Adat Lamaran Kayuagung Hingga Kini Masih Eksis

Proses tradisi adat lamaran dalam suku Kayuagung, Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI) tercatat sudah ada sejak abad 15.

Penulis: Mat Bodok | Editor: Ahmad Sadam Husen
SRIPOKU.COM/MAT BODOK
Antar-antaran yang dibawa oleh mempelai lelaki untuk mempelai wanita, serta sepasang pasangan pengantin yang diarak keliling kampung, menyusuri Sungai Komering. 

SRIPOKU.COM, KAYUAGUNG -- Proses tradisi adat lamaran dalam suku Kayuagung, Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI) tercatat sudah ada sejak abad 15 dan dibawa rombongan Puyang Mukedum Murar Alam dari Lampung.

Saat itu, mereka masuk ke tanah Ogan Komering Ilir, tepatnya di derah Kuto Pandang Lempuing. Masa itu, pada zaman pra sejarah belum ada sistem pemerintahan yang mengatur daerah serta rakyatnya. Adat lamaran Kayuagung, meskipun seiring dengan perkembangan zaman, tetap eksis sampai sekarang.

Berjalannya proses lamaran hingga kejenjang pernikahan, dijelaskan Budayawan Kabupaten OKI, Yuslizal, bisa dilihat dari kanca alurnya, tergantung dengan kesepakatan antara kedua belah pihak yang akan melakukan akad pernikahan itu sendiri.

budayawan
Budayawan OKI, H. Yuslizal, S.Pd.

Menurut Yuslizal, yang juga mantan Sekretaris Pembina Adat Suku Kayuagung, adat lamaran hingga kejenjang pernikahan sangat panjang. Seperti nyelabar, dimana dari pihak laki-laki mengutus minimal 2 orang untuk menyelidiki keluarga kepihak perempuan yang akan dinikahkan untuk dimintai apakah anak gadis yang ditemui tersebut apakah mau dinikahi oleh anak bujang yang diberikan pesan tadi.

Namun, pada saat kedatangan perwakilan laki-laki tadi, si orang tua dari anak perempuan belum mengambil keputusan, karena akan menanyakan terlebih dulu, apakah anak gadisnya memang mau atau tidak  untuk dinikahi. Setelah itu, barulah dilanjutkan prosesi lamaran yang telah diatur pelaksanaan lamaran sampai kejenjang pernikahan. Ada empat katagori diantaranya, pertama, adanya aturan yang mengatur perkawinan yang paling terendah derajatnya yang mereka sebut setinong-tinong.

Setinong-tinong  

Adat lamaran perkawinan merupakan adat prosesi pernikahan yang ada di dalam masyarakat suku Kayuagung yang tidak beradat. “Maksudnya berlangsung dari lamaran hingga pernikahan ijab qobul tidak perlu menggunakan adat yang mengatur upacara pernikahan dimaksud. Ijab qobul dilaksanakan secara sangat sederhana yang sifatnya suatu keharusan untuk dilaksanakan pernikahan,” kata Yuslizal.

Dituturkan Yus, hal tersebut dilatarbelakangi oleh beberapa faktor, diantaranya, sifat yang paling mendesak menghindari nama baik dua belah pihak keluarga dikarenakan si perempuan terjadi hamil diluar nikah. Bisa saja, calon suami harus segera meninggalkan kampung halaman karena tugas.

Sepinong-pinong

Lalu kedua, adat lamaran hingga perkawinan sepinong-pinong, yakni adanya hukum atau tata cara prosesi adat lamaran hingga kejenjang perkawinan. Adat ini melatar belakangi perkawinan prosesi tersebut faktor kesederhanaan dan faktor ekonomi. “Pelaksanaan perkawinan sepinong-pinong ini dominan dilaksanakan pada malam hari. Tempat pelaksanaan ijab qobul di rumah pengantin laki-laki. Setelah selesai ijab qobul pengantin perempuan diantar ke rumah orang tuanya dengan diantar oleh suaminya dan diiringi oleh beberapa keluarga pengantin laki-laki,” ujar Yuslizal yang menyebutkan istilah adat suku Kayuagung ini dinamakan ‘Tandang Sujud”.

Pengantin perempuan tadi, setelah dititipkan di rumah orang tuanya maksimal selama empat hari yang disebut “Anan Tuwui”. Pengantin laki-laki tidak ikut bermalam di rumah isterinya. Namun, setiap pagi pengantin laki-laki datang dengan membawa belanjaan lauk pauk untuk makan.

Pada saat waktu empat hari yang ditentukan, pihak laki-laki mengutus dua orang ibu-ibu (bai-bai) untuk menjemput pengantin perempuan dan pengantin laki-laki menjemput didampingi oleh seorang pemuda yang disebut pukal bengiyam. Kepulangan pengantin dari rumah orang tuanya disebut “Maju Mulang Anan Tuwui”. 

Jadwal kepulangan ini biasaya mengambil waktu siang menjelang senja. Pengantin perempuan tidak pulang dengan tangan hampa, dia membawa pesangon dari orang tuanya serta pemberian sanak keluarganya berupa seperangkat alat tidur sepasang pengantin serta alat tidur untuk orang tua pengantin laki-laki yang disebut pedatong.  Barang bawaan dari pengantin perempuan dilengkapi dengan alat-alat dapur dan alat perlengkapan rumah tangga.   

Pinang dibelah Dua

Kemudian yang ketiga, adat lamaran perkawinan pinang di belah. Istilah ini secara hukum filosofis yang ada di masyarakat suku Kayuagung memiliki sebuah perumpaan, yaitu suatu keadilan sama rata. Maksud dari istilah ini dihubungkan dengan persedekahan adalah bahwa dua belah pihak mengadakan persedekahan bersamaan dimasing-masing pihak dalam waktu yang sama. Pihak laki-laki mengundang sanak familinya demikian juga pihak perempuan. Dua pihak melakukan persedekahan untuk menghubungkan prosesi jalannya adat perkawinan.

Di adat lamaran perkawinan pinang dibelah ini, pihak laki-laki mengundang tetangga dan sanak familinya untuk menyaksikan jalannya ijab qobul putranya, dan mereka juga mengundang pihak perempuan khusus untuk kelompok bapak-bapak (rombongan ungaiyan). Tujuan mengundang keluarga dekat pihak perempuan hakekadnya untuk mengiringkan ayah atau wali dalam menyaksikan dan mendoakan yang akan diijab qobul. Selain itu, untuk mengetahui gelar yang akan diberikan pada pasangan pengantin yang baru dinikahkan.

Dengan demikian, bapak-bapak yang datang dari pihak perempuan  itu jumlahnya ditentukan sesuai berapa banyak hidangan yang disiapkan pihak laki-laki (utoran), dimana setiap utoran itu dinamakan kungaiyan, yang melaksanakan undangan kungaiyan disebut dalam istilah ngungaykon dan bertugas menerima rombongan ungaiyan.

“Persedekahan ini dilaksanakan pada siang hari, dimana biasanya dilengkapi dengan beberapa prosesi adat dan tetabuhan tradisional seperti tanjidur,” jelas Yuslizal yang juga menyebutkan, untuk melaksanakan prosesi pernikahan adat pinang dibelah dilaksanakan beberapa titian adat, yakni adanya malam ningkuk, nutu mehumbu, pati sapi, kungaiyan, ijab qobul diteruskan prosesi ngoni cangkingan, ngunwai jejuluk (memberi gelar) setelah mufakat dari dua belah pihak. Kemudian manjow kahwein, ngatot sansan, dan anantuwui, jika resepsi jika mampu dilakukan.  

Mabang Handak

Selanjutnya, adanya adat prosesi lamaran menjelang pernikahan kelasnya sangat tinggi lengkap dengan segala aturan adat yang disebut pernikahan Mabang Handak (Burung putih) sebagai simbol kekayaan atau orang ningrat. Persedekahan ala Mabang Handak ini seakan-akan persedekahan yang hanya mampu dilaksanakan oleh kaum bangsawan atau orang-orang ningrat saja.

Disebutkan Yuslizal, prosesi Mabang Handak adalah pernikahan terlengkap dipandang dari sisi pelaksanaan adat istiadatnya, karena semua norma adat pernikahan dipakai secara utuh. Yang terunik, misalnya ada prosesi pasangan pengantin ditimbang disaat “Manjow Kahwein”, adanya tari cang cang oleh pihak besan berbesan, adanya kereta hias yang sebut Juli, ada kecuwaan debingi ditandai arakan yang diiringi tanjidur serta ada rombongan pembawa obor dan lain-lain.

“Sebelum dilaksanakan persedekahan, pada hari jadinya ijab qobul dilaksanakan arak-arakan muda mudi mengarak pasangan pengantin berjalan mengitari jalan pinggiran Sungai Komering yang disebut Midang Bergorok,” kata Budayawan OKI ini, sembari menjelaskan jika panjang lebar pada bagian lain sebelum persedekahan, dilaksanakan prosesi yang namanya ngantat sow-sow (mengantar kue bolu dan sejenis kue lainnya), betorang (lamaran terakhir kepada pihak mempelai wanita), manjow masak matah (berkumpul kedua belah pihak sebagai arti tanda jadi berlangsungnya pernikahan kedua mempelai), serta prosesi lain yang tidak dimiliki oleh pola pernikahan pinang dibelah dua.

Untuk proses lamaran hingga jenjang perkawinan, adat Mabang Handak bisa menghabiskan waktu selama tujuh hari tujuh malam, dua belah pihak mengadakan perhelatan dengan berbagai kegiatan, baik itu untuk muda mudi maupun kaum orang tua. Semua itu, sebagai tanda persedekahan secara besar-besaran, dimana minimal pihak laki-laki memotong sapi atau kerbau dewasa minimal 2 ekor. Pihak laki-laki memberi pakaian khusus tanda hubungan kepemilikan serta hubungan kerabat kampung dan jiron tetangga, baik untuk kaum bapak maupun ibu-ibu.

Tak hanya itu, seluruh adik beradik dari pengantin perempuan diberi pakaian seragam khusus, baik orang tua kandung, besan berbesan, kakek nenek sampai lapisan hubungan buyut. “Untuk pemberian baju ini dinamakan ngepesalini, yakni memberi baju pengantin atau baju belapis,” kata Yuslizal.

Diharapkan Yus Lizal, minimal genarasi penerus dapat mengetahui serta mensikapi dengan kebanggaan tersendiri bahwa begitu agungnya ragam budaya serta nilai tradisi yang pernah ada di Kota Kayuagung.

“Adat dan cagar budaya serta wisata yang ada di Kabupaten OKI ini harus terjaga dan dirawat, tentu peran serta ini tak cukup dari budayawan ataupun rakyat kecil. Semua itu tak lepas dari perhatian Pemerintah Daerah (Pemda) untuk pelaksanaan pengawasannya,” tandas Yuslizal saat ditemui di rumah Kelurahan Sidokersa Kayuagung.

1.      Adanya aturan yang mengatur perkawinan yang paling rendah derajatnya yang mereka sebut Setinong-tinong

2.      Adanya hukum atau tata cara prosesi adat perkawinan yang kelasnya disebut Sepinong-pinong

3.      Adat Perkawinan Pinang Dibelah

4.      Adanya adat prosesi pernikahan kelasnya sangat tinggi lengkap dengan segala aturan adat yang disebut pernikahan Mabang Handak

Sumber: Sriwijaya Post
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved