Mimbar Jumat: Fenomena Cinderella Tanpa Sepatu Kaca

Kasus Cinderella yang sedang viral di media sosial seharusnya mampu menjadi informasi penting bahwa pergaulan muda-mudi masa kini sedang tidak baik

Editor: adi kurniawan
Handout
Prof. Dr. Hj. Uswatun Hasanah, M.Ag Dirda LPPK Sakinah Kota dan Dosen UIN Raden Fatah Palembang 

Oleh: Prof. Dr. Hj. Uswatun Hasanah, M.Ag

Dirda LPPK Sakinah Kota dan Dosen UIN Raden Fatah Palembang

SRIPOKU.COM -- Di antara maraknya berita tentang pesta demokrasi, turut menjadi pembicaraan di kalangan masyarakat kisah Cinderella yang telah bereinkarnasi dengan karakter barunya.

Meskipun sangat disayangkan, wajah baru Cinderella berbeda 180 derajat dari tokoh aslinya.

Cinderella masa kini seolah menjadi ikon bagi perempuan muda yang punya mimpi indah mengenai bahagia dan cinta.

Dalam format baru Cinderella ditonjolkan hanya dengan satu sisi yaitu sebagai Si Ratu Pesta.

Suasana pesta yang meriah berhasil membawa Sang Ratu menemukan bahagia dan merasakan jika mimpinya tengah menjadi nyata.

Kasus Cinderella yang sedang viral di media sosial seharusnya mampu menjadi informasi penting bahwa pergaulan muda-mudi masa kini sedang tidak baik-baik saja.

Tidak hanya tentang seorang perempuan muda yang dijuluki sebagai Cinderella yang beberapa waktu lalu meregang nyawa di tengah hiruk-pikuknya pesta akibat overdosis.

Karena apabila ditelusuri lebih jauh akan ditemukan lebih banyak lagi informasi tentang keberadaan perempuan Cinderella, yang memilih meraih bahagia dalam kemeriahan pesta dengan iringan musik disco remix yang menghentak, menari bebas secara eksotis penuh gairah, sembari mengkonsumsi obat terlarang dan miras, menggunakan pakaian minim serba ketat sehingga terbuka aurat dan mengundang syahwat.

Dalam metamorfosa perubahan persepsi masyarakat mengenai sosok Cinderella, tentu akan diawali dengan kisah Dongeng Putri Cinderella yang sangat dikenal masyarakat.

Versi paling awal berasal dari negeri Cina tercatat di The Miscellareous Recorrd of Yu Yang, ditulis oleh Tuang Ching Shih tahun 860.

Sebuah buku yang sudah ada sejak zaman Dinasti Tang. Versi paling terkenal ditulis pada tahun 1607 oleh Charles Perrault seorang berkebangsaan Perancis.

Kisah tersebut didasarkan pada cerita rakyat yang ditulis oleh Giambalttista Basile sebagai La Gatta Connerentola pada tahun 1634. Dalam Bahasa Perancis kata Cinderella berarti abu sisa pembakaran yang halus.

Karenanya masyarakat juga sering menyebut Cinderella sebagai Upik Abu.

Karakter Cinderella atau si Upik Abu adalah sebagai seorang gadis muda lugu, cantik, baik hati, selalu menghormati dan menyayangi ibu beserta kakak tirinya, meskipun ia diperlakukan sebagai si Upik Abu atau pembantu.

Karena kebaikan, kesabaran dan ketulusannya Ratu Peri selalu siap sedia membantunya, baik dalam menyelesaikan pekerjaan sehari-hari, mengatasi semua persoalan yang dihadapi termasuk untuk bisa hadir di pesta dansa yang diadakan oleh seorang pangeran kerajaan.

Dalam kisah Cinderella di negeri dongeng tersebut, suasana pesta tidak mampu merubah karakter si Upik Abu.

Meskipun telah bertransformasi dalam balutan gaun indah dan sepatu kaca, Cinderella tetap sebagai perempuan sederhana, karismatik, menjaga diri dan memiliki batas pergaulan sehingga pada akhirnya membuat pangeran menyukainya.

Pada masyarakat kontemporer, selain kekeliruan dalam penonjolan karakter Cinderella, menurut para Pakar Psikologi, dongeng Cinderella telah menjadi latar belakang terjadinya gangguan psikologis yang dikenal dengan istilah Sindrom Cinderella Complex (SCC).

Mimpi indah tentang cinta sejati, pertemuan dengan pangeran berkuda, menjadikan perempuan Cinderella tidak mandiri, larut dalam hayal dan berupaya maksimal untuk menonjolkan penampilan fisik agar dapat menarik hati Sang Pangeran impian.

Menurut Colette Dowling perempuan dengan Sindrom Cinderella Complex tidak diajarkan untuk bisa mengendalikan diri dan mencari solusi atas persoalan yang sedang dihadapi.

Fenomena Sindrom Cinderella Complex sangat berkaitan dengan gaya hidup perempuan, yang diipenuhi oleh rasa takut, cemas, gelisah, lemah, tidak memiliki kepercayaan diri, selalu ingin berada di zona nyaman meskipun memilih dan menggunakan cara yang menyimpang.

Para perempuan masa kini seharusnya paham, bahwa 15 abad yang lalu Rasulullah SAW sengaja diutus oleh Allah SWT untuk mengemban misi dakwah dan menegakkan syariat Islam.

Salah satunya adalah untuk mengangkat derajat dan memuliakan perempuan.

Kala itu, hampir merata di seluruh kehidupan masyarakat, perempuan ditempatkan pada sisi yang dimarginalkan. Dianggap sebagai sumber malapetaka, aib dan beban keluarga.

Kemudian Rasul mengajarkan bahwa kedudukan anak perempuan sama dengan anak laki- laki. Selanjutnya ketika perempuan berstatus sebagai seorang ibu maka ia dimuliakan dengan memiliki eksistensi dan fungsi penting yaitu sebagai sekolah pertama bagi semua anak yang dilahirkannya dan menempatkan surga yang dirindukan oleh semua manusia di bawah telapak kakinya.

Dengan kodrat kewanitaan yang menempel erat padanya selanjutnya seorang ibu diberikan derajat tiga kali di atas kaum bapak.

Perempuan adalah kunci kebaikan ummat. Jika diibaratkan material bangunan, perempuan adalah batu bata yang mampu menegakkan bangunan. Ia merupakan material yang mampu membangun generasi penerus manusia.

Jika rusak wanita maka akan rusak pula manusia semuanya. Karena itu untuk bisa membangun ummat, wanita seharusnya mampu menjaga kehormatan, menjunjung tinggi hak Tuhan-nya dan setia menjalankan sunnah Rasul- nya.

Salah satu ciri perempuan yang menjaga kehormatan adalah berhijab. Semua bagian tubuh perempuan adalah keindahan, karenanya dia merupakan aurat yang harus dijaga dan dipelihara dengan syariat-Nya.

Menutup aurat atau berhijab merupakan bentuk pemuliaan perempuan yang telah disyariatkan dalam al-Qur’an dan sunnah.

Aturan berpakaian yang diberikan oleh Sang Maha Pencipta melambangkan kebaikan iman. Pernyataan ini bukan hendak mendeskriditkan perempuan yang belum menutup aurat dan mengatakannya tidak baik.

Namun dalam perkara ini, hijab merupakan cermin ketaatan kepada Allah SWT, karena berhijab adalah perintah-Nya. Apabila meninggalkan perintah bermakna bahwa ia telah tersesat dan mendurhakai Allah. Firman Allah:

“Tidaklah patut bagi mukmin dan tidak (pula) bagi mukminah, apabila Allah dan Rasul-Nya menetapkan suatu
ketetapan, kemudian mereka mempunyai pilihan (yang lain) tentang urusan mereka dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya dia telah sesat dengan kesesatan yang nyata (Q.S. al-Ahzab, 36). Jika mau meneladani ketaatan perempuan awal yang berhijrah, maka mereka segera menutup aurat setelah turunnya perintah hijab (Q.S. al- Nur, 31), meskipun harus merobek kain panjang/ baju mantel atau apapun yang mereka punya untuk kemudian menggunakannya sebagai khimar.

Selain sebagai simbol ketaatan, hikmah mengenakan hijab adalah berhubungan dengan upaya menjaga kesucian diri. Hijab mampu menjaga perempuan dari tatapan liar dan keisengan laki-laki, mengidentifikasinya sebagai perempuan muslimah, menggiring pemakainya kepada akhlaq karimah, serta dapat melindunginya dari fenomena alam seperti debu dan terik matahari.

Dalam aturan mengenakan hijab, harus mampu menutupi seluruh tubuh dan perhiasan yang digunakan dari pandangan laki-laki yang bukan mahram, tidak ketat, tidak tembus pandang dan tidak berlebihan serta tidak menampakkan perhiasan Sabda Rasul:

“Ada dua golongan ahli neraka yang tidak pernah aku lihat sebelumnya, yaitu sekelompok orang yang memegang cambuk seperti ekor sapi yang dipakai untuk mencambuk manusia, dan wanita-wanita yang berpakaian tetapi hakikatnya telanjang, mereka berjalan melenggak-lenggok, kepala mereka seperti punuk unta yang miring. Mereka tidak akan masuk surga dan tidak bisa mencium aromanya.

Dalam konteks sosial di masyarakat, jilbab tidak hanya dipandang sebagai persoalan agama atau keyakinan, tetapi sangat terkait dengan poblematika sosial.

Hal ini bisa dilihat dalam fenomena saat perempuan tersandung kasus pidana. Semula pada kesehariannya perempuan tersebut tidak menggunakan jilbab namun saat tertangkap aparat secara spontan bergegas mengenakan hijab.

Fenomena lainnya adalah kasus peminta-minta, demi mencari simpati dan mendapatkan sumbangan, tidak sedikit dari mereka yang memilih menggunakan hijab.

Begitupun perempuan yang berpropesi sebagai pencuri, jilbab biasanya mereka gunakan sebelum melakukan aksi kejahatan.

Selain agar tidak mudah dikenali, memakai jilbab dimaksudkan untuk mempermudah aksi dan sebagai tempat menyimpan hasil curian.

Jilbab juga dianggap sebagai senjata untuk memancing kelengahan korban. Karena korban akan menganggap hijab yang dikenakan sebagai simbol dari perempuan baik-baik sehingga tidak perlu diwaspadai.

Menurut Quraish Shihab menggunakan hijab, perintahnya ditujukan hanya kepada perempuan merdeka bukan hamba sahaya.

Hal ini memberi makna bahwa hijab mampu mengidentifikasi kedudukan perempuan dan menaikkan status sosialnya.

Berhijab dalam lingkup yang lebih luas dapat dimaknai sebagai upaya menjaga batas pergaulan dengan lawan jenis yang bukan mahram.

Adapun yang diidentifikasikan sebagai batasan dalam pergaulan adalah kesesuaian dengannorma agama, masyarakat dan susila.

Membatasi diri dari sikap bercampur-baur antara laki-laki dan perempuan yang tidak mengindahkan batasan nilai pergaulan termasuk perilaku meminum atau memakan makanan yang diharamkan oleh agama.

Firman Allah: “Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamr, berjudi, (berkurban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan syaithon. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.

Tidak ada legalisasi mengenai pergaulan bebas dari sudut pandang manapun. Rasul bersabda: Sesungguhnya andai kepala seseorang ditusuk dengan jarum yang terbuat dari besi itu lebih baik baginya daripada menyentuh perempuan yang tidak halal baginya (bukan mahram).

Dalam hadis tersebut sudah sangat jelas disebutkan bersentuhan dengan bukan mahram dianalogikan sebagai lebih baik baginya ditusuk dengan besi panas. Bayangkan apabila dibandingkan dengan pergaulan muda-mudi yang tidak malu bergaul tanpa batas seperti berpegangan tangan, saling merangkul, joget bareng secara erotis, melakukan hal-hal di luar batas secara vulgar dan di tempat umum.

Fenomena wajah baru Cinderella masa kini sebagai Ratu Pesta yang tidak lagi menggunakan sepatu kaca, merupakan persoalan serius yang harus mendapatkan perhatian.

Perempuan seharusnya menjaga kehormatan, tidak mengorbankan harga diri hanya untuk menemukan kebahagiaan yang sifatnya semu. Perintah berhijab, menjaga kehormatan dan larangan pergaulan bebas sesungguhnya sesuatu yang mutlak membawa dampak positif terbesar bagi diri sendiri.

Diantaranya menghindarkan diri dari pelecehan seksual, free seks, meningkatkan kualitas hidup, menciptakan masyarakat yang lebih religius, meningkatkan kualitas hubungan antar pribadi dan melahirkan bahagia dunia-akhirat.

Cinderella si Upik Abu, biarlah tetap menjadi cerita tradisional pengantar tidur yang berasal dari negeri
dongeng, tanpa harus merubah karakternya apalagi mendatangkan sindrom bagi para perempuan modern masa kini.

Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved