Misalnya, alih-alih menganggap disabilitas sebagai orang yang tidak berpendidikan dan cenderung menyulitkan dalam proses di masyarakat, negara di sini harus hadir untuk mereka.
Caranya bagaimana? Salah satunya adalah dengan memberikan pendidikan dan pelatihan supaya mereka memiliki keahlian dan dapat berkontribusi di masyarakat.
Memang hal demikian di lapangan tidaklah mudah. Acapkali menghadapi penyandang disabilitas memerlukan pendekatan tertentu dan mungkin khusus.
Mengapa begitu? Sebagai penyandang disabilitas yang juga sering berhubungan dengan sesama penyandang disabilitas lainnya, saya tidak menafikan bahwa terkadang penyandang disabilitas memiliki persepsi sehingga membentuk perilaku yang mungkin sulit untuk diterima oleh orang kebanyakan.
Tetapi apapun itu, hal demikian bukan berarti mengabsenkan mereka dari pelayanan negara. Karena tak dapat dipungkiri, keadaan disabilitas seperti demikian disebabkan karena lingkungan tempat mereka tumbuh dan berkembang.
Menurut data Bappenas di tahun 2025 ada sekitar 11,46 persen penyandang disabilitas yang berada di bawah garis kemiskinan. Jumlah tersebut lebih tinggi dari tingkat kemiskinan nasional sebesar 8,57 persen.
Terbaru, sebagaimana penelitian yang dilakukan oleh Lembaga Penyelidikan Ekonomi Masyarakat Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (LPEM FEB UI) pada tahun ini menunjukan bahwa meskipun pemerintah sudah memiliki program Asistensi Rehabilitasi Sosial (Atensi), namun kondisi tersebut tidak berpengaruh signifikan terhadap peningkatan kualitas kehidupan masyarakat dengan disabilitas.
Lebih jauh, dalam hasil penelitian tersebut menunjukan fakta bahwa rumah tangga dengan anggota penyandang disabilitas lebih rentan sekaligus memiliki probabilitas peningkatan kemiskinan secara multidimensional, baik dari segi angka kemiskinan maupun intensitas deprivasi.
Artinya, kondisi disabilitas mengakibatkan mereka rentan untuk menjadi meskin baik secara stuktural dan kultural.
Kemiskinan stuktural di sini disebabkan karena sistem dan stuktur sosial yang mengakibatkan mereka sulit untuk mendapatkan layanan dasar dan sumber daya dasar seperti ekonomi, pendidikan, pekerjaan, dan sebagainya.
Kemiskinan stuktural ini mendorong terjadinya kemiskinan kultural. Maksudnya, individu dan masyarakat, termasuk penyandang disabilitas di dalamnya bisa menjadi miskin karena pola pikir dan lingkungan sekitar yang menyebabkan mereka menjadi miskin.
Kondisi yang terjadi di Pematangsiantar menunjukan bagaimana adanya masalah stuktural dan kultural secaera bersamaan yang dialami oleh penyandang disabilitas.
Alih-alih berlaku kasar terhadap mereka, aparat sudah seharusnya menggunakan cara-cara yang humanis. Lagi pula, kondisi yang dialami oleh penyandang disabilitas itu ‘mungkin’ tidak pernah dikehendaki oleh yang bersangkutan.
Maka sudah seharusnya negara benar-benar hadir dan berkaca dari kasus ini. Bagaimana caranya?
Pertama, pihak terkait perlu memberikan sanksi terhadap oknum yang ada di video tersebut. Sebagaimana yang telah saya singgung pada bagian sebelumnya, hal ini menjadi penting agar dapat menjadi efek jera bagi aparat dan mendorong aparat lainnya untuk mengindahkan prosedur dan empati ketika bertugas.