Resensi Buku
Tak Ada Nasi Lain
Saptono, sebagai tokoh utama orang ketiga, hidup dalam kesengsaraan, meskipun dirinya masih berdarah biru, keluarga Keraton Solo.
Sejatinya ihwal cinta-kasih Saptono beruntung dipertemukan dengan Umi Barina, gadis kenes dan keibuan dari keluarga kaya. Namun, Saptono terlalu perhitungan, tak berani menikahinya. Pupuslah sudah, Umi menikah dengan orang lain dan menetap di Malang.
Saptono menjadi perjaka tua, dan terpaksa menikahi Jeng Parti yang bebal dan angkuh, sepupunya sendiri, mereka tinggal di rumah besar Gajahan.
Tatkala anak pertamanya lahir, ia namakan Kendedes, diacukan nama ibunya. Ia berharap anaknya bisa hidup seamsal ibunya.
Ibunya yang kenes, meskipun mendapati kesusahan, tak menyerah, walhasil ia menikah dengan pengusaha besar dan kini hidup bahagia di Malang. Tak seperti Saptono, meski diberkahi akal cemerlang, ia terlalu kolot, kaku, tak mau berkembang.
Praktislah, Saptono selamanya menjadi guru dan miskin, karena tak pernah bersyukur dan tak percaya Tuhan. Ia mengutuki kelahirannya sendiri. Sebagai keturunan bangsawan, ia hidup tanpa wahana feodal.
Ia merasa lahir di tempat, zaman, dan diasuh indung kandung yang salah.
Usahanya selama ini untuk memerbaiki nasib dengan bekerja, berpikir, berusaha berbaik hati kepada sesama mkhluk hidup, dengan sabar, ikhlas, jujur, menerima ing pandum, hidup memayu hayuning bawana langgeng, begitulah ibadat orang Jawa (hlm. 545). Namun tetap saja, beban hidupnya terasa amat berat.
Saptono putus asa. Suatu hari Saptono pernah gantung diri, namun usahanya digagalkan Yu Nem, abdi dalem. Walhasil, Saptono pun mendapat teguran untuk insaf, kembali beragama, ber-Tuhan.
Selama ini Saptono hanya selalu mengeluh tak pernah bersyukur. Imannya gersang, itulah kelemahan hidupnya yang baru disadari, di penghujung ajal. Selamat membaca.
Judul Buku : Tak Ada Nasi Lain
Penulis : Suparto Brata
Penerbit : Buku Kompas, Jakarta
Tahun : Mei 2013
Tebal : xii + 548 halaman
ISBN : 978-979-709-716-5
Pengirim:
Siti Anisah, mahasiswi Universitas Muria Kudus