Opini
Idul Fitri 1436 H dan Harkat Kemanusiaan
ketakwaan sesungguhnya tidak hanya diukur dari nilai-nilai simbolik semata...
Oleh: Prof. Dr. Abdullah Idi, MEd
SRIPOKU.COM-- Sebagai sebuah bangsa majemuk (plural society), berketuhanan, dan menempatkan aspek spiritualitas-agama sebagai hal terpenting dalam pembangunan nasional, bangsa Indonesia sangat menghargai keberagaman beragama.
Karenanya, setiap agama resmi di negeri ini memiliki hari libur nasional dalam upaya merayakan hari raya agama masing-masing. Bagi umat Islam di tanah air, Idul Fitri 1 Syawal 1436 H tahun ini jatuh tepat pada 17 Juli 2015.
Memperingati lebaran Idul Fitri sesungguhnya bukanlah hanya sekedar rutinitas semata, lebih dari itu, Idul Fitri memiliki makna hakiki dan substantif bagi umat manusia sebagai hamba-Nya.
Tulisan ini, karenanya, berfokus pada analisis tentang pentingnya memahami makna Idulfitri tersebut dalam meningkatkan harkat kemanusiaan umatnya.
Suasana lebaran Idulfitri tahun ini telah diperingati umat Islam seantero dunia, baik yang berada di desa-desa, kota-kota, maupun dimanapun berada. Mereka mengumandangkan kalimat takbir, tahlil, dan tahmid. Dengan takbir mengucapkan Allahu Akbar seakan menyadarkan umat Islam bahwa kekuasaan Allah SWT sangat besar dan tidak dapat ditandingi umat-Nya.
Dengan tahlil mengucapkan La ilaha Illa Allah memperlihatkan bahwa hanya Allah SWT yang patut disembah dan patut dimintai pertolongan. Dengan tahmid mengucapkan Wa Lillah Alhamd menunjukkan bahwa hanya kepada Allah SWT umat Islam memanjatkan puji dan puja.
Merayakan Idulfitri menandakan selesai sudah umat Islam menunaikan ibadah puasa sebulan penuh pada bulan Ramadhan 1436 H. Ibadah puasa Ramadhan merupakan suatu ibadah yang bertujuan agar umat Islam dapat menjadi umat yang bertakwa (muttaqien) dan menjadi umat yang sempurna (al insan al kamil).
Jika seorang muslim menunaikan ibadah puasa yang didasarkan pada niat yang tulus dan ikhlas dan mematuhi peraturan berpuasa atau tentang pelaksanaanya, insya Allah, umat Islam akan memperoleh predikat sebagai seorang muslim yang muttaqien.
Seperti diketahui bahwa kewajiban berpuasa termaktub dalam firman Allah SWT dalam al-Quran pada surat al-Baqarah ayat 183 : “Hai orang-orang yang beriman diwajibkan atas kamu untuk berpuasa sebagaimana telah diwajibkan atas umat-umat sebelum kamu agar kamu menjadi orang yang bertakwa.”
Dalam berpuasa terdapat kandungan nilai-nilai (puasa) yang patut dimiliki umat Islam dengan senantiasa bersyukur kehadirat Allah SWT karena telah dianugerahi kekuatan, nikmat,dan kegembiraan. Kegembiraan itu dikarenakan: Pertama, karena umat Islam telah menyelesaikan ibadah puasa selama sebulan penuh. Kedua, karena umat Islam memiliki harapan besar akan adanya ampunan dosa-dosa dari Allah SWT, karena telah melaksanakan ibadah puasa selama sebulan penuh itu atas dasar iman dan takwa.
Setelah berpuasa, umat Islam akhirnya diikuti dengan merayakan Idulfitri yang selanjutnya memiliki dua dimensi penting. Pertama, dimensi kesalehan spritual, yang bertalian dengan aktivitas pribadi seorang muslim dalam meningkatkan hubungannya dengan Sang Khalik, Allah SWT (hablum minallah).
Dalam konteks ini, selama bulan Ramadhan, umat Islam dianjurkan melakukan aktivitas spritual-keagamaan, seperti memperbanyak shalat sunat, dzikir, tadarrus al-Qur’an, zakat, sadaqah dan infaq. Hakekat puasa pada dasarnya merupakan pendakian spritual agar seorang muslim menjadi dekat dengan Allah SWT, yakni menjadi seorang muslim yang memiliki tingkat spiritual yang memadai (spritual man), yang dalam khazanah keislaman menjadi seorang umat yang sempurna (al-insan al-kamil).Proses menuju al-insan al-kamil ini merupakan suatu proses pendakian spritual yang dialami seorang muslim dari eksistensi biasa menuju eksistensi spiritual.
Seorang muslim yang menunaikan ibadah puasa diharapkan dapat meningkatkan harkat kemanusiaannya dari tingkatan biasa (aesthetic stage), ke tingkatan religiusitas (religious stage ) atau nafsul muthma’innah, yakni suatu jiwa yang damai dan tenang sesuai dengan khazanah al-Qur’an. Itulah sebabnya, dari aspek kebahasaan, puasa bermakna menahan diri dari nafsu makan dan minum, nafsu birahi-seksual, nafsu kuasa, nafsu jahat, fitnah, menggunjing, nafsu amarah, penyakit hati, dan prilaku serupa lainnya.Nabi Muhammad SAW bersabda bahwa “berpuasa merupakan perjuangan melawan nafsu yang kadarnya lebih berat dari perang di medan perang sekalipun”.
Setelah menunaikan ibadah puasa bulan Ramadhan diikuti dengan kewajiban menunaikan zakat fitrah, kemudian merayakan/shalat Idulfitri, umat Islam diharapkan kembali menjadi suci, fitrah. Harapan akan kesucian tersebut dikarenakan selama bulan Ramadhan, umat Islam telah berlatih untuk menahan beragam nafsu negatif atau prilaku buruk yang bertujuan sebagai pendakian spiritualnya. Aturan-aturan berpuasa yang dipatuhinya diharapkan dapat memahami mana yang benar (haq) dan mana yang salah (bathil) sebagai proses menuju umat yang muttaqien.