang seperti anak-anak biasa, tetapi ia kurang memiliki sahabat karena tetangganya tidak memiliki anak-anak seusia Hatta.

Namun demikian sejak kecil Hatta memiliki sifat-sifat tertib, rajin dan hemat.

Sifat yang diturunkan dari ayahnya. Selanjutnya dikemukakan pula oleh Ny. R. Lembaq Tuah, bahwa sejak remaja Hatta mulai belajat di surau dengan guru ngaji Kakak perempuan Bung Hatta ini juga menyatakan dalam tulisannya itu, bahkan selama dalam tahananpun Bung Hatta tidak pernah meninggalkan ibadah shalat dan puasa (Ny. R. Lembaq Tuah, 1980).

Bung Hatta memang dibesarkan di Ranah Minangkabau yang dikenal sebagai masyarakat Muslim yang relijius.

Dalam bukunya "Islam dan Adat Minangkabau" Hamka menulis bahwa usaha menyesuaikan tata hidup agama menjadi adat telah dimulai sejak orang Minang menerima Islam, sejak berdirinya Kerajaan Pagaruyung.

Pada mula perpaduan itu timbullah pepatah yang mula-mula, yaitu "Adat bersendi syara', Syara' bersendi syara'" kemudian dipertegas menjadi "Adat bersendi Syara', Syara' bersendi Kitabullah."

Sebagai pelaksana dan perjalanan perkembangan, timbullah pepatah-pepatah lain mengiringinya seperti "Syara' yang mengata, adat yang memakai."

Syara' bertelanjang, Adat bersesamping.' Adat yang kawi, Syara' yang lazim" (Hamka, 1980). Hingga remaja, Bung Hatta sepenuhnya hidup di lingkungan keluarga dan masyarakat Minang.

Kedua lingkungan ini pula yang membentuk kepribadian Bung Hatta secara dominan.

Dalam bukunya "Seni Mendidik" Gilbert Highest, menulis pendidikan keluarga berlangsung sejak anak dari bangun tidur hingga kembali ke tempat tidur.

Oleh karena itu sebagian besar, atau sekitar 90 persen dari sikap dan perilaku anak terbentuk oleh lingkungan keluarga. Gilbert Highest, 1966).

Tampaknya rangkaian alur pendidikan ini pula yang paling dominan membekali kepribadian Bung Hatta.

Sosok pribadi yang memiliki kearifan dalam menyelesaikan berbagai persoalan bangsanya.

Negarawan yang Arif

Selama tahun-tahun 1955-1965 amat banyak peristiwa yang terjadi, yang mendapat penilaian berlainan antara kedua anggota Dwitunggal, Soekarno dan Hatta.

Perkembangan-perkembangan akhirnya mendorong Bung Hatta memutuskan untuk mengundurkan diri dari jabatan Wakil Presiden, yang dijabatnya sejak Proklamasi Kemerdekaan Indonesia tahun 1945.

Waktu mengundurkan diri dia mengatakan hendak memberi fair chance kepada Soekarno untuk membuktikan dia dapat membawa Republik Indonesia, bangsa dan masyarakat Indonesia men capai kemajuan.

Meskipun Bung Hatta telah jadi warganegara biasa kembali, akan tetapi perhatiannya dan rasa tanggungjawabnya terhadap negara dan bangsa Indonesia, serta terhadap nasib rakyat kecil Indonesia sama sekali tidak berkurang dari waktu dia aktif menjabat Wakil Presiden (Oet Jong Tjioe, 1982).

Secara periodik Mochtar Lubis menggambarkan kondisi perolitikan di Indonesia, yakni tahun 1957 sebagai "Awan Gelap Berarak di Langit" dan "Awan Bertambah Gelap".

Tahun 1958-1959 "Badai Mengamuk."

Tahun 1960-1961 "Fithan dan Tangkap".

Tahun 1963 "Arus Bencana Tak Dapat Ditahan."

Tahun 1964 "Berpacu ke Pinggir Jurang Kebinasaan,", dan tahun 1965 "Jurang Menganga Menanti."

Sebagai negarawan sejati, Bung Hatta sama sekali tidak membiarkan kondisi bangsanya yang kian memperihatinkan itu.

Walaupun beliau sudah berada di luar lingkungan kekuasaan, serta berstatus sebagai warganegara biasa, tetapi secara pribadi Bung Hatta tidak bisa berdiam diri "Berlepas tangan dari tanggungjawab. Bung Hatta
dengan penuh kearifan lebih memilih cara yang tidak bakal menimbul gejolak dalam masyarakat bangsa.

Bung Hatta mengirim surat secara pribadi ke Presiden Soekarno.

Selama periode itu, Bung Hatta telah mengirimkan sekitar sepuluh pucuk surat masing- masing tertanggal 27 Februari 1957, 12 September 1957, 2 September 1958, 5 September 1959, 17 Juni 1963, 24 Juni 1983, 23 Juni 1964, dan terakhir pada tanggal 1 Desember 1965 (Mochtar Lubis, 1988).

Adapun surat pertama, cukup panjang.

Sebagian kandungannya adalah sebagai berikut :
PRIBADI. Bung Karno. Sejak saya kemarin sore kembali dari Bandung sampai hari ini sudah banyak keluh-kesaah dari masyarakat Jakarta yang disampaikan kepada saya, bahwa pemuda-pemuda bersenjata berpakaian militer giat sekali mengadakan tetor untuk menekan supaya konsepsi Saudara diterima.

Bung Tomo didatangi oleh seorang pemuda bersenjata untuk memaksakan supaya ia menyetujui "konsepsi Bung Karno." Waktu ditanyakan ia menunjukkan surat identitasnya, bahwa ia diutus oleh KMKB.

Djamaludin Malik sudah dua kali diancam dengan pistol, sehingga dia sekarang menyingkir ke Sumatera Tengah.

Kiai Dahlan didatangi di rumahnya dan diancam supaya menyetujui konsepsi Bung itu.

Nyonya M. Maria Ulfah Santoso dibawa dengan paksa dengan jeep dari gedung sensor film ke markas besar pemuda TP di jalan Waringin, katanya untuk mempertanggungjawabkan pemutaran film cabul, tetapi diakhiri gertak supaya konsepsi Bung Karno itu disetujui.

Banyak pula pemimpin-pemimpin lain yang didatangi seperti Mr. Tambunan, Sdr. Natsir dan lain-lainnya, tetapi karena pintu terkunci hanya pamflet-pamflet saja yang ditebarkan di serambi dan halaman rumahnya.

Beberapa pemimpin partai, karena ketakutan, sudah lari ke luar kota.

Karena ancaman dan intimidasi, pers tak mau mengumumkan kejadian- kejadian yang tersebut di atas (Mochtar Lubis, 1988). Surat ini memperoleh respons positif dari Bung Karno.

Pribadi. Kepada Bung Hatta.

Bung mengetahui segenap perasaan-perasaan saya persoonlijk terhadap Bung.

Bagaimanapun juga, saya tetap mengingini yang kita berdua ini bekerjasama sebaik-baiknya dalam pengabdian kepada tanah air dan bangsa.Kapan-kapan marilah kita bertemu, untuk mengadakan perembukan bersama. Merdeka, Soekarno, 1/3/'57. (Mochtar Lubis, 1988).

Tanggapan berikutnya berisi antara lain : "Voelig" saya dengan kepala-kepala partai secara rahasia belum selesai. Karena itu pertemuan kita besok pagi itu saya tangguhkan sampai hari yang kemudian saya akan beritahukan kepada Bung. Dus: besok pagi tak jadi ada pertemuan. Moga-moga kita lekas bertemu. Merdeka, Soekarno. 6/3-'58. "Bung, Surat Bung sudah saya terima dan baca. Sayapun amat menyesal, bahwa pembicaraan kita 3 Maret itu dibocorkan orang.

Oleh siapa ? Saya tidak tahu.

Tetapi boleh saya beritahukan kepada Bung hal sebagai berikut : Satu hari sesudah pembicaraan kita itu, Duta Besar India Parthasarathi menceritakan kepada Saudara Djuanda.

Ditanya oleh Saudara Djuanda, dari mana ia mengetahui seemuanya itu, ia menjawab, "Dari pihak PSI."..... Merdeka, Soekarno 6/3-'58. (Mochtar Lubis, 1988) Ternyata Bung Karno juga memiliki perasaan yang sama dengan Bung Hatta mengenai kondisi bangsanya.

Dalam bukunya "Hati Nurani Melawan Kezaliman : "Surat-Surat Bung Hatta Kepada Presiden Soekarno 1957 – 1965", Mochtar Lubis mengungkapkan, dari surat-surat tersebut kita dapat melihat betapa konsistennya Bung Hatta hendak menegakkan kebenaran bagi bangsanya.

Dan betapa segala perbedaan maupun pertentangan pandangan persahabatan keduanya sebagai sesama anak manusia.

Dan juga betapa hubungan pribadi antara mereka yang mesra berkawan, tidak pula dapat mengaburkan pandangan Bung Hatta terhadap demikian banyak kesalahan dan kekeliruan yang dilakukan oleh Soekarno. Dengan tak jemu-jemunya Bung Hatta mengangkat suaranya, memperingati, memberi nasihat, menunjukkan jalan lurus yang benar.

Sebaliknya Soekarno tetap menganggap Bung Hatta kawan pribadinya yang amat dekat, terbukti dari suratnya pada Bung Hatta tertanggal 1 Maret 1957.

Demikianlah sebuah contoh mulia yang diberikan dua tokoh nasional ini : "boleh bertentangan pendapat dan pendirian betapapun tajamnya, tetapi secara pribadi hubungan tetap baik. Pelajaran ini amat kita perlukan setiap waktu hidup kita."

Dengan surat-suratnya Bung Hatta telah memberi teladan bagaimana seorang warganegara, seorang patriot sejati, yang merasa bertanggungjawab terhadap keselamatan bangsanya, harus berbuat.

Dengan penuh keberanian, kejujuran, dan kebersihan hati, tanpa pamrih selalu memberi ingat dan menunjukkan jalan ke luar (Mochtar Lubis, 1988).

Naskah Proklamasi asli
Naskah Proklamasi asli (Tribun Bogor)

Demikian tanggapan Mochtar Lubis terhadap Bung Hatta.

Dengan segala kearifannya, surat-surat kepada Bung Karno tidak dipublikasikan melalui media masa.

Menurut Oei Jong Tjioe, izin untuk dibukukan baru, kurang lebih setahun sebelum Bung Hatta meninggal (Oei Jong Tjioe, 1982).

Bangsa Amerika memiliki Abraham Lincoln sebagai negarawan, India punya Mohandas Karamchan Mahatma Gandhi, Pakistan punya Mohammad Ali Jinnah, dan Afrika Selatan ada sosok Nelson Mandela yang juga negarawan dunia.

Oleh sebab itu sudah sepantasnya, bangsa Indonesia merasa bangga karena memiliki tokoh Dwitunggal : Soekarno dan Hatta.

Tokoh negarawan yang selama hidupnya telah membaktikan diri sepenuhnya untuk kepentingan bangsanya.

Memberi keteladanan dalam membina kesatuan dan persatuan bangsanya. Ketulusan hati kedua tokoh ini terungkap jelas dalam teks "PERNJATAAN BERSAMA"

Bahwa kami bersama atas nama Bangsa Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 telah menjatakan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia. Bahwa sesungguhnja Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah hak milik seluruh Rakjat Indonesia jang berkewadjiban memelihara dan membinanja untuk mewudjudkan suatu masjarakat jang sedjahtera dan, adil dan makmur.

Bahwa Pantja Sila jang ditjantumkan dalam Mukaddimah Undang Undang Dasar Republik Indonesia tahun 1945, adalah djaminan hakiki bagi seluruh Rakjat Indonesia untuk tetap berkehidupan bebas dan merdeka,serta mewudjudkan suatu masjarakat jang sejahtera, adil dan makmur.

Karenanja adalah kewadjiban mutlak kami untuk tetap turut-serta dengan seluruh Rakjat Indonesia, Pemerintah Republik Indonesia serta segenap alat-alat kekuasaan Negara, membina dan membela dasar- dasar Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 dalam keadaan apapun djuga adanya. Djakarta, 14 September 1957.Soekarno - M. Hatta.

Naskah Pernyataan Bersama Dwi Tunggal Soekarno Hatta, 14 September 1957, yang tersimpan sebagai dokumen oleh PT. Idayu, ini barangkali patut kita kenang kembali dalam menapak kehidupan berbangsa dan bernegara.

Bangsa yang besar adalah bangsa yang dapat mengenang dan meneladani tokoh- tokoh pahlawannya. Ke sanalah semestinya para pemimpin bangsa ini secaara bersama-sama pula "mengayunkan langkah" dalam membina masa depan bangsa ini.

====

Sumber: Sriwijaya Post
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved