Setelah sempat menghebohkan media sosial selama beberapa hari, terkuak bahwa Yunita sengaja pergi dari rumah bukan karena diculik, melainkan karena menolak dijodohkan oleh keluarganya.
Kepastian ini diungkap langsung oleh Kapolsek Belitang III, Iptu Sapariyanto, setelah melakukan pengecekan langsung ke kediaman keluarga Yunita, Selasa (17/6/2025) sore.
Di sana, pihak kepolisian menemukan sepucuk surat yang ditinggalkan Yunita, lengkap dengan telepon genggam yang diletakkan rapi di dalam jok sepeda motornya.
“Dalam surat itu, Yunita dengan tegas meminta agar rencana pertunangan dibatalkan dan serah-serahan dikembalikan kepada pihak laki-laki,” jelas Kapolsek saat dikonfirmasi Rabu (18/06/2025).
Lanjut kata dia, Setelah cek langsung ke rumah orang tuanya, ternyata ada surat yang ditinggalkan.
“Ia menyatakan akan kembali ke rumah jika permintaannya dihormati dan dapat dipenuhi,” tambahnya.
Klarifikasi ini menepis spekulasi sebelumnya yang menyebut Yunita hilang secara misterius setelah sempat menghubungi ayahnya untuk dijemput karena sepeda motornya mogok saat pulang mengajar, Jumat (13/6/2025).
Ketika sang ayah tiba di lokasi, Yunita sudah tidak ada. Motor miliknya ditemukan di sebuah bengkel, sementara ponselnya tertinggal.
Keterangan dari pemilik bengkel pun sempat memantik tanda tanya publik, karena ia menyebut Yunita terakhir terlihat pergi bersama seorang perempuan paruh baya mengendarai motor Honda Supra 125 hitam yang bukan bagian dari keluarga Yunita.
“Ini murni masalah keluarga. Tidak ada unsur pidana. Itulah mengapa pihak keluarga juga tidak melaporkan ke kami,” ujar Kapolsek Sapariyanto.
Kemudian, setelah fakta-fakta terungkap, barulah jelas bahwa kepergian Yunita adalah keputusan sadar dan personal.
“Pihak laki-laki pun masih tetangga sendiri. Mereka berusaha menyelesaikannya secara kekeluargaan,” pungkasnya.
Kisah Yunita menyingkap dilema yang dihadapi sebagian perempuan muda di pedesaan, ketika harus memilih antara mengikuti kehendak orang tua atau mempertahankan hak atas masa depan sendiri.
Pilihannya untuk “pergi” diam-diam menjadi bentuk penolakan halus terhadap tradisi perjodohan yang masih kuat di sejumlah komunitas.
Meski tidak ada pelanggaran hukum, peristiwa ini menggugah kesadaran bahwa pentingnya komunikasi dan keterbukaan dalam keluarga menjadi kunci agar konflik semacam ini tak berujung pada tindakan ekstrem.