Mimbar Jumat

Teologi Keadilan. Membebaskan Masyarakat Dari Belenggu Kecurangan

Beberapa kasus yang melibatkan para pejabat yang viral akhir-akhir ini dianggap sebagai fenomena gunung es yang hanya sedikit muncul di permukaan,

Editor: Bejoroy
SRIPOKU.COM/Istimewa
DR Abdurrahmansyah MAg Ketua Prodi Studi Islam Pascasarjana UIN Raden Fatah. 

Hujjatul Islam, Imam al-Ghazali dalam kitab Tibr Masbuk fi Nashihat al-Muluk, menjelaskan beberapa akar yang dapat menumbuhkan sikap ‘adil pada diri pemimpin, di antaranya adalah tidak sombong, suka mendengar kritik dan nasehat, tidak kompromi dengan kejahatan, berempati dan simpati pada bawahan dan orang tertindas, berpola hidup sederhana, bersikap lemah lembut, dan selalu bersikap jujur.

Dalam perspektif manajemen kepemimpinan Islam, seorang pemimpin harus bisa bersikap adil, jujur, tidak semena-mena, serta tidak boleh mencelakai rakyat dan bangsanya. Sebab jika tidak, sistem apapun yang kawal oleh pemimpin yang tidak ‘adil pasti akan penuh dengan perilaku kecurangan dan senantiasa melakukan penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power).

Jangan lupa subscribe, like dan share channel TikTok Sriwijayapost di bawah ini:

Logo TikTok Sripoku.com

Dasar teologis mengenai pentingnya keadilan dalam sistem manajemen publik dapat ditemukan pada QS. asy-Syura: 42, ”Sesungguhnya, dosa itu atas orang-orang yang berbuat zalim kepada manusia dan melampaui batas di muka bumi tanpa hak. Mereka itu mendapat azab yang pedih”. Bahkan Nabi Muhammad pernah menegaskan bahwa “Barang siapa yang menipu, bukanlah dia dari golongan kami” (HR. Muslim). Penegasan Nabi Muhammad untuk memotong tangan anaknya, jika saja Fathimah binti Muhammad mencuri sungguh sebuah pernyataan komitmen agung untuk menegakkan keadilan dan menghukum siapa saja yang bersalah.

Keadilan itu tidak pandang bulu. Seorang pemimpin harus bersedia bertanggungjawab jika pihaknya sendiri melanggar hukum. Sikap ego sektarian, primordial, kesukuan, dan komitmen buta terhadap kelompoknya sendiri justru merupakan sikap yang sangat jauh dari nilai-nilai keadilan.

Sebaliknya, sikap mengayomi semua kelompok, professional, dan selalu berpihak pada kepentingan orang banyak akan mendekatkan pemimpin kepada semangat keadilan. Fenomena menutupi kesalahan satu kelompok dengan kebohongan dan membuat skenario dusta merupakan sikap kontra keadilan dan akan semakin cepat mengundang malapetaka.

Di usia kemerdekaan Republik Indonesia yang ke-77 ini, seharusnya menjadi momentum bagi segenap penyelenggara negara dari tingkat yang paling tinggi sampai tingkat yang paling rendah untuk menyadari betapa sangat pentingnya nilai-nilai keadilan dan kejujuran sebagai landasan dalam menjalankan tugas sebagai pelayan rakyat.

Jangan lupa Like fanspage Facebook Sriwijaya Post di bawah ini:

Buanglah jauh-jauh sikap primordial, ashabiyah kelompok sempit, dan egoisme organisasi yang akan membelenggu semangat pelayanan publik yang lebih ‘adil, professional, dan beretika. Sudah lebih setengah abad negeri ini, bebas dari belenggu kolonialisme dan penjajahan bangsa asing, namun spirit kebebasan dan kemerdekaan itu harus diejawantahkan dalam konteks kekinian dalam bentuk membebaskan masyarakat Indonesia dari belenggu kecurangan dan ketidakjujuran yang dilakukan oleh anak-anak bangsa sendiri.

Potret buram penegakan hukum, karut marut kebijakan pendidikan, akses ekonomi yang belum merata, kepentingan korporasi yang merusak lingkungan hidup, kebijakan kesehatan publik yang masih timpang, dan fenomena maraknya perilaku koruptif yang melibatkan pejabat di hampir semua sektor baik daerah maupun di pusat, merupakan problem kebangsaan serius yang menuntut diselesaikan secara berkeadilan.

Sungguh amat sulit membangun sebuah sistem yang berkeadilan, jika tidak melibatkan dukungan seluruh komponen bangsa. Sistem kontrol sosial harus dibangun dengan efektif, disertai komitmen kuat para penyelenggara negara untuk selalu mendengar dan melihat realitas yang terjadi di masyarakat.

Pastikan seluruh warga negara mendapatkan keadilan politik, keadilan ekonomi, keadilan hukum, keadilan pendidikan, dan keadilan sosial, maka pada saat itulah sesungguhnya masyarakat telah mendapatkan hakikat kemerdekaannya.

Sebaliknya, selama masyarakat masih merasakan ketidakadilan pada berbagai aspek kehidupannya, maka pada dasarnya negeri ini masih belum benar-benar merdeka secara lahir dan batin. Wallahu a’lam bi ash-Shawwab.***

(https://covid19.go.id/)
Sumber: Sriwijaya Post
Halaman 2 dari 2
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved