Hidayah
Memetik Pelajaran Berharga dari Tuna Netra
Perjalanan hidup cucu Adam memang tidak akan pernah sama dalam catatannya, begitu juga hasilnya
Penulis: Salman Rasyidin | Editor: Salman Rasyidin
Membayangkan saja sudah repot, bagaimana kalau sudah benar-benar datang?
Ternyata dugaan Haprayo benar.
Hari pertama ia tiba ia sudah banyak bertanya tentang seluk beluk denah rumah.
Di mana tempat MCK, di mana letak ini itu.
Sangat menyebalkan.
Kadang Haprayo tak dapat menahan tawa, di awal pekan kehadirannya ia sering menabrak sana-sini, hingga membuat Haprayo berteriak-teriak mengingatkannya.
Benar-benar bikin repot.
Pekan berikutnya ia sudah hafal tempat-tempat di rumah.
Tiap hari kerjanya menyapu, bersih-bersih rumah bahkan ia menyikat kamar mandi juga menyetrika!
Haprayo diam-diam terkagum-kagum.
Meski seusia dengannya, belum pernah Haprayo yang normal begini mengerjakan semua tugas itu. Semua beres di tangan ibu.
Belum lagi ia rajin shalat dan mengaji dengan Al Quran Braille.
Suaranya merdu dan tak jarang sesekali suaranya tersendat seperti menahan tangis saat membaca Al Quran.
Sering Haprayo diam-diam berada di belakangnya, memerhatikan ia meraba-raba titik-titik
yang bertonjolan di buku Al Qurannya.
Sumpah, dia bisa membuatku bangun pagi atau tak membuat Haprayo pergi serta rela tak tidur
siang hanya untuk bisa memerhatikan dan mengamatinya.
Jika ia yang tak sempurna saja begitu rajin dan semangat belajar juga beribadah.
Sempat Haprayo bertanya dalam hati, "kenapa aku yang sehat justru sibuk maksiat.?"
Entah, ada kekuatan dari mana, meski malu-malu kucing pada awalnya, Haprayo sering diam-diam
menjadi makmum di sampingnya.
Biasanya ia akan tersenyum dan menepuk punggungku seraya berucap syukur.
Lama-kelamaan Haprayo merasa dekat dengannya.
Sedikit demi sedikit Haprayo mulai berubah, meski JUhan harus mati-matian menahan keinginan lamanya.
Alhamdulillah, pada akhirnya Haprayo bisa berhenti dan lepas dari semua itu.
Haprayo akhirnya mampu meninggalkan masa lalunya tanpa keraguan sedikitpun.