Adat Lamaran Kayuagung Hingga Kini Masih Eksis

Proses tradisi adat lamaran dalam suku Kayuagung, Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI) tercatat sudah ada sejak abad 15.

Penulis: Mat Bodok | Editor: Ahmad Sadam Husen
SRIPOKU.COM/MAT BODOK
Antar-antaran yang dibawa oleh mempelai lelaki untuk mempelai wanita, serta sepasang pasangan pengantin yang diarak keliling kampung, menyusuri Sungai Komering. 

Di adat lamaran perkawinan pinang dibelah ini, pihak laki-laki mengundang tetangga dan sanak familinya untuk menyaksikan jalannya ijab qobul putranya, dan mereka juga mengundang pihak perempuan khusus untuk kelompok bapak-bapak (rombongan ungaiyan). Tujuan mengundang keluarga dekat pihak perempuan hakekadnya untuk mengiringkan ayah atau wali dalam menyaksikan dan mendoakan yang akan diijab qobul. Selain itu, untuk mengetahui gelar yang akan diberikan pada pasangan pengantin yang baru dinikahkan.

Dengan demikian, bapak-bapak yang datang dari pihak perempuan  itu jumlahnya ditentukan sesuai berapa banyak hidangan yang disiapkan pihak laki-laki (utoran), dimana setiap utoran itu dinamakan kungaiyan, yang melaksanakan undangan kungaiyan disebut dalam istilah ngungaykon dan bertugas menerima rombongan ungaiyan.

“Persedekahan ini dilaksanakan pada siang hari, dimana biasanya dilengkapi dengan beberapa prosesi adat dan tetabuhan tradisional seperti tanjidur,” jelas Yuslizal yang juga menyebutkan, untuk melaksanakan prosesi pernikahan adat pinang dibelah dilaksanakan beberapa titian adat, yakni adanya malam ningkuk, nutu mehumbu, pati sapi, kungaiyan, ijab qobul diteruskan prosesi ngoni cangkingan, ngunwai jejuluk (memberi gelar) setelah mufakat dari dua belah pihak. Kemudian manjow kahwein, ngatot sansan, dan anantuwui, jika resepsi jika mampu dilakukan.  

Mabang Handak

Selanjutnya, adanya adat prosesi lamaran menjelang pernikahan kelasnya sangat tinggi lengkap dengan segala aturan adat yang disebut pernikahan Mabang Handak (Burung putih) sebagai simbol kekayaan atau orang ningrat. Persedekahan ala Mabang Handak ini seakan-akan persedekahan yang hanya mampu dilaksanakan oleh kaum bangsawan atau orang-orang ningrat saja.

Disebutkan Yuslizal, prosesi Mabang Handak adalah pernikahan terlengkap dipandang dari sisi pelaksanaan adat istiadatnya, karena semua norma adat pernikahan dipakai secara utuh. Yang terunik, misalnya ada prosesi pasangan pengantin ditimbang disaat “Manjow Kahwein”, adanya tari cang cang oleh pihak besan berbesan, adanya kereta hias yang sebut Juli, ada kecuwaan debingi ditandai arakan yang diiringi tanjidur serta ada rombongan pembawa obor dan lain-lain.

“Sebelum dilaksanakan persedekahan, pada hari jadinya ijab qobul dilaksanakan arak-arakan muda mudi mengarak pasangan pengantin berjalan mengitari jalan pinggiran Sungai Komering yang disebut Midang Bergorok,” kata Budayawan OKI ini, sembari menjelaskan jika panjang lebar pada bagian lain sebelum persedekahan, dilaksanakan prosesi yang namanya ngantat sow-sow (mengantar kue bolu dan sejenis kue lainnya), betorang (lamaran terakhir kepada pihak mempelai wanita), manjow masak matah (berkumpul kedua belah pihak sebagai arti tanda jadi berlangsungnya pernikahan kedua mempelai), serta prosesi lain yang tidak dimiliki oleh pola pernikahan pinang dibelah dua.

Untuk proses lamaran hingga jenjang perkawinan, adat Mabang Handak bisa menghabiskan waktu selama tujuh hari tujuh malam, dua belah pihak mengadakan perhelatan dengan berbagai kegiatan, baik itu untuk muda mudi maupun kaum orang tua. Semua itu, sebagai tanda persedekahan secara besar-besaran, dimana minimal pihak laki-laki memotong sapi atau kerbau dewasa minimal 2 ekor. Pihak laki-laki memberi pakaian khusus tanda hubungan kepemilikan serta hubungan kerabat kampung dan jiron tetangga, baik untuk kaum bapak maupun ibu-ibu.

Tak hanya itu, seluruh adik beradik dari pengantin perempuan diberi pakaian seragam khusus, baik orang tua kandung, besan berbesan, kakek nenek sampai lapisan hubungan buyut. “Untuk pemberian baju ini dinamakan ngepesalini, yakni memberi baju pengantin atau baju belapis,” kata Yuslizal.

Diharapkan Yus Lizal, minimal genarasi penerus dapat mengetahui serta mensikapi dengan kebanggaan tersendiri bahwa begitu agungnya ragam budaya serta nilai tradisi yang pernah ada di Kota Kayuagung.

“Adat dan cagar budaya serta wisata yang ada di Kabupaten OKI ini harus terjaga dan dirawat, tentu peran serta ini tak cukup dari budayawan ataupun rakyat kecil. Semua itu tak lepas dari perhatian Pemerintah Daerah (Pemda) untuk pelaksanaan pengawasannya,” tandas Yuslizal saat ditemui di rumah Kelurahan Sidokersa Kayuagung.

1.      Adanya aturan yang mengatur perkawinan yang paling rendah derajatnya yang mereka sebut Setinong-tinong

2.      Adanya hukum atau tata cara prosesi adat perkawinan yang kelasnya disebut Sepinong-pinong

3.      Adat Perkawinan Pinang Dibelah

4.      Adanya adat prosesi pernikahan kelasnya sangat tinggi lengkap dengan segala aturan adat yang disebut pernikahan Mabang Handak

Sumber: Sriwijaya Post
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved