Mimbar Jumat
Jalan Raya, Ego dan Kesempurnaan Iman
Tidak ada batasan dalam mencintai & menyayangi. Jangankan sesama manusia, terhadap hewan dan tetumbuhan-pun seorang muslim harus bersikap kasih sayang
Ketiga, misi utama Islam dan penganutnya adalah menjadi sumber cinta kasih bagi seluruh penghuni alam (Qs. al-Anbiya’ : 107). Menurut Ath-Thabari, sasaran kasih sayang seorang muslim itu lintas agama dan lintas tuhan. Artinya, tidak ada batasan dalam mencintai dan menyayangi. Jangankan sesama manusia, terhadap hewan dan tetumbuhan-pun seorang muslim harus bersikap kasih sayang.
Jangan lupa subscribe, like dan share channel TikTok Sriwijayapost di bawah ini:

Saking besarnya kasih sayang Nabi Saw., setiap hewan peliharaan dan benda-benda yang beliau miliki masing-masing diberi nama-nama yang indah. Demikian diungkapkan dalam banyak hadits. Jika begitu halnya, maka setiap sisi kehidupan muslim harus mengedepan rasa cinta kasih kepada sesama, tak terkecuali pada saat mengendara di jalan raya.
Selanjutnya, keempat, Nabi Saw. pernah bersabda bahwa “barangsiapa yang memuluskan urusan saudaranya, Allah Swt. akan memuluskan semua urusannya”. Tak ada kebaikan yang sia-sia di sisi Tuhan, sekecil apapun. Jika bukan dia yang membalas kebaikan, maka Tuhan akan mengutus orang lain untuk mendatangkan kebaikan dan kebahagiaan, walau mungkin dalam wujud yang berbeda.
Tidak ada ruginya membiarkan orang lain melajukan kendaraannya dengan lancar dan aman. Suatu saat orang lainpun akan memperlakukan kita dengan cara yang sama atau bahkan mungkin lebih baik. Persilahkan kendaraan lain mendahului, berikan jalan yang lebar dan lupakan sesaat “keakuan” kita, siapa tau ia sedang didesak suatu masalah, sehingga harus segera sampai pada tujuannya.
Terakhir, prinsip dasar kehidupan sosial Islam adalah taqdim al-ghair atau dalam literatur agama lebih populer disebut “al-itsar”, yakni mendahulukan kepentingan orang lain di atas kepentingan diri sendiri. Al-itsar adalah akhlak mulia yang telah dicontohkan oleh Nabi Saw. dan para shahabat.
Pernah suatu ketika seorang badui miskin datang kepada Nabi Saw. untuk meminta sedekah. Namun beliau tidak memiliki apapun yang dapat diberikan. Lalu ada seorang shahabat menawarkan diri untuk menjamu budui tersebut. Ketika sampai di rumahnya, ia minta kepada istrinya untuk menghidangkan makanan yang ternyata hanya cukup untuk jatah makan malam anaknya. Resikonya, seisi rumah akan kelaparan pada malam itu. Apa yang mereka lakukan?.
Jangan lupa Like fanspage Facebook Sriwijaya Post di bawah ini:

Setelah makanan terhidang, anaknya ditidurkan dan lampu dipadamkan. Dalam kegelapan suami istri ini menggerak-gerakkan mulutnya di depan si badui, agar dikira ikut sama-sama menikmati hidangan yang sebenarnya hanya cukup untuk satu orang. Subhanallah.
Keesokan harinya, sepasang shahabat yang mulia ini menemui Nabi Saw. dan menceritakan perihal ‘tipu kebaikan’ yang telah mereka lakukan. Beliau tersenyum bangga, lalu berujar : “Allah Swt. terkagum-kagum atas apa yang kalian berdua lakukan”. Menurut Imam al-Bukhari, peristiwa ini menjadi sebab turun Qs. al-Hasyr : 9 “mereka lebih mengutamakan kepentingan orang lain di atas kepentingan mereka sendiri, meskipun dalam keadaan kesusahan”.
Hal apa yang mendorong mereka begitu kuat untuk lebih mengutamakan kepentingan orang lain daripada kepentingan pribadi. Inilah kekuatan iman yang bila telah mencapai puncaknya akan terefleksi dalam wujud cinta kasih kepada sesama. Ia akan merasakan kepentingan orang lain seakan-akan kepentingan dirinya sendiri. Kondisi ini pula yang pernah disinyalir Nabi Saw. “tidak beriman seorang di antara kamu, hingga [mampu] mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri”. Artinya, dalam kehidupan sosial seorang muslim, nilai-nilai iman dipertaruhkan. Kecintaan kepada sesama menjadi acuan standar kesempurnaan iman.
Lalu mengapa masih banyak di antara kita yang tetap mempertahankan egoismenya serta begitu sulit memberikan kebahagiaan dan kesenangan kepada orang lain?. Mungkin inilah saatnya keimanan masing-masing kita harus dire-evaluasi. Jangan-jangan kita termasuk dari apa yang dimaksud Nabi Saw., bahwa iman kita belum sempurna. Ketika di jalanan, potret diri kita tergambar, maka berhati-hatilah dan jangan egois. Wallahu a’lam !
