Pilkada Muba 2024

Polemik Perbatasan Wilayah, Warga Muba Diduga Nyoblos di Muratara Saat Pilkada 2024

Di tengah gegap-gempita pesta demokrasi Pilkada Serentak 2024 di Sumatra Selatan (Sumsel), permasalahan tapal batas

Penulis: Fajeri Ramadhoni | Editor: Odi Aria
Sripoku.com/Fajeri Ramadhoni
Potret warga Desa Sako Suban ketika menyalurkan hak suara di Pilkada 2024. 

SRIPOKU.COM, SEKAYU- Di tengah gegap-gempita pesta demokrasi Pilkada Serentak 2024 di Sumatra Selatan (Sumsel), permasalahan tapal batas di sejumlah daerah masih menyisakan polemik.

Salah satunya yang terjadi di Dusun 003 Desa Sako Suban, antara Kabupaten Musi Banyuasin dan Kabupaten Musi Rawas Utara (Muratara).

Seperti di SD Negeri Sako Suban yang digunakan sebagai Tempat Pemungutan Suara (TPS) dalam pemilihan kepala daerah Kabupaten Muba, meski klaim lokasi menurut Permendagri No. 76/2014 merupakan wilayah Kabupaten Muratara.

Hal ini menunjukkan adanya dugaan tumpang tindih administratif yang memengaruhi aspek legal, sosial, dan politik di kawasan tersebut. 

Kepala Bagian Tata Pemerintahan Setda Muba, Suganda menyatakan, secara administrasi SDN Sako Suban masuk ke wilayah Muba

"Kalau secara administrasi wilayah, ini memang masuk ke Muba, tapi kalau terkait TPS itu wewenang KPU,” kata Suganda saat dikonfirmasi, Rabu (27/11/2024). 

Salah seorang guru SD di Sako Suban, Yeni Lastari menunjukkan surat undangan pemungutan suara untuk memilih Bupati Muba, meskipun dusun tempat ia tinggal tercatat sebagai bagian Kabupaten Muratara berdasarkan Permendagri No. 76/2014.

"Saya memang tercatat sebagai penduduk Dusun 003, Desa Sako Suban. Awalnya sempat bingung kami pilih Bupati Muba atau Muratara,” kata Yani.  

Sementara itu, terkait tumpang tindih administrasi tersebut ditanggapi oleh Haris Azhar, aktivis HAM dari Lokataru, mengatakan, kondisi di TPS SDN Sako Suban tersebut menandakan bahwa daerah itu dipaksakan oleh pihak otoritas pusat sebagai daerah baru.

Padahal di lapangan bahkan pencatatan resmi di daerah masih bernama daerah yg lama.

Kondisi di lapangan adalah sesuai pula dengan Peta dan Titik Koordinat yang dimuat dalam Lampiran UU Nomor 16 Tahun 2013 tentang Pembentukan Kabupaten Muratara. Artinya, Permendagri No. 76/2014 terbukti melanggar undang-undang.

“Ini bukti bahwa pemerintah pusat memiliki agenda terselubung dan tidak diikuti dengan penataan administrasi pemerintahan lokal. Pertanyaannya, apa agenda pemerintah pusat tersebut,” ungkapnya, Rabu (27/11/2024).

Dia menduga, hal itu terjadi untuk meladeni kepentingan perusahaan tambang. Penetapan daerah baru tersebut membuka peluang bagi perusahaan tambang, untuk memperkuat argumentasi agar terus mengambil alih lahan garapan warga. 

Haris juga melihat ⁠potensi konfliknya sudah terjadi, karena ada banyak warga kebingungan dalam pengurusan administrasi kependudukan. Sementara pemerintah pusat, dinilainya tutup mata atas persoalan tersebut.

"Konflik agraria di Pulau Sumatera memang tinggi, terutama di Provinsi Sumatra Utara (Sumut) dan Bandar Lampung. Meskipun Sumsel bukan yang paling tinggi tapi setiap kasus tetap buruk bagi korban. Korban tidak bisa dinilai dengan angka statistik. Akan banyak sengketa yang bakal muncul," bebernya. 

Sumber: Sriwijaya Post
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved