Reformasi Partai Politik

Reformasi Partai Politik Menghadapi Pilkada Serentak 2018 dan Pileg 2019

Pada 2018, setidaknya terdapat 9 Pilkada di Sumsel, termasuk Pilkada gubernur/wakil gubernur Sumsel serta pada 2019 juga akan dilaksanakan (Pileg)

Editor: Salman Rasyidin
zoom-inlihat foto Reformasi Partai Politik Menghadapi Pilkada Serentak 2018 dan Pileg 2019
ist
Muhammad Tuwah

Hal ini karena dengan semakin kritisnya masyarakat, maka tema-tema politik yang tidak mengarah pada kepentingan mereka akan cenderung ditinggalkan.

Keempat, citra partai. Semakin baik citra partai, semakin mempermudah upaya untuk menarik simpati rakyat.

Citra positif partai itu sendiri merupakan akumulasi dari sebuah komitmen pelayanan dalam bentuk kerja-kerja konkrit yang dapat dirasakan langsung, perjuangan sungguh-sungguh di dalam parlemen, kepedulian yang tinggi terhadap keprihatinan rakyat yang tercermin dari keinginan untuk mau menjadi teman di kala sulit.

Prinsipnya upaya memenangkan hati masyarakat ke depan bukanlah pekerjaan sekejap mata.

Namun sebuah proses panjang yang melibatkan banyak elemen di dalamnya.

Di sinilah reformasi parpol menjadi suatu keniscayaan.

Menurut Abdul Gafur Sangadji, reformasi parpol memang sebuah keniscayaan demokrasi modern saat ini karena harapan untuk membangun masa depan politik yang lebih demokratis sulit terwujud jika parpol sebagai kekuatan demokrasi tidak menunjukan i’tikad baik.

Bila merujuk pada pemikiran Robert Michels (1984), maka jawabannya adalah karena kuatnya oligarki parpol.

Parpol dengan sistem ini memang sulit untuk membuka ruang kebebasan bagi kadernya.

Kebijakan partai bertumpuk pada kekuasaan elite partai.

Sehingga sulit untuk diterapkannya sistem desentralisasi kepartaian.

Tidak sedikit kader parpol yang "cemerlang" dan "potensial" harus "mati suri" sebab diwajibkan taat terhadap keputusan partai yang bersifat final, sehingga secara perlahan terjadi "pembunuhan" karakter terhadap kader tersebut.

Parpol yang cenderung hegemonik akan terjebak dalam logika kalkulasi kepentingan politik.

Sehingga sulit untuk menerima hal yang bertentangan dengan kepentingan partai.

Lebih jauh, pengamat politik CSIS, J Kristiadi menilai, kini Parpol diisi petualang-petualang yang oportunistis dan membuat kebijakan-kebijakan yang tidak berwawasan kenegaraan.

Hal yang sama juga diungkapkan pakar hukum tata negara, Saldi Isra, proses kaderisasi parpol belum berjalan maksimal dan kurang memperhatikan kader-kader di tingkat daerah.

Parpol saat ini belum sepenuhnya menjadi tempat untuk menempa kader menjadi politikus yang handal.

Sepanjang sejarah reformasi, tergambar komposisi aktor-aktor di mana secara materil memang berganti, tetapi substansi karakternya masih belum banyak berubah.

Jika kita amati secara empirik, tipikal elit-elit politik di Indonesia yang paling mencolok dan cukup terasa biasnya bagi rakyat hingga saat ini yaitu ;

1). adanya kecenderungan para elit politik hanya mengutamakan kepentingan dan agenda politik mereka sendiri;

2) adanya upaya keras mempertahankan posisi mapan mereka saat ini;

3). Para elit politik belum terbuka terhadap kritikan, sehingga secara implisit berupaya membendung munculnya pencerdasan politik rakyat karena khawatir dapat melahirkan sikap kritis rakyat pada mereka yang dapat berimbas pada lunturnya dukungan rakyat kepada elit.

Sistem politik kepartaian harus segera dibenahi sebab bila tidak, maka berimbas pada “mandul”-nya fungsi parpol sebagai sarana komunikasi politik, sosialisasi politik, rekruitmen poltik, dan pengatur konflik.

Parpol lebih sering berfungsi sebagai alat kepentingan individu daripada agrerasi kepentingan kelompok.

Reformasi parpol tidak hanya sebatas pencitraan, tetapi bersifat mendasar dan komprehensif, yakni; pertama, visi, platform, dan program partai perlu diperjelas.

Seluruh sumber daya manusia di parpol perlu memahami cara memperjuangkan dan merealisasikan aspirasi rakyat.

Kedua, proses-proses politik di internal parpol perlu didekonstruksi secara demokratis.

Hal ini sangat penting demi tetap terpeliharanya iklim demokrasi.

Mekanisme kepemimpinan dan perekrutan harus berpegang pada prinsip-prinsip demokrasi,
seperti partisipatif, jujur, adil, akuntabel, dan transparan serta bebas money politics.

Parpol juga perlu benar-benar menjalankan pendidikan politik bagi rakyat, sosialisasi politik, dan komunikasi politik yang baik.

Ketiga, moralitas dan patsun politik para politikus partai perlu diperbaiki.

Parpol harus menerapkan sanksi yang tegas, hingga pemecatan, kepada pemimpin, pengurus dan kadernya yang masih tetap melakukan tindakan tidak terpuji.

Keempat, perlu dilakukan regenerasi.

Kalangan muda tampil dalam kepemimpinan parpol yang akan membawa "darah segar: dan inspirasi baru.

Kehadiran mereka juga akan memunculkan harapan baru dan perbaikan citra di mata rakyat.

Kelima, Parpol perlu mulai turut merumuskan arah bangsa.

Sebagai institusi pencetak dan perekrut pemimpin bangsa, parpol perlu memiliki konsep bagi masa depan bangsa.

Kecenderungan menempatkan parpol hanya sebagai komoditi harus dihentikan.

Upaya reformasi Parpol dilakukan selain menyelamatkan demokrasi dan menghindarkan kehidupan bangsa dari deparpolisasi, juga untuk menyelamatkan parpol sendiri dari bahaya ditinggalkan rakyat.

Potret buram yang ada di parpol sekarang ini perlu dibersihkan, agar tetap bisa eksis dalam iklim persaingan yang lebih sehat. Semoga.

Sumber: Sriwijaya Post
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved