MENJELANG Delapan puluh tahun Kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 2025, sebagai bangsa yang mayoritas Muslim, kemerdekaan bukan sekadar pembebasan dari penjajahan fisik, tetapi juga pengakuan atas Tauhid—konsep ketuhanan yang mengajarkan kebebasan sejati hanya datang dari penghambaan kepada Allah SWT.
Dalam Al-Qur'an, Allah berfirman: "Dan katakanlah: Kebenaran datang dari Tuhanmu, barangsiapa yang ingin beriman hendaklah beriman, dan barangsiapa yang ingin kafir biarlah kafir" (QS. Al-Kahfi: 29).
Ayat ini mengingatkan kita bahwa kemerdekaan hakiki adalah ketika manusia terbebas dari penghambaan kepada selain Allah, termasuk penjajahan, keserakahan, dan kezaliman.
Kemerdekaan Indonesia tidak lepas dari peran para ulama dan santri yang menggelorakan semangat jihad melawan penjajah.
Resolusi Jihad 1945 yang digaungkan KH. Hasyim Asy'ari adalah bukti nyata bagaimana Tauhid menjadi penggerak perlawanan.
Rasulullah SAW bersabda: "Barangsiapa mati tanpa menyekutukan Allah dengan sesuatu apa pun, ia akan masuk surga" (HR. Bukhari).
Ini menunjukkan bahwa kemerdekaan sejati dimulai dari kemurnian akidah. Dalam konteks berbangsa, Tauhid mengajarkan bahwa kedaulatan suatu negeri harus dilandasi prinsip keadilan, persatuan, dan ketakwaan, bukan sekadar kekuasaan duniawi.
Al-Qur'an menggambarkan kemerdekaan sebagai anugerah Allah yang harus disyukuri. Dalam QS. Ibrahim: 7, Allah berjanji: "Jika kamu bersyukur, niscaya Aku akan tambahkan nikmat-Ku kepadamu." Indonesia yang kaya sumber daya alam dan budaya adalah nikmat Allah, tetapi pengelolaannya sering kali jauh dari nilai-nilai Tauhid.
Korupsi, kesenjangan sosial, dan kerusakan lingkungan adalah bentuk "penjajahan baru" yang harus dilawan dengan integritas dan ketakwaan. Seperti firman Allah dalam QS. Ar-Ra'd: 11, perubahan hanya terjadi jika masyarakat mau memperbaiki diri.
Rasulullah SAW tidak hanya membebaskan Mekkah dari kemusyrikan, tetapi juga membangun tatanan masyarakat yang adil dan makmur.
Piagam Madinah adalah contoh nyata bagaimana nilai-nilai Islam menjadi pondasi persatuan dalam keberagaman.
Nabi bersabda: "Seorang Muslim adalah saudara bagi Muslim lainnya, ia tidak menzaliminya dan tidak membiarkannya dizalimi" (HR. Bukhari).
Di usia 80 tahun Indonesia, kita harus meneladani spirit ini: merawat persatuan, memberantas ketidakadilan, dan menjadikan syariat sebagai panduan moral, bukan alat pemecah belah.
Di tengah gempuran globalisasi, umat Islam Indonesia diuji untuk menjaga identitas Tauhid tanpa terjebak dalam fanatisme sempit.
Allah memperingatkan: "Dan janganlah kamu berbantah-bantahan yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang kekuatanmu" (QS. Al-Anfal: 46).