Distribusi Beras
Memutus Mata Rantai Distribusi Beras
Beras merupakan makanan pokok bagi sebagian besar masyarakat sehingga menjadi komoditas strategis
Memutus Mata Rantai Distribusi Beras
Oleh : Lismiana, SE, M.Si
Pegawai BPS Provinsi Sumatera Selatan
Di Indonesia, beras merupakan makanan pokok bagi sebagian besar masyarakat sehingga menjadi komoditas strategis yang berperan sangat penting terhadap ketahanan pangan.
Di tahun 2017, rata-rata konsumsi per kapita masyarakat Indonesia mencapai sekitar 80 persen dari sumber karbohidrat utama.
Dalam setahun, rata-rata konsumsi perkapita nasional adalah 111,58 Kg. Maka, mau tidak mau, mahal atau murah, masyararakat Indonesia akan tetap cenderung membeli beras untuk memenuhi kebutuhan konsumsinya.

Ironinya, harga beras yang harus dibayar masyarakat sebagai kosumen akhir tentu tidaklah murah.
Hal ini diduga akibat tidak meratanya sentra produksi beras setiap wilayah di Indonesia.
Sehingga perdagangan antar wilayah dilakukan setiap wilayah untuk memenuhi kebutuhannya.
Wilayah yang bukan merupakan sentra produksi akan membeli beras dari sentra produksi beras.
Maka, terbentuklah rantai distribusi beras dari produsen hingga konsumen.
Saat ini, pola distribusi perdagangan beras disinyalir masih bermasalah, hal ini terlihat dari tingginya selisih harga beras dari produsen ke konsumen.
Oleh sebab itu, sangat penting untuk memperhatikan ketersedian stok penyediaan dan distribusi beras mengingat beras merupakan makanan pokok sebagian besar masyarakat Indonesia dan juga merupakan salah satu dari komoditas yang turut andil menyumbang inflasi serta berkontribusi pada Produk Domestik Bruto.
Jika rantai distribusi beras lebih pendek, maka pergerakan komoditas beras dari produsen ke konsumen akan ditempuh dengan biaya yang paling murah.
Sehingga akan terjadi pembagian nilai tambah yang adil untuk setiap pelaku usaha yang terlibat.
Tentu saja, konsumen mendapatkan harga beras yang terjangkau. Sumatera Selatan (Sumsel) merupakan salah satu sentra produksi beras di Indonesia.
Berdasarkan hasil KSA yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS), dengan memperhitungkan potensi sampai Desember, total Luas Panen di Sumsel periode Januari-Desember 2018 mencapai 513,21 ribu Hektar dan mampu memproduksi 2,65 Juta Ton Gabah Kering Giling (GKG) atau 1,512 Juta Ton beras.

Namun, sama halnya dengan provinsi lain, produksi beras di kabupaten/kota se-Sumsel juga tidak merata.
Produksi GKG terbesar berada di Kabupaten Banyuasin yang mencapai 913 ribu ton, Kabupaten Ogan Kome-
ring Ulu Timur sebanyak 618 ribu ton, dan Kabupaten Ogan Komering Ilir sebanyak 368 ribu ton, sedangkan produksi GKG terendah berada di Kota Prabumulih yang hanya sebesar 105 ton.
Sehingga jelas terlihat bahwa terjadi ketidakmerataan produksi beras di Sumsel.
Dari rilis tersebut juga terlihat bahwa di tahun 2018, hanya 8 (delapan) kabupaten/kota yang mengalami surplus beras, yaitu kabupaten Banyuasin, Kabupaten Ogan Komering Ulu Timur, Kabupaten Ogan Komering Ilir, Kabupaten Ogan Ilir, Kabupaten Musi Banyuasin, Kabupaten Musi Rawas, Kabupaten Empat Lawang dan Kabupaten Lahat.

Sisanya 9 kabupaten/kota mengalami defisit beras yaitu Kota Palembang, Kabupaten Ogan Komering Ulu, Kota Lubuk Linggau, Kabupaten Ogan Komering Ulu Selatan, Kota Prabumulih, Kabupaten Maura Enim, Kabupaten Penukal Abab Lematang Ilir, Kabupaten Musi Rawas Utara, dan Kota Pagar Alam.
Tidak meratanya produksi beras di kabupaten/kota di Sumsel menyebabkan terjadinya perdagangan antar daerah untuk memenuhi kebutuhannya.
Daerah defisit beras akan membeli beras dari sentra produksi beras.
Sehingga terbentuklah rantai distribusi beras dari produsen hingga ke masyarakat sebagai konsumen akhir yang berakibat terjadinya disparitas harga beras dari produsen ke konsumen tersebut.
Berdasarkan hasil rilis hasil Survei Pola distribusi dan Perdagangan antar Wilayah (Poldis) tahun 2018 oleh BPS, di tahun 2017, Sumsel menempati posisi nomor satu di Indonesia sebagai provinsi yang memiliki Margin Perdagangan dan Pengangkutan (MPP) beras tertinggi yaitu mencapai 28,58 persen.
Pada hakikatnya, MPP menggambarkan selisih antara nilai penjualan dengan nilai pembelian yang mengikutsertakan biaya pengangkutan.
Semakin besar nilai MPP maka disparitas harga beras di tingkat produsen ke konsumen akhir juga akan semakin besar.
Sebagai contoh harga beras di produsen Rp. 78.000,00/ 10 kilogram, maka nilai MPP sebesar Rp. 22.292,00 artinya harga yang sampai ke masyarakat sebagai konsumen akhir adalah Rp. 100.292,00/ 10 kilogram.
MPP sebesar 28,58 persen berarti bahwa kenaikan harga beras dari tingkat produsen (penggilingan padi) sampai ke konsumen akhir sebesar 28,58 persen.
MPP dari agen ke pedagang grosir sebesar 12,79 persen, MPP dari pedagang grosir ke pedagang eceran sebesar 4,08 persen dan MPP dari pedagang eceran ke konsumen akhir sebesar 9,53 persen.
MPP komoditas beras tahun 2017 naik 2,93 persen dibandingkan tahun 2016.
Menurunnya stok beras yang berada di agen menjadi salah satu penyebab naiknya MPP komoditas beras di Sumsel tahun 2017.
Stok beras menurun sebagai akibat dari pasokan beras dari petani sangat minim karena sedangkan permintaan beras dari pengecer atau pedagang lainnya semakin banyak.
Sehingga, pasokan beras ke pedagang eceran dikurangi, yang harganya disesuaikan dengan harga
pasaran sebab para pedagang belum banyak yang tahu tentang Harga Eceran tertinggi (HET) yang diterapkan oleh pemerintah.
Berdasarkan hasil rilis hasil Survei Poldis tahun 2018 oleh BPS, distribusi perdagangan komoditas beras dari produsen sampai ke konsumen di Sumsel tahun 2017 terdiri dari empat rantai melibatkan tiga pelaku usaha distribusi yaitu agen, pedagang grosir, dan swalayan/supermarket/pedagang eceran.
Pola ini bertambah satu rantai dibandingkan pola utama tahun sebelumnya.
Provinsi Sumsel menjadi provinsi yang memiliki potensi pola terpanjang distribusi perdagangan beras di Indonesia tahun 2017, yaitu melalui jalur produsen, agen, pedagang grosir, pedagang eceran dan konsumen akhir (rumah tangga).
Pendistribusian beras dari produsen ke pedagang pengecer tahun 2017 melalui agen dan pedagang grosir yang pada tahun 2016 hanya melalui agen.
MPP total beras yang dirilis BPS hanya dari penggilingan sebagai produsen, distributor, pedagang eceran hingga konsumen.
Harga gabah dari tingkat petani tidak di hitung.
Namun, faktanya harga gabah di penggilingan lebih mahal. Hal ini terjadi karena adanya peran tengkulak yang menjadi rantai tengah dari petani ke penggilingan.
Sebelum sampai ke rumah tangga sebagai konsumen akhir, padi/gabah dijual petani kepada tengkulak.
Atau biasanya petani akan menjual padi mereka kepada orang yang bersedia meminjami petani uang untuk modal menanam padi seperti pupuk, pestisida dan sebagainya.
Namun sebelumnya dilakukan perjanjian bahwa orang tersebutlah (tengkulak) yang akan membeli padi petani.
Selain itu, alasan petani menjual ke tengkulak adalah karena tengkulak lebih mudah membeli gabah mereka tanpa perlu memberikan persyaratan tingkat kekeringan gabah dengan standar tertentu.
Di sisi lain, petani tidak menjual beras ke BULOG, karena BULOG membeli berdasarkan harga inpres dan melakukan fleksibelitas harga.
Tetapi harga di petani lebih tinggi dari harga yang ditetapkan oleh pemerintah.
Setelah di panen, maka gabah akan dikeringkan (GKG), selanjutnya tengkulak inilah membawa hasil panen GKG untuk digiling menjadi beras di penggilingan.
Alhasil, dengan adanya peran tengkulak tersebut, harga gabah yang sampai ke penggilingan menjadi lebih
mahal.
Kemudian beras tersebut akan di jual kepada agen beras, agen kemudian menjual kepada pedagang grosir, dan barulah beras tersebut dijual kepada pedagang eceran yang akan menjual beras kepada konsumen.
Panjangnya distribusi perdagangan beras tentunya mempengaruhi besarnya MPP di Sumsel.
Sumsel dan provinsi lain di Indonesia dapat belajar dengan Provinsi Sulawesi Tenggara yang menjadi provinsi yang memiliki MPP terkecil di Indonesia yaitu hanya 5,98 persen.
Bahkan Sulawesi Tenggara, memiliki potensi pola distribusi yang sangat pendek yaitu dari produsen ke pedagang eceran dan langsung ke konsumen akhir.
Tentu saja, pendeknya rantai distribusi di Sulawesi Tenggara berdampak positif terhadap rendahnya selisih harga beras dari produsen ke konsumen akhir.
Pemerintah mempunyai andil yang kuat dalam menjaga harga beras tetap stabil yaitu dengan memastikan tersedianya stok beras dan melakukan intervensi dan kebijakan terhadap titik mata rantai distribusi beras yang dianggap terlalu panjang.
Peran satuan tugas pangan yang sudah terlihat titik terang terlihat dari menurunnya MPP nasional dapat terus diioptimalkan.
Kementerian Pertanian dengan Satgas Pangan hendaknya terus bersinergi melakukan pengawasan dan pendampingan terhadap program Toko Tani Indonesia (TTI) sebagai upaya memangkas distribusi penjualan beras.
Keberadaan TTI diharapkan menjadi alternatif harga bagi konsumen karena memperoleh suplai langsung dari gabungan kelompok tani (Gapoktan) di tiap daerah.
Artinya, Gapoktan sebagai wadah penyuplai beras harus tetap dibina dan diperbanyak jumlahnya.
Suksenya pembinaan kepada gapoktan maka memperbesar kemungkinan untuk terjadinya sukses panen bagi petani dan tersedianya stok gabah di Gapoktan.
Dengan demikian, maka suplai beras untuk TTI akan cukup tersedia sehingga TTI juga dapat didirikan dan disebar di tiap daerah.
Peran masyarakat pun tidak kalah pentingnya dalam memperpendek distribusi beras dengan jalan membeli beras di TTI dan ikut serta menjaga persedian beras dengan cara membeli beras secukupnya dan tidak menyimpan beras berlebihan di rumah.
Selain itu, yang tidak kalah penting adalah sinergitas Perum Bulog Kementerian Pertanian, Kementerian Perdagangan, Satgas Ketahanan Pangan, para pelaku usaha/asosiasi pangan dalam upaya menghadapi permasalahan distribusi penjualan beras di tanah air.
Instansi terkait hendaknya gencar melakukan sosialisasi Harga Eceran tertinggi (HET) komodittas beras yang diterapkan oleh pemerintah.
Keberadaan Asuransi usaha tani padi (AUTP), Badan Usaha Milik Desa (Bumdes), dan TTI diharapkan mampu mewujudkan harga beras tetap stabil dan terjangkau oleh semua kalangan masyarakat.
===