PENYESALAN Datang Terlambat, Kisah Tiga Hari Pertemanan Warga Sumsel Berujung Maut di Mentok Bangka

Wajah Ju (49) tertunduk dalam. Di balik masker yang menutupi sebagian wajahnya, isak tangis tak mampu ia sembunyikan.

Editor: Yandi Triansyah
Bangkapos.com/Riki Pratama
PELAKU MENANGIS -- Ju (49), tersangka kasus penikaman yang menewaskan Heri. Dengan tangan diborgol dan wajah tertunduk, pria asal Ogan Ilir, Sumatera Selatan itu tak kuasa menahan tangis ketika ditanya awak media di Mapolres Bangka Barat, Selasa (19/8/2025) 

SRIPOKU.COM – Wajah Ju (49) tertunduk dalam. Di balik masker yang menutupi sebagian wajahnya, isak tangis tak mampu ia sembunyikan.

Air mata terus membasahi pipinya, sesekali diseka dengan tangan yang kini terborgol.

Di hadapan sorotan kamera dan pertanyaan wartawan di Polres Bangka Barat, hanya satu kata yang berulang kali terucap dari bibirnya yang bergetar "Menyesal."

Penyesalan itu kini menjadi teman akrabnya. Sebuah penyesalan yang datang terlambat setelah sebilah pisau mengakhiri hidup Heri (53), pria yang baru dikenalnya tiga hari.

TRAGEDI Handuk Berdarah di Mentok, Teriakan Minta Tolong Warga Sumsel Berakhir di Kamar Mayat

Keduanya, perantau dari Sumatera Selatan yang sama-sama mengadu nasib sebagai penambang timah di tanah Mentok, Bangka Barat.

Kisah tragis ini bermula dari sebuah kehilangan sepele sejumlah uang. Sebuah kecurigaan yang tak terbukti, yang kemudian menyulut api emosi di antara dua kepala yang sama-sama panas.

Kampung Sidorejo, Kelurahan Sungai Daeng, menjadi saksi bisu perkenalan singkat antara Ju dan Heri.

Tinggal di kontrakan yang berdekatan, interaksi di antara keduanya cepat terjalin. Sebagai sesama perantau, rasa senasib sepenanggungan semestinya merekatkan mereka. Namun, takdir berkata lain.

Seminggu sebelum insiden maut itu, Ju dan Heri sudah saling mengenal.

Menurut Kapolres Bangka Barat AKBP Pradana Aditya Nugraha, Heri sering bertandang ke kamar kontrakan Ju.

"Entah pinjam korek dan seterusnya," ujar Kapolres. Kedekatan inilah yang justru menjadi awal petaka.

Suatu hari, Ju meninggalkan kontrakannya dalam keadaan pintu tak terkunci. Sekembalinya, ia mendapati sejumlah uangnya raib dan beberapa barang tidak lagi pada tempatnya.

Benaknya langsung tertuju pada Heri, orang yang paling sering keluar-masuk kamarnya.

Kecurigaan itu ia lontarkan. Namun, Heri dengan tegas membantah. Tuduhan bertemu penyangkalan, menciptakan bara yang siap meledak kapan saja.

Sabtu malam, sekitar pukul setengah tujuh, api itu akhirnya berkobar. Cekcok mulut di depan kontrakan tak terhindarkan. Emosi yang sudah di ubun-ubun membuat keduanya gelap mata.

"Masalah uang hilang. Mancing emosi, awalnya cekcok," tutur Ju dengan suara lirih dan terbata-bata.

Dalam sekejap, adu mulut berubah menjadi adu senjata. Heri, yang merasa difitnah, naik ke kontrakannya dan kembali dengan sebilah parang.

Tak mau kalah, Ju menyambar pisau dari dalam kamarnya. Pertarungan tak seimbang itu pun terjadi.

Ju, yang kalap, menyerang dari belakang. Empat tusukan mendarat telak di punggung Heri, meninggalkan luka menganga yang parah.

Dengan sisa tenaga, Heri berlari sempoyongan, berteriak meminta pertolongan warga. Darah berceceran di tanah, menjadi jejak terakhir perjuangannya untuk hidup.

Warga yang mendengar teriakan itu segera membawanya ke RSUD Sejiran Setason. Namun, nyawanya tak tertolong.

Kabar kematian Heri sampai ke telinga Ju. Saat itulah, amarahnya sirna, digantikan oleh gelombang penyesalan yang dahsyat.

Pria asal Ogan Ilir itu tak pernah menyangka bahwa pertikaian karena uang yang belum tentu dicuri oleh korban akan berakhir dengan hilangnya nyawa.

"Menyesal," ucapnya lagi, kali ini dengan isak yang lebih dalam. Tangisnya adalah cerminan dari sebuah kesadaran pahit bahwa semua ini tak semestinya terjadi.

Pertemanan tiga hari yang seharusnya menjadi awal persaudaraan di tanah rantau, justru berakhir dengan tragedi.

Menurut AKBP Pradana, kasus ini murni penganiayaan spontan, tanpa ada unsur perencanaan.

"Keduanya sama-sama ribut di depan kontrakan, spontan saja dengan sajamnya masing-masing. Korban tidak terima, tidak mengakui tuduhan itu. Akhirnya terjadi perkelahian," jelasnya.

Kini, Ju harus menghadapi konsekuensi hukum atas perbuatannya. Ia dijerat dengan Pasal 351 ayat (3) KUHP tentang penganiayaan yang mengakibatkan kematian, dengan ancaman hukuman maksimal tujuh tahun penjara.

Artikel ini telah tayang di BangkaPos.com dengan judul Tersangka Penikaman di Kampung Sidorejo Mentok Menangis saat Dihadirkan Polisi, Akui Menyesal

Sumber: Bangka Pos
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved