Minta Bantuan LPSK, 63.310 Korban First Travel Berharap dapat Kompensasi

Pengurus Pengelolaan Asset Korban First Travel (PPAKFT) yang mewakili para korban meminta kompensasi.

kolase.sripoku.com

SRIPOKU.COM - Pengurus Pengelolaan Asset Korban First Travel (PPAKFT) yang mewakili para korban meminta kompensasi atas penipuan dan penggelapan yang dilakukan perusahaan perjalanan umrah First Travel.

Permohonan kompensasi dan restitusi itu diajukan melalui Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK).

 
Menurut kuasa hukum korban dari PPAKFT, Luthfi Yazid, LPSK dapat melakukan semacam intervensi untuk menyelamatkan aset First Travel.

"Dalam konteks inilah sebenarnya Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) dapat melakukan semacam intervensi untuk menyelamatkan asset First Travel.

Karena LPSK juga mempunyai yurisdiksi untuk melindungi harta korban kejahatan," ujar Luthfi melalui siaran pers, Senin (4/6/2018).

Menurut Luthfi mekanisme restitusi melalui LPSK agaknya dapat juga dilaksanakan berdasarkan UU No 13 Tahun 2006 juncto Peraturan Pemerintah No 44 Tahun 2008 tentang Pemberian Kompensasi, Restitusi dan Bantuan Kepada Saksi dan Korban.

Selain pidana penjara, majelis hakim juga memutuskan aset yang disita untuk dirampas oleh negara.

Luthfi pun mempertanyakan mengapa aset harus dirampas negara.

Ia menambahkan memang berdasarkan Pasal 39 juncto 46 (2) KUHAP barang sitaan hasil kejahatan dapat dirampas negara.

"Tapi bagaimana kemudian solusinya bagi korban? Mayoritas korban menginginkan uangnya kembali, atau.refund. Bagi para jamaah, yang mereka pahami ialah, mereka menyetor penuh ke perusahaan First Travel dan mereka taunya harus berangkat umroh. Namun putusan hakim menyatakan tidak. Ini tragis," ujar Luthfi.

Apalagi, ia melanjutkan, sebagian jemaah mengumpulkan uangnya dari pensiun, uang lembur, jualan sayur, dan semacamnya agar dapat pergi umroh ke tanah suci.

Selain meminta LPSK membantu soal kompensasi, pihak kuasa hukum juga meminta fatwa hukum Mahkamah Agung.

Luthfi mengatakan, apabila dalam proses penyitaan ada aset sita atau barang bukti yang dianggap milik pihak ketiga, maka harus dijelaskan dalam sebuah persidangan.

Sebab kata dia setiap penyitaan yang dilakukan dengan sebuah penetapan, maka mengalihkan asset barang sita haruslah dengan putusan pengadilan.

"Jika tidak, maka itu namanya pengalihan sepihak dan ilegal. Untuk pengembalian atau pengalihan barang sitaan juga harus memperhatikan Penjelasan Pasal 46 KUHAP yang menyebutkan 'untuk pengembalian barang harus memperhatikan segi kemanusiaan, dengan mengutamakan yang menjadi sumber kehidupan'," ujar Lutfhi.

Halaman
12
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved