Mimbar Jumat

Belajar Tentang Agama Versus Belajar dari Agama

Judul tulisan ini secara jelaskan membedakan praktik belajar tentang agama (learning of religion) dan belajar dari agama (learning form religion).

Editor: Yandi Triansyah
Dokumen Pribadi
Abdurrahmansyah Guru Besar Pascasarjana UIN Raden Fatah Palembang 

Hal ini sangat berbeda jika dibandingkan dengan cara sebagian umat Islam yang mempelajari Islam secara monodisiplin yang justru melahirkan ambiguitas karena tidak mampu mengaitkan pesan terdalam agama dengan realitas kehidupan.

Cara pandang metodologis yang bercorak monodisiplin cenderung kaku dan rigid melihat realitas perubahan global yang sangat cepat.

Dampak lanjutan dari cara pandang monodisiplin ini adalah munculnya sikap anti modernitas, menolak alternatif penyelesaian masalah secara beragam, dan akhirnya membentuk sikap tertutup.

Sikap ini pada saat yang sama akan melahirkan rasa gelisah dan tidak bahagia sebagai penganut agama. 

Memahami Islam di era global dengan teknologi big data tidak mungkin dapat menafikan tawaran berbagai perspektif dalam memahami realitas yang sangat kompleks.

Belajar agama bukan hanya mengkoleksi banyak pengetahuan tentang suatu agama. 

Atau lebih tegas lagi, belajar Islam bukan sekedar menghapal dalil-dalil agama tanpa melihat konteks dan pemaknaan (meaning) dalam ruang-ruang publik dengan berbagai latar sosiologis dan psikologis penganutnya.

Islam bukan ruang kosong tanpa makna, tetapo justru Islam adalah ruang yang sarat makna yang harus dijelaskan dengan semangat keterbukaan dan kejujuran intelektual.

Karakter ini sangat relevan dengan trend karakter manusia modern di mana kaum muslim harus eksis di dalamnya.

Salah satu indikasi mempelajari Islam secara tertutup adalah munculnya sikap fanatisme sempit dan menolak keberagaman (plurality). Ilmu-ilmu agama dengan berbagai cabangnya—terrutama ilmu fikih—selalu berhubungan dengan realitas kehidupan umat manusia.

Sementara problem dan realitas kehidupan manusia ini selalu berkembang dan berubah-ubah menyesuaikan dengan perubahan waktu dan tempat.

Bisa dibayangkan jika problem yang dihadapi manusia yang hidup di era kini era global, millennium, digital, meta-verse lalu ingin dirujuk pada produk hukum fikih yang telah lampau berabad-abad, maka tentu saja dan pasti akan mengalami “kebuntuan” hukum. 

Tidak relevannya produk hukum masa lampau dengan fenomena kekinian harus dijembatani dengan metodologi dan pendekatan hukum yang lebih relevan dengan kondisi masa kini.

Sudah barang tentu, pendekatan keilmuan dan dasar akademik yang digunakan akan beragam sesuai dengan konteks problem yang dihadapi.

Saat ini saja sudah mulai bermunculan problem kemanusiaan dan masalah sosial yang ternyata menimbulkan ketegangan hukum.

Sumber: Sriwijaya Post
Halaman 2 dari 3
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved