SRIPOKU.COM - Omnibus Law UU Cipta Kerja kini menjadi pebincangan banyak pihak sejak resmi disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI, Senin (5/10/2020).
Pengesahan tersebut kini menuai penolakan yang besar dari para serikat pekerja, buruh dan mahasiswa di Indonesia.
Hal ini tentu mengundang perhatian publik karena Omnibus Law UU Cipta Kerja dianggap tak menguntungkan bagi pekerja di Indonesia.
Serta dinilai banyak aturan yang melanggar hak asasi manusia dan merugikan pekerja.
Tak hanya penolakan yang mengakibatkan aksi demonstrasi dan mogok, UU tersebut juga memunculkan hoaks yang banyak beredar di masyarakat.
Selain itu, banyak pihak menganggap bahwa kehadiran UU tersebut merugikan para buruh dan menguntungkan pengusaha, baik pengusaha dalam negeri maupun asing.
Setali tiga uang dengan penuturan yang diungkap dari seorang anggota Komisi III DPR RI Fraksi Demkorat Benny K Harman.
Diketahui Benny K Haman pada sidang itu, mikrofonnya diduga dimatikan. Sehingga memilih walk out dalam sidang pengesahan UU Cipta Kerja dan tidak ikut bertanggung jawab.
Benny menngajukan keberatan dan ketidaksetujuannya dalam wawancara yang dibagikan melalui kanal YouTube Official iNews pada Selasa (6/10/2020).
Tiga anggota fraksi Demokrat interupsi pimpinan sidang.
Akhirnya fraksi demokrat pun memutuskan untuk WO atau walk out dari rapat.
Bahkan sebelum menjelaskan alasannya mengenai keberatannya atas disahkannya Omnibus Law tersebut, seluruh fraksi Demokrat meninggalkan ruang sidang sebelum rapat selesai.
• PASCA Omnibus Law UU Cipta Kerja Disahkan, Anies Baswedan Minta Gedung DPR RI Ditutup, 3 Hari Saja
Diakui Benny jika RUU tersebut tidak ada diskusi dalam pembahasannya.
"Pembahasan Rancangan Undang-undang ini hanya ketok saja, ketok saja, tidak ada diskusinya," ungkap Benny.
Benny menyampaikan alasannya menolak Omnibus Law UU Cipta kerja disahkan.
"Rancangan Undang-undang ini kalau temen-temen membaca itu lebih banyak mengakomodir kepentingan pebisnis, sedangkan kelompok-kelompok rentan masyarakat seperti nelayan, petani, pekerja, UMKM sama sekali tidak diperhatikan," ujarnya.
"Hanya memberikan legalisasi terhadap pebisnis-pebisnis yang selama ini melakukan perambahan hutan, itu yang terjadi ya," tambahnya.
"Bagaimana kita bisa menyetujui Rancangan Undang-undang semacam ini? Maka kita menolak," akunya.
• Cuitan Desta Soal UU Cipta Kerja Banjir Hujatan, Cucu Proklamator Ini Muak: Masa Tidak Boleh Marah?
Selain itu, Benny juga mengaku jika sebelumnya juga pernah meminta dikeluarkannya terkait RUU yang membahas prihal tenaga kerja.
"Isu tenanga kerja juga kita minta supaya dikeluarkan dari Rancangan Undang-undang ini, mengapa hak-hak pekerja sama sekali tidak diperhatikan?," tuturnya.
"Yang paling nyata itu adalah ketentuan tentang pesangon, pesangon itu sesuai dengan Undang-undang eksisting itu 32, 32 kali gaji, ini dipotong, pengusaha hanya tanggung jawab 16-nya, 16 kali, lalu pemerintah dikasih tanggung jawab 9 kali, tapi itu pun mekanismenya asuransi," jelasnya.
"Coba bayangkan melalui jaminan kehilangan pekerjaan, duit dari mana pemerintah bayar itu?," lanjutnya.
Bahkan Benny menegaskan jika Covid-19 bukan dijadikan alasan untuk mengesahkan RUU Cipta Kerja.
"Situasi ekonomi sulit begini, ini yang kita dari awal tentang ini, jangan dong, jangan manfaatkan Covid ini, jangan atas nama Covid ini, pengusaha-pengusaha ini, pebisnis-pebisnis ini memanfaatkan kondisi, kemudian memaksa presiden untuk mengesahkan rancangan undang-undang yang menguntungkan mereka," tuturnya.
"Setelah ini nanti akan ada PHK habis-habisan, dan kalo PHK maka dengan Undang-undang ini nanti pesangon akan dibayar jauh lebih murah," ungkapnya di akhir wawancara.
• Luhut Binsar Panjaitan Bongkar Sosok Pencetus UU Cipta Kerja Sebenarnya, Bukan Presiden Jokowi!
• Demo Tolak Omnibus Law Cipta Kerja di Palembang, Diwarnai Aksi Punggut Sampah oleh Mahasiswa
Kontroversial Omnibus Law Cipta Kerja
Dikutip dari Kompas.com mencatat beberapa pasal-pasal bermasalah dan kontroversial dalam Bab IV tentang Ketenagakerjaan UU Cipta Kerja.
Di antaranya adalah sebagai berikut:
1. Kontrak tanpa batas (Pasal 59)
UU Cipta Kerja menghapus aturan mengenai jangka waktu perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) atau pekerja kontrak.
Pasal 59 ayat (4) UU Cipta Kerja menyebutkan, ketentuan lebih lanjut mengenai jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaan, jangka waktu dan batas waktu perpanjangan perjanjian kerja waktu tertentu diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Sebelumnya, UU Ketenagakerjaan mengatur PKWT dapat diadakan paling lama dua tahun dan hanya boleh diperpanjang satu kali untuk jangka waktu paling lama satu tahun.
Ketentuan baru ini berpotensi memberikan kekuasaan dan keleluasaan bagi pengusaha untuk mempertahankan status pekerja kontrak tanpa batas.
2. Hari libur dipangkas (Pasal 79)
Hak pekerja mendapatkan hari libur dua hari dalam satu pekan yang sebelumnya diatur dalam UU Ketenagakerjaan, dipangkas.
Pasal 79 ayat (2) huruf (b) mengatur, pekerja wajib diberikan waktu istirahat mingguan satu hari untuk enam hari kerja dalam satu pekan.
Selain itu, Pasal 79 juga menghapus kewajiban perusahaan memberikan istirahat panjang dua bulan bagi pekerja yang telah bekerja selama enam tahun berturut-turut dan berlaku tiap kelipatan masa kerja enam tahun.
Pasal 79 ayat (3) hanya mengatur pemberian cuti tahunan paling sedikit 12 hari kerja setelah pekerja/buruh bekerja selama 12 bulan secara terus-menerus.
Pasal 79 Ayat (4) menyatakan, pelaksanaan cuti tahunan diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama. Kemudian Pasal 79 ayat (5) menyebut, perusahaan tertentu dapat memberikan istirahat panjang yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.
3. Aturan soal pengupahan diganti (Pasal 88)
UU Cipta Kerja mengubah kebijakan terkait pengupahan pekerja.
Pasal 88 Ayat (3) yang tercantum pada dalam Bab Ketenagakerjaan hanya menyebut tujuh kebijakan pengupahan yang sebelumnya ada 11 dalam UU Ketenagakerjaan.
Tujuh kebijakan itu, yakni upah minimum; struktur dan skala upah; upah kerja lembur; upah tidak masuk kerja dan/atau tidak melakukan pekerjaan karena alasan tertentu; bentuk dan cara pembayaran upah; hal-hal yang dapat diperhitungkan dengan upah; dan upah sebagai dasar perhitungan atau pembayaran hak dan kewajiban lainnya.
Beberapa kebijakan terkait pengupahan yang dihilangkan melalui UU Cipta Kerja tersebut, antara lain upah karena menjalankan hak waktu istirahat kerjanya, upah untuk pembayaran pesangon, serta upah untuk perhitungan pajak penghasilan.
Pasal 88 Ayat (4) kemudian menyatakan, "Ketentuan lebih lanjut mengenai kebijakan pengupahan diatur dengan Peraturan Pemerintah".
4. Sanksi tidak bayar upah dihapus (Pasal 91)
Aturan mengenai sanksi bagi pengusaha yang tidak membayarkan upah sesuai ketentuan dihapus lewat UU Cipta Kerja.
Pasal 91 ayat (1) UU Ketenagakerjaan mengatur pengupahan yang ditetapkan atas kesepakatan antara pengusaha dan pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh tidak boleh lebih rendah dari ketentuan pengupahan yang ditetapkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Kemudian Pasal 91 ayat (2) menyatakan, dalam hal kesepakatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) lebih rendah atau bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, kesepakatan tersebut batal demi hukum, dan pengusaha wajib membayar upah pekerja/buruh menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Selain tercantum pada Pasal 91, aturan soal larangan membayarkan besaran upah di bawah ketentuan juga dijelaskan pada Pasal 90 UU Ketenagakerjaan.
Namun dalam UU Cipta Kerja, ketentuan dua pasal di UU Ketenagakerjaan itu dihapuskan seluruhnya.
5. Hak memohon PHK dihapus (Pasal 169)
UU Cipta Kerja menghapus hak pekerja/ buruh mengajukan permohonan pemutusan hubungan kerja (PHK) jika merasa dirugikan oleh perusahaan.
Pasal 169 ayat (1) UU Ketenagakerjaan menyatakan, pekerja/buruh dapat mengajukan PHK kepada lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial jika perusahaan, di antaranya menganiaya, menghina secara kasar, atau mengancam.
Pengajuan PHK juga bisa dilakukan jika perusahaan tidak membayar upah tepat waktu selama tiga bulan berturut-turut atau lebih.
Ketentuan itu diikuti ayat (2) yang menyatakan pekerja akan mendapatkan uang pesangon dua kali, uang penghargaan masa kerja satu kali, dan uang penggantian hak sebagaimana diatur dalam Pasal 156.
Namun, Pasal 169 ayat (3) menyebut, jika perusahaan tidak terbukti melakukan perbuatan seperti yang diadukan ke lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial, maka hak tersebut tidak akan didapatkan pekerja. Pasal 169 ini seluruhnya dihapus dalam UU Cipta Kerja.
• CATAT Ini 11 Keuntungan Omnibus Law UU Cipta Kerja Bagi Pekerja Indonesia, Jaminan Bagi Korban PHK'
Yuk follow Instagram Sriwijaya Post
Serta sukai fanspage Sriwijaya Post
Jangan lupa juga subscribe YouTube Channel SripokuTV