Resensi Buku

Tak Ada Nasi Lain

Saptono, sebagai tokoh utama orang ketiga, hidup dalam kesengsaraan, meskipun dirinya masih berdarah biru, keluarga Keraton Solo.

Editor: Sudarwan
zoom-inlihat foto Tak Ada Nasi Lain
IST
Tak Ada Nasi Lain

‘Tak Ada Nasi Lain’ menjadi potret nyata Suparto Brata dalam mengarungi serpihan perubahan sosial-politik serba cepat yang terjadi kurun masa 1938-1958.

Saptono, sebagai tokoh utama orang ketiga, hidup dalam kesengsaraan, meskipun dirinya masih berdarah biru, keluarga Keraton Solo. Sedari dalam kandungan ibunya, Raden Ajeng Kendedes, sudah dikhianati ayah—seorang rakyat biasa—yang main serong dengan abdi perawan.

Tak pelak, Saptono lahir tanpa pernah melihat ayah di Sragen. Lebih tragis lagi, sejak berumur tiga tahun ia ditinggal ibu, dititipkan di rumah Bulik-nya (tante) (hlm. 8). Tak pernah dijenguk hingga ia berusia belasan tahun (hlm.95).

Melewati kenyataan hidup sepahit itu, Saptono kecil tumbuh secara terasing, ia merasa tak dianggap jadi bagian keluarga rumah besar gajahan. Ia kerap menjadi pelampiasan amarah seisi rumah.

Dengan segala tekanan yang ia terima, lambat laun Saptono tumbuh menjadi pribadi yang tegar dan berpikir dewasa. Satu-satunya keberuntungan Saptono adalah kesempatan bersekolah di masa penjajahan Belanda, Jepang, hingga paska kemerdekaan.

Hanya di ruang sekolah-lah Saptono dikagumi karena kecerdasannya. Selepasnya, Saptono merasa selamanya hidup nelangsa, cacat lahir dan batin, dan tak sudi bersyukur (hlm.35-36).

Saptono berperawakan kecil, selalu tidur sekamar dan bermain dengan Dimas Dandi, sepupunya. Keduanya menjadi sahabat, meskipun Saptono selalu menjadi pengalah dengan keegoan Dandi yang bertubuh bongsor. Mereka hidup di masa pergolakan dan kecamuk perang, rasa was-was kematian yang selalu hilir menghantui. Pada masa pendudukan Dai Nippon, Saptono kerap bermain perang-perangan Cat Mina-mina (hlm. 56).

Saptono kagum atas kesetiaan pasukan Kamikaze Kogegitai, suatu kelompok pasukan angkatan udara Dai Nippon yang penerbangnya rela mati menabrakan pesawatnya untuk menghancurkan kapal besar musuh. Istilahya “berjibaku” (hlm. 116), Saptono pun mulai mempelajari taktik-taktik perang lewat apapun yang ia lihat dan dengar.

Tibalah cerita nestapa, tatkala mereka hendak berjuang mempertahankan kemerdekaan. Dandi dan pakliknya tewas diberondong peluru tentara NICA (hlm. 272-275).

Pikiran Saptono kalut dan geram. Mengandalkan taktik dan pemikirannya, Saptono yang belum genap tujuh belas tahun menjadi sosok yang ditakuti pasukan sekutu.

Ia menyumbangkan taktik penghancuran yang brilian, yaitu siasat perang Bethari Durga –melakukan penyerangan, menimbulkan banyak korban, lalu menghilang—atau  hit and run.

“Operasi Siasat Saptono Cilik,” begitu Tentara Indonesia menyebutnya, dengan cara bergerilya, Indonesia berhasil menyeret Belanda ke meja Perjanjian Renville dan menumpasnya (hlm.278-288).

Meski Indonesia merdeka, Saptono merasa kondisi sosial sekitar Solo dan keluarga rumah besar Gajahan malah semakin terpuruk.

Di tengah himpitan ekonomi inilah, Saptono melanjutkan pendidikannya di SGA, demi mendapat ikatan gaji dinas (hlm. 300).

Saptono merasa bertanggung jawab menghidupi keluarga Gajahan. Namun, hingga Saptono lulus dan menjadi guru, gajinya terlalu kecil dan tak mencukupi.

Halaman 1/2
Tags
nasi
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved