Anak kedua dari tujuh bersaudara ini menceritakan bagaimana perjuangan hidupnya hingga menjadi Bupati Banyuasin saat ini.
Pria yang dilahirkan di Desa Teluk Kijing Kabupaten Banyuasin ini, terlahir dari keluarga yang sangat sederhana.
Kedua orangtuanya merupakan petani.
Karena memiliki banyak saudara, Askolani kecil sempat dititipkan orangtuanya ke nenek dan kakeknya di Tanjung Agung Barat yang merupakan wilayah perbatasan antara Banyuasin dan Muba.
"Saat SD, saya tinggal bersama nenek dan kakek. Sekolah di SD Gardu Harapan. Jarak dari sekolah dan rumah sejauh 5 km, dan itu harus ditempuh dengan naik perahu, jalan kaki selama 2 jam. Pergi dan pulang rute sama. Jadi pukul 5.00, sudah berangkat sekolah agar tidak terlambat," ceritanya.
Ketika sekolah, ia sama sekali tidak diberikan uang jajan. Sehingga ia memilih untuk membawa bekal makanan bernama Lempeng atau kue yang terbuat dari pisang dicampur ketan dengan dibungkus daun pisang.
Tinggal sama nenek dan kakek, Askolani kecil mendapat kasih sayang yang berlebih dari sang nenek dan kakek.
Meski disayang, Askolani kecil sudah diajarkan untuk hidup disiplin terutama masalah agama.
Selalu ingat dengan Allah, itu yang sangat ditekankan nenek dan kakeknya saat itu.
"Pelajaran itu, sangat membekas. Sampai sekarang, saya tidak pernah lupa. Semuanya hanya datang dari Allah," katanya.
Usai menamatkan sekolah dasarnya, Askolani yang mulai beranjak remaja melanjutkan ke SMP Betung.
Setahun, Askolani remaja sempat tinggal sama bibi dan paman.
Tetapi setelah setahun, ia memilih mengontrak sendiri agar jarak antara sekolah yang ditempuh tidak begitu jauh.
Selama mengontrak, Askolani remaja berusaha sendiri untuk bertahan hidup.
Untuk memenuhi kebutuhan sehari-harinya, sebelum sekolah bekerja sekolah, di pagi hari ia mengambil upah untuk merumput di lahan PTPN 7 selama setahun lebih.