Tertidur Ketika Khutbah Jum'at, Bagaimana Hukum Wudhu dan Shalatnya? Begini Penjelasannya
Ini sebab utama mengapa umumnya kaum muslimin sulit untuk menjadi umat yang terdidik, meskipun setiap pekan mereka mendengarkan ceramah dan khutbah.
Inilah yang menjadi pendapat beberapa sahabat semacam Ibnu ‘Umar dan Abu Musa Al Asy’ari.
Pendapat ini juga menjadi pendapat Sa’id bin Jubair, Makhul, ‘Ubaidah As Salmaniy, Al Awza’i dan selain mereka.
Di antara dalil mereka adalah hadits dari Anas bin Malik,
“Ketika shalat hendak ditegakkan, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berbisik-bisik dengan seseorang. Beliau terus berbisik-bisik dengannya hingga para sahabat tertidur. Lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun datang dan shalat bersama mereka.” (HR. Muslim)
Qotadah mengatakan bahwa ia pernah mendengar Anas berkata, “Para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah ketiduran kemudian mereka pun melakukan shalat, tanpa berwudhu lagi.” Ada yang mengatakan, “Benarkah engkau mendengar hal ini dari Anas?” Qotadah, “Iya betul. Demi Allah.” (HR. Muslim)
Pendapat kedua: Tidur termasuk pembatal wudhu, baik tidur sesaat maupun tidur yang lama.
Pendapat ini adalah pendapat Abu Hurairah, Abu Rofi’, ‘Urwah bin Az Zubair, ‘Atho’, Al Hasan AL Bashri, Ibnul Musayyib, Az Zuhri, Al Muzanni, Ibnul Mundzir dan Ibnu Hazm.
Pendapat ini juga dipilih oleh Syaikh Al Albani -rahimahullah.
Dalam hadits ini disebutkan tidur secara umum tanpa dikatakan tidur yang sesaat atau yang lama.
Dan ditambah lagi bahwa tidur ini disamakan dengan kencing dan buang air besar yang merupakan pembatal wudhu.
Dalil dari pendapat ini adalah sebagaimana buang air besar dan kencing menyebabkan batalnya wudhu ketika memakai khuf, begitu pula tidur.

Perhatikan hadits berikut dari Shofwan bin ‘Assal tentang mengusap khuf,
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kepada kami, jika kami bersafar, maka cukup kami mengusap sepatu kami, tanpa perlu melepasnya selama tiga hari. Tidak perlu melepasnya ketika wudhu batal karena buang air besar, kencing atau tertidur kecuali jika dalam keadaan junub.” (HR. An-Nasa’i)
Pendapat ketiga: Tidur yang lama yang membatalkan wudhu dalam keadaan tidur mana saja. Sedangkan tidur yang cuma sesaat tidak membatalkan wudhu. Pendapat ini dipilih olehh Imam Malik dan salah satu pendapat dari Imam Ahmad. Pendapat ini memaknai hadits Anas yang disebutkan dalam pendapat pertama sebagai tidur yang sedikit (sesaat). Mereka memiliki argumen dengan perkataan Abu Hurairah, “Barangsiapa yang tertidur, maka wajib baginya untuk berwudhu.” (HR. Baihaqi) Namun perkataan ini hanya sampai derajat mauquf (perkataan sahabat)
Pendapat keempat: Tidak membatalkan wudhu kecuali jika tidurnya dalam keadaan berbaring (pada lambung) atau bersandar.