Hukum Haji dengan Menyuap? Ini Penjelasan dari Para Ulama, Usai KPK Ungkap Suap Kuota Haji Khusus
Hukumnya bagi umat muslim yang berangkat haji dengan menyuap, berikut penjelasan dari para ulama usai KPK ungkap suap Kuota Haji Khusus
SRIPOKU.COM -- Hukumnya bagi umat muslim yang berangkat haji dengan menyuap, berikut penjelasan dari para ulama usai KPK ungkap suap Kuota Haji Khusus.
Menjawab pertanyaan tersebut, khadim Ma'had Aly Al-Iman Bulus dan Pengurus LBM NU Purworejo, Ustadz Muhamad Hanif Rahman menjelaskan Ibadah haji atau umrah merupakan ibadah badaniyah dan maliyah.
Artinya, umat Islam yang berkewajiban melaksanakan ibadah haji atau umrah itu selain memenuhi syarat secara fisik, juga disyaratkan mampu secara finansial untuk mengadakan perjalanan pulang pergi (istithaah).
Namun, bagaimana jadinya kalau biaya haji atau umrahnya dari hasil menyuap atau korupsi?
Baca juga: Akal-akalan Eks Menteri Agama Jual Beli Kuota Haji, Bagi Rata Kuota Khusus, Yaqut Diujung Tanduk
Secara fiqih, haji dan umrah sebagai suatu ibadah harus dipisahkan dengan harta haram sebagai sarana untuk melaksanakan ibadah tersebut.
"Pasalnya, dalam fiqih yang dihukumi adalah zahirnya suatu ibadah," jelas Ustaz Muhamad Hanif Rahman dikutip dari NU Online.
"Artinya, suatu ibadah jika dikerjakan secara sempurna dengan memenuhi syarat dan rukun tertentu maka ibadahnya dinilai sah," bebernya.
Demikian juga haji dan umrah dengan biaya harta haram asalkan dikerjakan secara sempurna, memenuhi syarat dan rukunnya maka dinilai sah dan telah menggugurkan kewajiban.
"Adapun harta hasil korupsi hukumnya jelas haram dan berdosa digunakan untuk haji dan umrah. Namun, itu adalah faktor eksternal dari ibadah haji dan umrah yang tidak mempengaruhi keabsahan haji dan umrah," jelasnya.
Berikut penjelasan Imam An-Nawawi dalam Majmu' Syarah Muhadzab:
Artinya, "Apabila seseorang beribadah haji dengan harta haram atau dengan menaiki binatang tunggangan (kendaraan) hasil ghasab maka ia berdosa, hajinya dinilai sah dan telah mencukupi kewajiban hajinya, menurut pendapat kami, Madzhab Syafi'i. Imam Abu Hanifah, Malik, al-'Abdari dan mayoritas ulama fiqih berpendapat sama. Imam Ahmad berkata: 'Haji dengan harta haram tidak mencukupi kewajiban hajinya.' Adapun dalil kami adalah bahwa haji merupakan mengerjakan perkara-perkara khusus, sedangkan yang dilarang terkait perkara di luarnya." (Abu Zakariya Muhyiddin bin Syaraf an-Nawawi, al-Majmû' Syarh al-Muhadzdzab, [Bairut: Darul Fikr: t.th], Juz VII, halaman 62).
Syekh Nawawi Banten dalam Nihayatuz Zain juga mengatakan demikian:
Artinya, "Jika seseorang melaksanakan haji atau umrah dengan harta haram maka ia telah bermaksiat, dan kewajiban hajinya telah gugur." (Muhammad Nawawi Al-Jawi, Nihayatuz Zain, [Beirut, Darul Fikr: t.t], halaman 202).
Imam Zakariya al-Anshari menyamakan haji dan umrahnya seseorang dengan harta haram itu seperti orang shalat di tempat ghasab atau mengenakan pakaian berbahan sutra bagi laki-laki.
Artinya, “(Dan gugur kewajiban orang yang haji dengan harta haram) seperti harta ghasab sekalipun ia bermaksiat, seperti shalat di tempat ghasab atau mengenakan pakaian terbuat dari sutra.” (Abu Zakariya Al-Anshari, Asnal Mathalib, [Beirut: Darul Kutub Islamiyah: t.t],juz I, halaman 458).
Duduk Perkara 2.500 Warga Pati Rela Bayar Rp 14 Ribu ke Kantor Pos Untuk Kirim Surat ke KPK |
![]() |
---|
Siap-siap! Rotasi dan Mutasi Jabatan di Pemprov Sumsel, Penilaian Kinerja Jadi Penentu |
![]() |
---|
Mantan Staf Ahli Kapolri Kritik Lisa Mariana soal Keraguan Tes DNA Ridwan Kamil: 'Maunya Apa?' |
![]() |
---|
Deretan Bisnis Dwi Hartono Otak Pembunuhan Kacab Bank BUMN, Pernah Pakai Helikopter Untuk Bepergian |
![]() |
---|
Skema Honorer Akan Jadi PPPK Paruh Waktu di 2025 Lengkap Dengan Tahapannya |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.