Mimbar Jumat
Merencanakan Kematian Yang Indah
Meskipun Allah Maha Kuasa dan Maha Berkehendak, namun Allah tidak sewenang-wenang dalam mewujudkan kehendak-Nya,
Saat menjelang kematian merupakan kondisi yang sangat rawan. Kala itu setan berupaya sangat gigih untuk menjerumuskan manusia ke jalannya. Setan sadar jika menjelang kematian adalah kesempatan terakhir. Di saat yang sama secara umum manusia berada dalam kondisi yang sangat lemah. Kondisi sakit dan tua yang melemahkan jiwa dan raga, atau disebabkan urusan dunia yang meresahkan hati dan pikiran.
Ibnu al-Qayyim mengatakan bahwa jika seorang hamba dalam kondisi segar pikiran, kuat fisik dan sempurna ingatan bisa dikuasai oleh setan lalu bagaimana jika dalam keadaan yang begitu lemah baik fisik, hati maupun pikiran. Sementara setan datang saat menjelang kematian dengan mengumpulkan dan mengerahkan seluruh kekuatan agar bisa menundukkan manusia. Dalam kondisi seperti itu setan amat kuat dan manusia sangat lemah (al-Daa’ wa al-Dawaa’,143). Apabila membaca hadis dan melihat kondisi lemah manusia menjelang kematian maka dapat dikatakan bahwa kalimat laa Ilaha illa Allah hanya bisa diucapkan oleh orang yang selama hidupnya membiasakan diri menyebut kalimat tersebut.
Kematian yang indah tidak mudah didapatkan oleh siapapun. Tidak cukup dengan satu atau dua hari saja, tetapi sepanjang usia memperjuangkannya. Tidak seorang pun dapat memastikan cara kematian. Namun semua orang bisa mengupayakannya. Ali al-Qari berkata, seseorang senantiasa dalam ketaatan dan taubat saat ajal menjemputnya hingga akhirnya wafat dalam keadaan husnul-khatimah (Mirqatul Mafatih, 3310).
Jangan lupa subscribe, like dan share channel TikTok Sriwijayapost di bawah ini:

Sebuah karunia besar jika pada saat menjelang ajal manusia bisa tetap teguh dalam amal shalih. Rasulullah bersabda bahwa jika Allah menghendaki kebaikan kepada hamba-Nya, maka Allah mensucikanya. Para Sahabat bertanya, bagaimana cara Allah mensucikannnya? Nabi menjawab tandanya adalah orang tersebut Allah beri ilham untuk beramal shalih lalu diwafatkan-Nya di atas amal shalih yang dilakukannya (H.R. al-Thabrani).
Dalam menghadapi kematian perlu persiapan dan latihan. Apabila kematian diibaratkan seorang musuh, maka perlu melatih diri agar bisa mengalahkannya. Orang yang paling cerdas sesungguhnya adalah yang banyak mengingat kematian dan mempersiapkan diri untuk menghadapinya. Kembali dengan membawa kemuliaan dunia sekaligus kehormatan akhirat (H.R. Ibn Majah). Membangun harapan agar dapat meraih kematian yang indah, kemudian melakukan kebiasaan yang baik, sehingga ketika kematian tiba, kebiasaan itu akan datang menolong. Di antara kebiasaan yang baik adalah memperbanyak shalawat, istighfar, tasbih, takbir, tahmid dan ayat-ayat al-Qur’an dalam segala aktifitas, maka kebiasaan itu yang akan memberikan pertolongan.
Setiap manusia seharusnya mengisi waktunya dengan selalu bertaubat. Hal ini disebabkan karena manusia adalah tempat dosa dan kesalahan. Rasulullah saja yang sudah mendapat jaminan ampun dari Allah setidaknya bertaubat seratus kali dalam satu hari (H.R. Muslim, 4809).
Begitu juga dengan para sahabat yang telah ditetapkan sebagai generasi muslim terbaik sepanjang zaman, sangat takut jika melakukan perkara yang tidak diridhai Allah dan Rasul-Nya. Kemurkaan Allah dan Rasul adalah akibat maksiat yang dilakukan oleh seorang manusia. Ia akan dicatat sebagai dosa yang menjadi sumber keburukan. Akan tetapi bertaubat sebelum ajal menjemput, dapat membuka kembali pintu ampunan serta keridhaan Allah dan Rasulullah.
Jangan lupa Like fanspage Facebook Sriwijaya Post di bawah ini:

Selain dari memiliki kebiasaan yang baik dan memperbanyak taubat, persiapan menuju kematian yang indah adalah tidak memandang ringan dosa yang dianggap kecil sekalipun. Hakikat dosa adalah maksiat. Tidak menganggap mudah perilaku maksiat apalagi menilainya sebagai sesuatu yang lumrah.
Anas bin Malik pernah berkata bahwa sesungguhnya kalian mengerjakan suatu dosa yang kalian anggap lebih ringan daripada sehelai rambut, padahal dahulu kami dan para sahabat menganggapnya sebagai sesuatu yang membinasakan (Mawaidz al-Shahabah,105).
Hal ini bermakna jika keshalihan seseorang akan berbanding lurus dengan pandangannya terhadap dosa dan akibat yang ditimbulkannya. Semakin shalih seseoang maka semakin giat dalam bertaubat. Mereka menangis dan merasa bersalah oleh perkara yang boleh jadi dianggap sepele oleh kebanyakan manusia. Kemaksiatan terbesar dari seorang hamba adalah kesyirikan. Kerusakan hati yang menggerogoti amalan. Mereka menyangka amalannya telah banyak namun sayangnya amalannya hanyalah riya’ demi mengharap pujian dari selain-Nya yang tidak ada nilainya di hadapan Tuhan.
Banyak kisah di lingkungan sekitar tentang beragam cara orang meninggal yang bisa dijadikan pelajaran. Di antaranya adalah seorang penjinak ular meninggal akibat dipatuk ular, begitu juga seorang qari berasal dari Mesir meninggal ketika sedang membaca al-Quran atau yang belum lama terjadi seorang guru ngaji meninggal saat membaca doa di pengajian yang ia pimpin.
Hal terpenting yang harus mendapat perhatian yaitu kesiapan untuk menyambut kedatangan tamu yang tidak terduga namun kedatangannya sudah bisa dipastikan. Perlu kesiapan yang matang, latihan dan pembiasaan. Karena tamu tersebut sangat istimewa, mengerti kondisi, mengetahui dan menyesuaikan kedatangannya dengan kebiasaan dan hasil latihan seseorang.
Tidak salah untuk berdoa sebagaimana yang diucapkan oleh Nabi Yusuf “Ya Tuhanku, Pencipta langit dan bumi, Engkaulah Pelindungku di dunia dan di akhirat, wafatkanlah aku dalam keadaan Islam dan gabungkanlah aku dengan orang-orang yang saleh" (Q.S.12,101). “Demikianlah Allah memberi balasan kepada orang-orang yang bertakwa. Yaitu orang-orang yang diwafatkan dalam keadaan baik, para malaikat (datang) dengan mengatakan kepada mereka Salaamun 'alaikum, masuklah kamu ke dalam surga itu disebabkan apa yang telah kamu kerjakan." (Q.S.16, 31-32).***
