Buya Menjawab
Adakah Dasar Hukumnya Sedekah untuk Si Mayit
SUDAH menjadi tradisi dikalangan ummat Islam, mengadakan tahlilan dan menyediakan jamuan makanan dalam upacara "tujuh hari" apakah tidak menyimpang
SRIPOKU.COM - Assalamualaikum.Wr.Wb.
USTADZ adakah dasar hukumnya sedekah tujuh hari untuk si mayit? Tolong penjelasannya Ustadz. Terimakasih.
0812 780 xxxx
Berita Lainnya:
• Kerabat Ifan Seventeen Gelar Tahlilan di Pontianak, Ifan Minta Doa untuk Isteri dan Teman-temannya
• Mengejutkan! Netizen ini Ngaku Lihat Sosok Jupe dalam Video Tahlilannya, Ini Pengakuannya
Jawab:
Assalamu'alaikum.Wr.Wb.
SUDAH menjadi tradisi dikalangan ummat Islam, mengadakan tahlilan dan menyediakan jamuan makanan dalam upacara "tujuh hari" apakah tidak menyimpang dari tuntunan agama Islam?
Asal usul "tujuh hari" tersebut adalah mengikuti amal yang dicontohkan sahabat Nabi Muhammad Saw.
Imam Ahmad bin Hambal ra. Menyatakan dalam kitab Al-Zuhd, yang dikutip oleh Imam Suyuthi dalam kitab Al-Hawi li Al-Fatawi yang artinya: "Hasyim bin Al-Qasim meriwayatkan kepada kami, ia berkata, "Al-Asyja'i meriwayatkan kepada kami dari Sufyan,ia berkata, "Imam Thawus berkata, "Orang yang meninggal dunia diuji selama tujuh hari di dalam kubur mereka, maka kemudian para sahabat mensunnahkan bersedekah makanan untuk orang yang meninggal dunia selama tujuh hari itu" (Al-Hawi li Al-Fatawi, Juz II, hal, 178) Dalam permasalahan tersebut, Imam Al-Suyuthi menjelaskan: "Kebiasaan memberikan sedekah makanan selama tujuh hari merupakan kebiasaan yang tetap berlaku hingga sekarang (zaman imam Suyuthi, sekitar abad IX Hijriyah) di Makkah dan Madinah. Yang jelas, kebiasaan itu tidak pernah ditinggalkan sejak masa sahabat Nabi Muhammad saw. sampai sekarang ini, dan tradisi itu diambil dari ulama salaf sejak generasi pertama (masa sahabat Rasulullah saw.) "(Al-Hawi li Al-Fatawi, Juz II, hal. 194)
Mengenai, mendoakan, menghadiahkan pahala bacaan dan sodaqoh dalam hari ke 3, 7, 25, 40 , 100, dan 1 tahun serta 1000 apa ada dalilnya.
TAHLILAN HARI KE 3, 7, 25, 40, SETAHUN & 1000, BUKAN BID'AH, DIPRAKTEKKAN OLEH UMAR DAN ULAMA SALAF. Inilah Dalil tahlilan Jumlah Hari 3, 7, 25, 40, 100, (setahun) & 1000 hari dari kitab Ahlusunnah Wal Jama'ah (bukan kitab dari agama hindu sebagaimana tuduhan fitnah kaum WAHABI)
"Rasulullah saw bersabda: "Doa dan shodaqoh itu hadiah kepada mayyit." Berkata Umar: "shodaqoh setelah kematian maka pahalanya sampai tiga hari dan shodaqoh dalam tiga hari akan tetap kekal pahalanya sampai tujuh hari, dan shodaqoh tujuh hari akan kekal pahalanya sampai 25 hari dan dari pahala 25 sampai 40 harinya akan kekal hingga 100 hari dan dari 100 hari akan sampai kepada satu tahun dan dari satu tahun sampailah kekalnya pahala itu hingga 1000 hari." (Al-Hawi lil Fatawi Juz 2 Hal 198).
Jumlah-jumlah harinya (3, 7, 25, 40, 100, setahun & 1000 hari) jelas ada dalilnya, bukan menurut budaya Hindu. Sejak kapan agama Hindu ada Tahlilan ?
Berkumpul mengirim doa adalah bentuk shodaqoh buat mayyit. "Ketika Umar sebelum wafatnya, ia memerintahkan pada Shuhaib untuk memimpin shalat, dan memberi makan para tamu selama 3 hari hingga mereka memilih seseorang, maka ketika hidangan-hidangan ditaruhkan, orang-orang tak mau makan karena sedihnya, maka berkatalah Abbas bin Abdulmuttalib: Wahai hadirin, sungguh telah wafat Rasulullah saw dan kita makan dan minum setelahnya, lalu wafat Abubakar dan kita makan dan minum sesudahnya, dan ajal itu adalah hal yang pasti, maka makanlah makanan ini..!", lalu beliau mengulurkan tangannya dan makan, maka orang - orang pun mengulurkan tangannya masing - masing dan makan." [Al Fawaidussyahiir Li Abi Bakar Assyafii juz 1 hal 288, Kanzul ummaal fii sunanil aqwaal wal af'al Juz 13 hal 309, Thabaqat Al Kubra Li Ibn Sa'd Juz 4 hal 29, Tarikh Dimasyq juz 26 hal 373, Al Makrifah wattaarikh Juz 1 hal 110]. Artinya: "Dari Ubaid bin Umair ia berkata: "Dua orang yakni seorang mukmin dan seorang munafiq memperoleh fitnah kubur. Adapun seorang mukmin maka ia difitnah selama tujuh hari, sedangkan seorang munafiq disiksa selama empat puluh hari."
Dalam tafsir Ibn Katsir (Abul Fida Ibn Katsir al Dimasyqi Al Syafi'i) 774 H beliau mengomentari ayat 39 surah an Najm (IV/236: Dar el Quthb), beliau mengatakan Imam Syafi'i berkata bahwa tidak sampai pahala itu, tapi di akhir2 nya beliau berkomentar lagi; bacaan Alquran yang dihadiahkan kepada mayit itu sampai, menurut Imam Syafi'i pada waktu beliau masih di Madinah dan di Baghdad, qaul beliau sama dengan Imam Malik dan Imam Hanafi, bahwa bacaan al-Quran tidak sampai ke mayit, Setelah beliau pindah ke mesir, beliau ralat perkataan itu dengan mengatakan bacaan Alquran yang dihadiahkan ke mayit itu sampai dengan ditambah berdoa "Allahumma awshil..dst.", lalu murid beliau Immeam Ahmad dan kumpulan murid2 Imam Syafi'i yang lain berfatwa bahwa bacaan Alquran sampai.
Pandangan Hanabilah, Taqiyuddin Muhammad ibnu Ahmad ibnu Abdul Halim (yang lebih populer dengan julukan Ibnu Taimiyah dari madzhab Hambali) menjelaskan yang artinya: "Adapun sedekah untuk mayit, maka ia bisa mengambil manfaat berdasarkan kesepakatan umat Islam, semua itu terkandung dalam beberapa hadits shahih dari Nabi Saw. seperti perkataan sahabat Sa'ad "Ya Rasulallah sesungguhnya ibuku telah wafat, dan aku berpendapat jika ibuku masih hidup pasti ia bersedekah, apakah bermanfaat jika aku bersedekah sebagai gantinya?" maka Beliau menjawab "Ya", begitu juga bermanfaat bagi mayit: haji, qurban, memerdekakan budak, do'a dan istighfar kepadanya, yang ini tanpa perselisihan di antara para imam". (Majmu' al-Fatawa: XXIV/314-315)
Ibnu Taimiyah juga menjelaskan perihal diperbolehkannya menyampaikan hadiah pahala shalat, puasa dan bacaan al-Qur'an kepada mayit yang artinya: "Jika saja dihadiahkan kepada mayit pahala puasa, pahala shalat atau pahala bacaan (al-Qur'an / kalimah thayyibah) maka hukumnya diperbolehkan". (Majmu' al-Fatawa: XXIV/322)
Al-Imam Abu Zakariya Muhyiddin Ibn al-Syarof, dari madzhab Syafi'i yang terkenal dengan panggilan Imam Nawawi menegaskan; "Disunnahkan untuk diam sesaat di samping kubur setelah menguburkan mayit untuk mendo'akan dan memohonkan ampunan kepadanya", pendapat ini disetujui oleh Imam Syafi'i dan pengikut-pengikutnya, dan bahkan pengikut Imam Syafi'i mengatakan "sunnah dibacakan beberapa ayat Al-Qur'an di samping kubur si mayit, dan lebih utama jika sampai menghatamkan al-Qur'an". (*)
===