Nafsu Kekuasaan

Membendung Nafsu Kekuasaan Untuk Kearifan

Ada sebuah pertanyaan yang membutuhkam jawaban baik baik yang terkait maupun masyarakat umum.

Editor: Salman Rasyidin
zoom-inlihat foto Membendung Nafsu Kekuasaan Untuk Kearifan
ist
Drs.HM. Daud Rusjdi AW

Membendung Nafsu Kekuasaan Untuk Kearifan 
Oleh : Drs.HM. Daud Rusjdi AW

Penulis, Da'i Bidtadwin/Pengurus Masjdi Al Qodr.

Ada sebuah pertanyaan yang membutuhkam jawaban baik baik yang terkait maupun masyarakat umum.

Pertanyaan itu kira-kira terkait apa yang diperoleh bila seseorang suatu saat kehilangan jabatan, kedudukan dan kekuasaannya ?

Jawab yang muncul sangat beragam terkait dari sudut mana malihat memehami pertanyaan tersebut.

Antara lainnya jawabannya mungkin kearifan, tetapi biasanya lebih banyak kesepian, power sindrome atau justru merusak harmoni.

Kosongnya hidup seorang yang kehilangan kekuasaan, jabatan atau kedudukan apapun tingkatannya, biasanya terasa merawankan hati.

Mereka kehilangan arah sehingga tidak tahu apa yang harus dilakukan dengan diri sendiri.

Bahkan bingung untuk melakukan sesuatu dengan waktu yang ada.

Resah dan gelisah dirasakan sehingga terkadang pula bila tidak diimbangi dengan iman yang kuat, tidak jarang mendorong seseorang dengan mudah melakukan perbuatan-perbuatan negatif.

Tanpa bekal iman yang mantap, seseorang dengan mudah terbawa dan tergoda oleh arus kebudayaan yang bertentangan dengan ajaran Islam, sehingga akan mengakibatkan hidupnya tidak tenteram dan hatinya selalu gelisah. Bila keresahan hidup dibiarkan terus menerus, maka pasti akan mempengaruhi kesehatan jasmani dan mengakibatkan penderitaan yang berkepanjangan.

Tidak sedikit pasien mantan pejabat yang datang ke dokter untuk berobat karena merasa dirinya sakit, padahal setelah diperiksa ternyata tidak ditemukan adanya suatu penyakit.

Sebenarnya penyakit yang dideritanya itu bukan penyakit jasmani tetapi penyakit rohani yang mengganggu perasaan hati dan pikirannya sehingga merasa resah dan gelisah serta kecemasan akibat lepas dari kekuasaan atau jabatan.

Menurut salah seorang pakar kalbu, ada tiga macam kiat untuk menghilangkan rasa resah, gelisah dan kecemasan.

Pertama mengingat Allah.Dimaksud mengingat Allah adalah dengan banyak mengucapkan dzikir dengan membaca tasbih, tahmid, tahlil, dan takbir.

Kedua, dengan menemui para wali Allah.

Yang dimaksudkan dengan wali Allah itu adalah para ulama dan orang-orang shaleh.

Ketiga, mendengar nasihat orang-orang bijak yaitu penjelasan atau keterangan dari para ulama yang menunjukkan kebaikan dunia dan akhirat.

Akibat merasa resah, gelisah dan kecemasan itu, kita dapat menyaksikan sekarang terutama di negeri kita tercinta ini, orang selalu berusaha mempertahankan kekuasaan atau jabatannya.

Sehingga ditempuhlah berbagai cara agar dia tidak tergeser dari kekuasaan atau jabatannya itu.

Hal seperti ini tentunya disebabkan tidak bisa membendung nafsu yang bersarang dihatinya, sehingga nafsu menyebabkan Penguasa menjadi budak.

Mereka sudah dikuasai oleh nafsu serakah sehingga menganggap dialah yang serba paling dari orang lain.

Ada dua hal yang tidak terasa bila seseorang berada di puncak kekuasaan.

Di puncak kekuasaan atau di posisi jabatan itu, persahabatan ibarat tali yang getas, sering palsu dan penuh muslihat.

Biasanya teman dekat bisa saja berubah jadi musuh, atau penghambat yang setiap saat bisa saja menyingkirkan.

Saat berkuasa atau menjabat suatu jabatan, kemurahan hati dari orang lain, biasanya dirasakan cuma sederet taktik.

Apalagi saat sekarang ini orang baru belajar bicara bebas.

Tentunya karena baru belajar, maka acapkali melupakan tata krama.

Disinilah para pemimpin seperti dihukum untuk selalu curiga, karena tidak banyak orang yang berlapang dada.

Tentunya bagi seseorang yang berketetapan hati bahwa jabatan dan kekuasaan bukan segala tujuan, ia akan mampu melihat dunia dengan lebih memikat dan lingkungan sekitar lebih terang, karena perlu menumbuhkan proses kreatif, dan itulah yang disebut kearifan.

Dalam perbendaharaan peribahasa Melayu, ada sederet peribahasa yang sudah tidak asing lagi kita dengar karena sudah sangat terkenal.

Peribahasa itu adalah Makan asam garam.

Makna yang terselubung disitu berarti pengalaman, dan biasanya peribahasa ini selalu dikaitkan dengan kearifan orang tua.

Di deretan yang lain peribahasa bagi yang belum berpengalaman dikenal dengan kalimat baru setahun jagung.

Masyarakat Melayu sangat menghormati orangtua.
Bagi mereka orang tua dianggap sebagai panutan yang harus digugu dan ditiru.

Orangtua memang dianggap sebagai suhu atau guru yang banyak mengetahui tentang seluk beluk kehidupan.

Biasanya kepada merekalah tempatnmengadukan segala masalah yang menyangkut hidup dan kehidupan.

Mengapa orangtua mendapat tempat yang sedemikian tinggi?.

Kalau kita kembalikan kepada peribahasa tadi, jelas karena pengalamanlah maka orangtua ditempatkan pada posisi seperti itu.

Karena pengalaman itulah, orangtua dinilai selalu arif dalam bersikap, dan santun dalam berucap.

Ada yang perlu direnungi kembali yaitu keterkaitan antara pengalaman dan kearifan.

Pengalaman tidak selalu melahirkan kearifan kepada seseorang, tetapi kearifan dapat terwujud berdasarkan pengalaman yang pernah dilalui.

Dari situ kita dapat memahami, bahwa kearifan hanya dapat dimiliki oleh orang yang berpikir dan berhati, karena dengan kedua komponen itulah ia senantiasa dapat mengambil hikmah dari pengalman-pengalamannya.

Hasilnya, dari pembelajaran itulah yang dapat menumbuhkan kearifan.

Asalkan kedua komponen ini dipenuhi maka baik tua maupun muda akan medapatkan kearifan.

Itu adalah kearifan yang selalu berharga untuk disumbangkan kepada orang lain.

Terutama kepada orang yang terhenyak di kursi kekuasan yang belum menemukan kearifan.

Sebab, kekuasaan selain memberikan kemampuan ternyata juga memberikan ketidakmampuan.

Orang yang sedang menjabat atau berkuasa, biasanya sulit untuk melihat dirinya sendiri.

Bahkan terkadang disana-sini ia kurang mengerti perasaan sendiri dan pendapat orang lain.

Akibatnya banyak diantaranya yang memperoleh rezeki dan popularitas secara zalim.

Oleh karenanya untuk membendung nafsu, baik nafsu kekuasaan, nafsu jabatan, nafsu sex dan nafsu-nafsu apapun bentuknya, perlu adanya perisai diri.

Perisai diri itu adalah sikap wara' yang secara harfiyah berarti menahan diri, berhati-hati atau menjaga
diri supaya tidak jatuh pada kecelakaan.

Ibrahim bin Adham mendifinisikan wara' yaitu meninggalkan semua subhat dan apa-apa yang tidak berarti baginya, yaitu hal-hal yang tidak berguna dan sia-sia.

Sikap wara' ini banyak dicontohkan oleh para ulama' terdahulu.

Seperti Sufan al Tsauri, bila tidak menemukan makanan yang halal dan bersih, dia rela untuk tidak makan berhari-hari.

Lalu Ibn al Mubarak pernah kembali dari Khurasan pergi ke Syam hanya karena lupa mengembalikan pulpen yang dipinjam dari temannya.

Demikian juga Ibrahim bin Adham pernah kembali dari Palestina pergi lagi ke Basrah hanya untuk mengembalikan satu biji kurma karena itu tidak termasuk yang ditimbang tatkala ia membelinya.

Perisai yang lainnya yang datang dari diri sendiri, yaitu mawas diri.

Mawas diri identik dengan menahan diri.

Pertanyaannya, di zaman modern yang serba maju seperti sekarang ini, kebutuhan hidup kian tinggi yang menyebabkan banyak orang lantas merasa takut untuk tidak dapat memenuhi kebutuhannya sehingga jatuh miskin..

Memang disepanjang zaman, kemiskinan menjadi momok bagi manusia.
Karena ketiadaan materi identik pula dengan kesusahan.

Karena itu dari dulu hingga kini, manusia berlomba memburu materi untuk membunuh kemiskinan.

Hal itu manusiawi karena kecintaan kepada materi adalah fitrah manusia.

Dijadikan indah dalam pandangan manusia kecintaan pada apa-apa yang diingini, yaitu wanita, anak-anak, harta yang banyak dari berbagai jenis seperti emas, erak, mobil dan sawah ladang serta kebun yang luas,

itulah kesenangan hidup. Harta atau materi memang hal yang tidak dapat dipisahkan dalam kehidupan.
Oleh karenanya baik penguasa, pengusaha, pejabatndan siapa saja berlomba untuk mengejar harta.

Masalahnya sekarang, mungkinkah kita mempraktekkan sikap wara' dalam zaman sekarang ini yang hampir-hampir sulit sekali membedakan mana yang halal dan mana pula yang haram ?

Sumber: Sriwijaya Post
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved