Mimbar Jumat

Moderasi dan Toleransi Beragama

Ummat Kristen beribadah pada sisi barat, sementara Ummat Islam beribadah pada sisi timurnya. Sungguh Indah!

Editor: Bejoroy
ist
Muhammad Walidin, M.Hum (Dosen Prodi Bahasa dan Sastra Arab Fakultas Adab dan Humaniora UIN Raden Fatah Palembang) 

Nah, dapat dibayangkan bagaimana paradigma moderasi-toleransi para pemimpin Islam. Di atas singgasananya di Damaskus, Khalifah al-Walid I saja tetap menjaga toleransi beragama dengan penduduk asli. Ia masih tetap berbagai rumah ibadah dengan pemeluk Kristen. Seiring dengan bertambahnya pemeluk Islam dari kalangan Kristen, Khalifah melakukan negosiasi dengan pemimpin agama Kristen untuk menggunakan sisi barat sebagai tempat peribadatan Ummat Islam. Sebagai gantinya, khalifah membangunkan sebuah gereja baru yang didedikasikan untuk Perawan Maria di kota tersebut.

Jangan lupa subscribe, like dan share channel TikTok Sriwijayapost di bawah ini:

Logo TikTok Sripoku.com

Menjadikan seluruh gereja sebagai masjid secara bertahap ini tidak lain karena pemeluk Islam bertambah dari jamaah gereja tersebut. Praktis, pemeluk Kristen yang terbiasa beribadah di sana setelah konversi ke agama Islam tetap beribadah di tempat yang sama, namun dengan akidah yang baru. Perubahan fisik gereja tetap mempertahankan eksterior dan interior bangunan sebelumnya, seperti dua menara gereja. Khalifah hanya menambahkan menara di sisi utara.

Stuktur masjid dengan pilar-pilar batu pualam dan lantai/dinding berlapis marmer serta banyak lengkungan merupakan perpaduan gaya Romawi dan Islam. Khalifah memang mengundang arsitek dan seniman Persia, Mesir, India, Afrika Utara, dan Byzantium untuk menyelesaikan masjid yang menghabiskan dana Khalifah sebanyak 400 kotak, di mana setiap kota berisi 14 ribu dinar.

Damaskus, di mana al-Quds/Jerussalem juga termasuk di dalamnya, telah menjadi ikon moderasi Islam terhadap keberagaman. Toleransi yang dibangun dan berjalan selama ratusan tahun hancur dengan kedatangan tentara Salibis pada tahun 1099 M. Pasukan Salibis tidak menghendaki keberagaman.

Dalam perebutan al-Quds itu, lebih dari 70.000 penduduk sipil dibantai. Di sekitar al-Aqsa, darah umat Islam digambarkan tergenang hingga ke lutut para penjajah. Masjid dan sinagog di seluruh kota dihancurkan. Bahkan orang Kristen juga menderita, karena Tentara Salibis berusaha memaksakan versi Kristen Katolik mereka sendiri daripada gereja tradisional Yunani, Armenia, Georgia, dan lainnya yang ada di kota.

Jangan lupa Like fanspage Facebook Sriwijaya Post di bawah ini:

Beruntungnya, perjalanan moderasi dan toleransi masyarakat muslim kembali diketengahkan oleh Sultan Salahudin al-Ayyubi dalam pembebasan al-Quds/Jarussalem pada tahun 1187. Ia mencontoh bagaimana Umar bin Khattab dan Khalid bin Walid saat pertama kali membuka wilayah Damaskus.

Pada Pertempuran Hittin tahun 1187 M, pasukan Shalahuddin berhasil mengalahkan sepenuhnya Tentara Salibis di Al-Quds. Yang tersisa di kota suci itu hanya beberapa ksatria, yang menyerah kepada Shalahuddin. Berbeda dengan Tentara Salibis yang membantai semua orang di kota, Shalahuddin justru memberikan jalan yang aman kepada semua penduduk ke tanah Kristen dan diizinkan untuk membawa barang-barang mereka bersamanya. Situs-situs Kristen di kota itu dilindungi. Orang-orang diizinkan berziarah ke sana.

Sikap moderasi dan toleransi yang dikedepankan masyarakat muslim di al-Quds/Jerussalem masih tersisa dengan baik dengan pembagian wilayah bagi ummat-ummat beragama yang hidup di sekitar al-Aqsa secara harmonis. Gary M. Burge (2014) menyatakan bahwa selama berabad-abad terdapat empat pemukiman penganut beragama yang mengelilingi kota tua Jerussalem. Orang Yahudi tinggal di Tenggara, orang Armenia menempati sisi Barat Daya, pemeluk Kristen mendiami sisi Barat Laut, dan orang Islam berwilayah di Timur Laut. Harmoni ini kemudian terancam punah kembali dengan pendudukan Palestina oleh Israel (1948).

Damaskus atau Syam (termasuk juga Palestina di dalamnya) menjadi contoh kehidupan majemuk yang harmonis ketika dipimpin oleh pemimpin Islam. Para pemimpin ini menyadari bahwa Toleransi dalam Moderasi Beragama merupakan cara terbaik untuk menghadapi radikalisme agama yang dapat mengancam kehidupan berbangsa dan beragama karena Moderasi Beragama merupakan patokan terciptanya sebuah toleransi dan kerukunan antar sesama. (*)

Update COVID-19 9 Februari 2023.
Update COVID-19 9 Februari 2023. (https://covid19.go.id/)
Sumber: Sriwijaya Post
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved