Wilayah romantik yang diwarisi pertama dari moyangnya.
Wilayah sesungguhnya mengajak manusia memuntahkan darah, lewat perang suci/jihad.
Agama warisan semacam ini kemudian memproduk tafsir agama pinggiran yang menjauhi kemanusiaan, keadilan, dan kesejahteraan.
Secara kultural historis, embrio munculnya sikap-sikap semacam itu atau sebut saja benih radikalisme Islam (jihad) berawal dari pengikut khalifah Ali bin Abi Thalib yang membangkang hingga memutuskan keluar dari barisan Ali.
Dan kolompok ini kemudian dikenal dengan sebutan “khawarij”.
Doktrin khawarij sangat kaku dan keras, diantaranya: “siapa yang tidak berhukum dengan hukum Tuhan, maka dia dikategorikan sebagai kelompok kafir”.
Khalifah Ali-pun mereka anggap kafir, karena pemikiran dan sikap keagamaan Ali sudah tidak sesuai lagi dengan khawarij, yang akhirnya terjadi pembunuhan terhadap diri Ali.
Agama rendah kemudian mentradisikan tafsir dan aktualisasi absolut yang skriptual, kepatuhan dan ketundukan pada pemimpin agama, seperti yang juga tengah terjadi sekarang ini.
Keberagamaan semacam ini telah melahirkan corak beragama menjadi religius-aristoktaris.
Merendahkan dan menyalahkan kepercayaan lain.
Supaya keagamaan semacam ini semakin kuat, mereka membangun dan merapatkan barisan dengan corak kepercayaan monolitik yang sesat.
Paham keagamaan semacam ini juga selalu memagari dirinya terhadap ajaran atau faham yang datang dari laur dengan jargon “minna wa minhum”, dari kami yang benar dan dari mereka yang salah.
Di lain pihak fenomena kemunculan agama rendah yang mengikat – bersifat radikalisme/revolusioner, dan memperkuat pecahnya suatu bangsa adalah sebuah fenomena yang lumrah.
Gerakan seperti ini selalu menjadi bagian terpenting dari “social moment”, dan protes sosial.
Ia mendorong identitas tertentu untuk memberontak ketika gagasan; pembagian sumber daya alam yang tidak merata, ekonomi yang tidak stabil --pembagian politik kekuasaan yang tidak merata dan tidak jelas, lapangan kerja yang terbatas dan bertambah panjangnya deretaran pengangguran, penegakkan hukum yang tebang pilih dan lainnya.
Sehingga, komunitas ini bertindak dengan menggunakan dalil-dalil agama terhadap munculnya berbagai ketimpangan dan ketidak sesuaian tersebut.
Ke depan tentu saja, perlu diluruskan guna menghindari citra negatif terhadap Islam tentang istilah “jihad”.
Sebab, perjuangan yang didasarkan pada emosi apalagi balas dendam, seungguhnya hal itu tidak dapat dikatakan jihad yang sesungguhnya.
Karena perjuangan yang mereka lakukan saat ini khususnya penuh dengan nuansa memperturutkan hawa nafsunya untuk membinasakan, menjegal, membunuh karaketer seseorang.
Padahal, jihad sesungguhnya dan yang paling besar menurut salah satu hadist adalah “jihadunnafsu”, jihad melawan hawa nafsu.
Mengatasi problem di atas, dapat dilakukan dengan cara memperdalam pemahaman agama yang benar.
Karena sebagian dari umat Islam seringkali mengambil teladan Rasulullah SAW hanya sekedar membaca beberapa hadist nabi yang terdapat dalam buku-buku himpunan hadist, namun kurang membaca sejarah perjalanan hidup Nabi SAW.
Dengan melakukan pembacaan ulang terhadap sejarah kehidupan Nabi secara holistik dan tidak parsial dapat mengurangi munculnya paham kekerasan atau radikal dalam masyarakat.
Di samping itu tentu harus tetap memelihara nilai-nilai lokal yang dianut oleh masyarakat Indonesia dengan menjaga harmonisasi, melalui simpul-simpul dan modal sosial yang terdapat dalam masyarakat.
Sehingga dengan demikian dapat mengantisipasi munculnya kecemberuan sosial.