OPINI: Pilih Kaya Atau Bahagia?

Kecukupan harta yang banyak merupakan suatu sarana untuk mencapai kebahagiaan dalam hidupnya.

Editor: adi kurniawan
Handout
Choirul Okviyanto, S.ST., M.E., MPP., Statistisi Ahli Muda BPS Provinsi Sumatera Selatan 

Oleh: Choirul Okviyanto, SST., ME., MPP.
Statistisi Ahli Muda BPS Provinsi Sumatera Selatan

SETIAP orang kemungkinan memiliki tanggapan berbeda jika dihadapkan pada pilihan pertanyaan dari judul di atas. Setidaknya, akan terbagi 2 kelompok besar dalam merespon perihal tersebut.

Ada yang menganggap bahwa tujuan dari hidup ini adalah kebahagiaan, akan tetapi untuk mencapai kebahagiaan tersebut, seseorang harus menjadi kaya terlebih dahulu karena mustahil ada orang bahagia tapi tidak mampu memenuhi kebutuhan dan keinginannya.

Artinya, kecukupan harta yang banyak merupakan suatu sarana untuk mencapai kebahagiaan dalam hidupnya.

Namun disisi lain, sebagian orang percaya bahwa kebahagiaan merupakan tujuan tertinggi dari kehidupannya dan untuk mencapai hal tersebut, tidak perlu untuk menjadi kaya terlebih dahulu.

Banyak individu yang merasa bahagia karena berkumpul dengan orang-orang terkasih, misalnya. Ataupun merasakan kebahagiaan ketika melakukan hal-hal yang disukainya tanpa harus mengeluarkan biaya mahal.

Bagi kelompok ini, kebahagiaan merupakan pilihan dari suasana hati yang mereka ciptakan pada setiap potongan moment dalam menjalani hidupnya.

Baik dalam keadaan sedih ataupun senang, susah maupun lapang, kelompok ini akan selalu berusaha menjalaninya dengan perasaan bahagia.

Choirul Okviyanto, S.ST., M.E., MPP., Statistisi Ahli Muda BPS Provinsi Sumatera Selatan
Choirul Okviyanto, S.ST., M.E., MPP., Statistisi Ahli Muda BPS Provinsi Sumatera Selatan (Handout)


Ukuran Kesejahteraan Suatu Bangsa

Dalam tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara, tujuan berdirinya suatu bangsa utamanya agar tercipta welfare state.

Dimana negara mampu menghadirkan kesejahteraan dan kemakmuran bagi setiap anak bangsanya tanpa terkecuali.

Begitupun dengan para founding fathers, pendiri Bangsa ini, cita-cita luhur mereka sebagaimana tertuang dalam preamble UUD 1945 alenia keempat adalah memajukan kesejahteraan umum bagi seluruh tumpah darah Indonesia.

Secara makro, baik pada level negara maupun daerah, kesejahteraan suatu bangsa ataupun wilayah diukur berdasarkan capaian pertumbuhan ekonomi, nilai Produk Domestik Brutto (PDB) dan pendapatan perkapita suatu wilayah atau PDB perkapita.

Semakin tinggi capaian-capaian ekonomi tersebut, maka suatu wilayah dianggap semakin sejahtera dan kaya. World Bank juga membuat kategori negara tertinggal, negara berkembang, dan negara maju berdasarkan GDP per kapitanya.

Suatu negara dianggap tertinggal atau berpendapatan rendah jika PDB perkapitanya di bawah USD 1.135, sedangkan disebut negara berkembang saat pendapatan perkapitanya berkisar antara USD 1.136 sampai dengan USD 13.845, dan negara dengan pendapatan perkapita di atas USD 13.846 akan masuk pada jajaran negera-negara kaya dan maju. 

Sayangnya, negara yang kita cintai ini masih berada pada kategori negara berkembang dengan pendapatan sekitar USD 4.580 per kapita pada tahun 2022.

Lebih parahnya lagi, kondisi ini sudah bertahan selama 40an tahun sejak awal tahun 1980an dimana Indonesia mentas dari kelompok negara-negara tertinggal.

Sehingga, Indonesia pada saat ini masuk kategori negara yang terjebak lama di kelompok negara-negara berkembang (middle income trap).

Seorang ekonom India terkenal, penerima nobel ekonomi tahun 1998, Amarty Sen, memberikan kritiknya terhadap ukuran-ukuran ekonomi yang selama ini digunakan dalam mengukur kesejahteraan suatu Bangsa.

Menurutnya, indikator-indikator ekonomi tidak sepenuhnya akurat dalam mengukur kesejahteraan suatu negeri. Perlu juga ditambahkan capaian-capaian dari aspek sosial seperti pendidikan dan kesehatan sehingga ukuran tersebut lebih komprehensif menilai kemakmuran suatu Bangsa.

Maka, muncullah indikator yang kita kenal sekarang dengan nama Human Development Index atau Indeks Pembangunan Manusia (IPM).

IPM merupakan indikator yang digunakan untuk melengkapi indikator ekonomi yang sudah ada. Pembangunan IPM berfokus pada manusia yang mengukur longevity (umur panjang dan sehat), knowledge (pengetahuan), dan Decent Living Standard (standar hidup layak).

Namun lagi-lagi sayang, peringkat HDI Indonesia tahun 2022 berada pada posisi 112 dari 193 negara. Atau dengan kata lain, putra-putri Bangsa ini harus bekerja lebih keras dan cerdas lagi mengejar ketertinggalan dari negara-negara lain dalam hal capaian pembangunan ekonomi dan manusianya.

Happiness Index

Pada tahun 2002, World Happiness Report merilis untuk pertama kalinya indikator baru yaitu Happiness Index atau Indeks Kebahagiaan yang diharapkan dapat melengkapi ukuran-ukuran kesejahteraan suatu Bangsa yang selama ini sudah ada.

Indikator ini mencoba membuat peringkat lebih dari 100 negera berdasarkan tingkat kebahagiaan penduduknya. Kabar buruknya, kebahagiaan masyarakat Indonesia tahun 2024 yang baru saja dirilis, masih berada pada posisi 80 dari 143 negara.

Meskipun selalu mengalami peningkatan score kebahagiaan selama kurun waktu satu dasawarsa, peringkat kebahagiaan negara kita masih jauh dibandingkan dengan negara-negara tetangga di kawasan Asia Tenggara seperti Singapura, Philipina, Vietnam, Thailand, dan Malaysia.

Masing-masing negara tersebut berada pada ranking ke-30, ke-53, ke-54, ke-58, dan ke-59 dari 143 negara. Menariknya, beberapa negara dengan kekuatan ekonomi terbesar didunia seperti Amerika Serikat, Tiongkok, dan Singapura, masyarakatnya tidak lebih bahagia dibandingkan dengan masyarakat yang tidak "se-kaya" negara-negara tersebut seperti Finlandia, Denmark, dan Islandia.

Bahkan posisi negara-negara Scandinavia tersebut selalu menempati lima besar dalam beberapa tahun terakhir sebagai negara paling bahagia di planet bumi ini.

Hal tersebut mengindikasikan bahwa tidak selalu negara yang kaya secara ekonomi, masyarakatnya juga akan hidup dengan bahagia.

Meskipun dalam rilisnya, World Happiness Report juga mencatat bahwa PDB perkapita suatu negara berpengaruh terhadap kebahagiaan penduduknya.

Namun, kontribusinya paling kecil dibandingkan dengan variabel-variabel lain seperti social support, freedom to make life choices, generousity, dan perception of corruption, dalam menghadirkan kebahagiaan bagi penduduknya.

Pada level regional, Badan Pusat Statistik mengadopsi metode pengukuran Happiness Index oleh World Happiness Report untuk mengukur kebahagiaan masyarakat Indonesia sampai pada level provinsi.

BPS membangun Survei Pengukuran Tingkat Kebahagian (SPTK) yang meliputi 3 dimensi yaitu dimensi kepuasan hidup, dimensi perasaan, dan dimensi makna hidup serta mencakup 19 indikator dalam menghitung tingkat kebahagiaan penduduk Indonesia.

SPTK sendiri sudah 3 kali dilakukan oleh BPS yaitu pada tahun 2014, 2017, dan terakhir dilakukan pada masa pandemi Covid-19 tahun 2021 dengan hasil bahwa terjadi peningkatan 0,8 poin indeks kebahagiaan masyarakat Indonesia dari 70,69 pada tahun 2017 menjadi 71,49 pada tahun 2021.

Artinya, penduduk Indonesia merasa lebih bahagia dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya maskipun dalam suasana pandemi Covid-19.

Bagaimana dengan kebahagiaan masyarakat Sumsel?

Hasil dari SPTK 2021, menyatakan bahwa penduduk yang tinggal di Provinsi Maluku Utara merupakan masyarakat yang paling bahagia di Indonesia.

Hal tersebut juga konsisten dengan hasil SPTK 2017 yang menetapkan Provinsi Maluku Utara sebagai provinsi paling bahagia di Nusantara.

Adapun empat provinsi paling bahagia berikutnya yaitu Kalimantan Utara, Maluku, Jambi, dan Sulawesi Utara. Sedangkan Provinsi Sumatera Selatan, harus puas berada pada posisi ke-18 provinsi dengan tingkat kebahagiaan tertinggi dari 34 provinsi pada tahun 2021.

Sebagai perbandingan, di Pulau Sumatera sendiri, masyarakat Sumsel tidak lebih bahagia jika dibandingkan dengan masyarakat Kepulauan Babel, Kepri, dan bahkan jauh tertinggal dengan provinsi tetangga kita, Jambi yang masuk empat besar provinsi paling bahagia di Indonesia.

Padahal secara ekonomi, Bumi Sriwijaya merupakan daerah terkaya kedua di Pulau Sumatera setelah Sumatera Utara. Bahkan ekonomi Sumsel mampu konsisten tumbuh dirata-rata 5 persen setiap tahunnya dan tertinggi dibandingkan provinsi lainnya di Pulau Sumatera.

Hal tersebut di atas mengindikasikan bahwa ada sesuatu yang kurang tepat dari fokus pembangunan di daerah kita selama ini.

Pembangunan yang hanya menitikberatkan pada aspek ekonomi saja ternyata kurang berdampak positif terhadap sisi sosial masyarakatnya.

Alih-alih menghadirkan kebahagiaan pada penduduknya, pembangunan ekonomi yang utamanya mengeksploitasi kekayaan sumber daya alam daerah ini, justru menciptakan ketidaknyamanan bagi warganya.

Kerusakan alam, polusi, meningkatnya suhu panas udara, dan kemacaten, ditengarai sebagai dampak buruk dari pembangunan ekonomi yang selama ini dilakukan serta pada akhirnya mengikis rasa kebahagiaan masyarakat Sumsel.

Pada level nasional, fakta yang telah diutarakan di atas, hendaknya menjadi pembelajaran berharga bagi Bangsa kita. Tujuan-tujuan pembangunan yang selama ini digembar-gemborkan melalui "Menuju Indonesia Emas 2045" seyogyanya tidak hanya sebatas pada capaian aspek ekonomi saja.

Lebih dari itu, pemerintah semestinya memastikan bahwa pembangunan yang dilakukan, utamanya demi menghadirkan kebahagian hidup bagi seluruh rakyatnya. 

Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved