Mimbar Jumat

Menguasai Ego, Belajar Dari Umat Terbaik

Masing-masing harus mampu menguasai ego dan berupaya peduli terhadap kepentingan dan hak orang lain.

Editor: Bejoroy
SRIPOKU.COM/Istimewa
John Supriyanto (Dosen Ilmu Al Qur’an dan Tafsir Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam, UIN Raden Fatah dan Sekolah Tinggi Ilmu Al Qur’an Al-Lathifiyyah Palembang). 

Betapa sikap lebih mengutamakan orang lain di atas kepentingan sendiri merupakan akhlak yang sangat mulia dan telah ditanamkan agama kepada setiap pribadi beriman. Agama meletakkan dasar cinta kasih kepada saudara seiman, bagaikan cinta kasih pada diri sendiri.

Tidak tanggung-tanggung, pertaruhannya adalah iman “la yu’minu ahadukum hatta yuhibba li akhihi mayuhibbu li nafsih” (tidak terkategori beriman orang yang tidak mencintai saudaranya seperti mencintai dirinya sendiri). Nilai-nilai iman bukan sekedar penyempurna pribadi pemiliknya, namun harus terefleksi dalam tindak akhlak mulia dan meresonansi banyak kebaikan, kemaslahatan, cinta dan kasih kepada orang lain dan lingkungan.

Kisah teladan kepiawaian mengendalikan ego yang diperankan tiga tokoh di atas menunjukkan betapa nilai-nilai iman mampu melahirkan ketulusan cinta saudara seiman walau harus mengorbankan diri sendiri. Tak ubah seperti lilin yang merelakan dirinya hancur demi menerangi lingkungan terdekatnya. Meski mungkin banyak yang tidak sependapat dengan pengibaratan ini.

Tapi hal ini telah disinyalir Al Qur’an sebagai refleksi kesempurnaan iman “wa yu’tsirun ‘ala anfusihim walau kana bihim khashashah” (Qs. al-Hasyr : 9), yakni “mereka lebih mengutamakan saudaranya di atas kepentingan pribadi meskipun dalam kesusahan”. Di tempat lain, Al Qur’an juga mengungkapkan “yunfiqun fi as-sarra’ wa adh-dharra” (Qs. Ali Imran : 134), bahwa ciri khas seorang bertaqwa adalah rela berbagi dalam segala situasi, senang maupun susah, lapang ataupun sempit.

Jangan lupa subscribe, like dan share channel TikTok Sriwijayapost di bawah ini:

Logo TikTok Sripoku.com

Al-Qurthubi dalam Jami’ li Ahkam al-Qur’an mengungkapkan sabab an-nuzul ayat di atas (Qs. al-Hasyr : 9) sebagaimana riwayat al-Bukhari adalah berkenaan dengan seorang laki-laki yang menghadap Rasulullah Saw. dan berkata: “Ya Rasulullah, saya lapar”. Lalu Rasulullah Saw. meminta kepada para istrinya untuk diberikan makanan dan ternyata tidak ada makanan apapun yang bisa diberikan selain air.

Kemudian Rasulullah Saw. pergi kepada beberapa orang sahabat dan menawarkan kepada mereka “Siapa di antara kalian yang malam ini bersedia menjamu tamuku, semoga Allah Swt. melimpahkan rahmat atasnya”. Lalu seorang dari kaum anshar menjawab :”Saya, wahai Rasul”. Kemudian ia pulang ke rumah dan berkata kepada istrinya : “Hidangkan semua makanan yang ada untuk memuliakan tamu Rasulullah Saw.”. Istrinya menjawab : “Demi Allah, tidak ada makanan apapun kecuali hanya sedikit untuk anak kita”. Lalu ia berkata : “nawwim ash-shabiyyah, wa athfi’i as-siraj wa qarribi li adh-dhaif ma ‘indak” (tidurkanlah anak-anak, matikanlah lampu dan suguhkanlah makanan itu kepada tamu kita).

Ketika tiba saatnya makan malam, sang istri menghidangkan makanan lalu mematikan lampu dan menidurkan anak-anaknya. Lalu ia berdiri seolah hendak memperbaiki lampu dan mematikannya kembali. Dalam keadaan gelap suami-istri itu berpura-pura mengunyah makanan hingga terkesan ikut menikmati hidangan. Makan malam selesai, keduanya pamit beranjak tidur dalam sembari menahan rasa lapar. Esok harinya, suami istri ini menemui Rasulullah Saw. dan bercerita tentang apa yang mereka lakukan terhadap tamu Rasulullah Saw. Maka Rasulullah Saw bersabda : “Semalam, Allah Swt. terkagum-kagum atas perlakuan kamu berdua kepada tamuku”.

Teladan di atas menggambarkan bahwa di antara karakteristik orang-orang yang bertaqwa dan memiliki iman sempurna akan mampu menekan dan meminimalisir ego untuk kemudian menjadikan kebutuhan orang lain jauh lebih penting daripada kebutuhan pribadi.

Jangan lupa Like fanspage Facebook Sriwijaya Post di bawah ini:

Jujur dikatakan bahwa sikap dan sifat “taqdim al-ghair” mendahulukan kepentingan orang lain atas kepentingan pribadi sudah demikian langka dalam mu’amalah sosial. Sepertinya masing-masing merasa beruntung jika mampu mendahulukan kepentingan dan kebutuhan pribadi dari pada kebutuhan dan kepentingan orang lain. Bahagia dan bangga luar biasa ketika mampu memperjuangkan hak pribadi dan mengalahkan banyak hak orang lain meski bisa jadi dengan cara yang licik dan menzhalimi.

Lihat saja prilaku sosial saat berada di jalan raya, masing-masing berusaha melaju lebih cepat walau harus mengambil alur jalan orang lain. Begitupun di berbagai fasilitas umum, seperti bandara, terminal atau tempat rekreasi dan lain sebagainya, sudah jarang orang bersedia memberikan tempat duduknya kepada orang lain, bahkan terhadap orang yang lebih tua sekalipun.

Pada skala yang lebih besar, seperti dunia kerja, politik, ekonomi atau aspek lainnya begitu nyata bahwa kepentingan pribadi atau kelompok jauh lebih diutamakan daripada orang lain. Ironisnya lagi, ada orang yang diberi amanah mengurus umat tapi justru berusaha meraup sebanyak mungkin keuntungan pribadi dan melupakan kepentingan masyarakat dan tanggung-jawabnya.

Di sinilah kesadaran al-itsar menjadi sangat penting ditanamkan dan harus menghiasi karakteristik pribadi beriman. Masing-masing harus mampu menguasai ego dan berupaya peduli terhadap kepentingan dan hak orang lain. Dengan begitu akan terbagun al-ukhuwah yang melahirkan kekuatan besar seperti yang terjadi pada generasi awal Islam, para sahabat yang mulia. Wallahu a’lam.***

Update COVID-19 20 Oktober 2022.
Update COVID-19 20 Oktober 2022. (https://covid19.go.id/)
Sumber: Sriwijaya Post
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved