Mimbar Jumat
Pesantren: Bullying dan Asusila?
Menurut Abdul Fattah Jalal, tujuan umum pendidikan Islam adalah terwujudnya manusia sebagai hamba Allah. (Tafsir, 2005).
Menurut Retno, pihak mereka tidak bisa melakukan apa-apa karena tidak ada regulasi yang mendukung mereka untuk memproses masalah tersebut. Bahkan akses masuk ke pondok pesantren untuk penanganan pun mereka mengalami kesulitan.
Sebagaimana diketahui, bahwa masa remaja awal seorang anak bukan hanya mengalami ketidakstabilan perasaan dan emosi, dalam waktu bersamaan mereka mengalami masa krisis. Krisis dalam konteks ini ialah krisis moral, yang menjadi momok ketakutan terbesar bagi pendidik, oleh karena itu pendidik tidak hanya bertugas mengajar melainkan juga membimbing moral dan akhlak para santri di pesantren maupun lingkungan sekitar. Hal tersebut kerana, yang akan menentukan nasib bangsa ke depan adalah santri-santri yang ada di pesantren.
Dalam membina moral guru harus memiliki bermacam upaya dan strategi, untuk membentuk dan mengembangkan akhlak santri agar tidak terjadinya kasus bully, salah satunya memiliki pendekatan yang tepat untuk diterapkan di pesantren agar mampu membimbing akhlak santri sesuai yang diinginkan, guna menciptakan akhlak santri ke depan menjadi lebih baik.

Sumbere: https://covid19.go.id/
Pelaku bullying kemungkinan besar juga sebatas mengulangi apa yang pernah ia lihat dan yang ia alami sendiri. Ia menganiaya anak lain karena mungkin ia sendiri dianiaya orang tuanya di rumah. Ia juga mungkin pernah ditindas dan dianiaya anak lain yang Iebih kuat darinya di masa Ialu.
Perilaku bullying yang terjadi di lingkungan pesantren ialah meliputi kekerasan fisik, tetapi lebih sering berbentuk ejekan, pengucilan, pemalakan, dan juga memerintah secara paksa atas nama senioritas. Hal tersebut mungkin terjadi akibat santri yang berasal dari daerah yang memiliki adat dan budaya yang berbeda. Selain itu kurangnya pengawasan dari pengurus dan wali asuh serta banyaknya peraturan yang harus dipatuhi di pesantren juga menjadi salah satu sebab maraknya kasus bulliying yang terjadi di peantren.
Oleh sebab itu, nilai-nilai agama Islam harus digiatkan kembali dan ditanamkan kembali pada diri setiap santri. Beberapa penelitian juga menunjukkan bahwa korban bullying pada 4 tahun berikutnya berpotensi menjadi pelaku, sedangkan para pelaku bullying, mereka beresiko tinggi terlibat kenakalan dan masalah kriminal serius.
Tidak hanya sampai disitu, bullying juga meresahkan orang tua dan masyarakat, ketika terjadi di sekolah juga menyebabkan tingkat kepercayaan mereka pada institusi pendidikan menurun. Sejak tahun 1970-an, bullying telah dikenal sebagai penyakit sosial di beberapa Negara. Hal ini merupakan sebagian dampak dari beberapa penelitian yang secara sistematis telah dilakukan tahun 1970- dan dimulai dengan penelitian Olweus di Scandinavia (1978,1993), dan berlanjut di Eropa,
Amerika, Australia, dan Jepang. Di Jepang, kekerasan ini dikenal dengan dime, menyeruak pada tahun 1984 ditandai dengan 16 peristiwa bunuh diri yang terkait dengan bullying. Di Amerika Serikat, meskipun bullying sangat popular, namun tidak mendapatkan perhatian sebesar di Jepang, karena terkacaukan dengan beragam bentuk kekerasan lain di sekolah yang juga marak terjadi. Suatu penelitian yang dilakukan pada sejumlah 4092 siswa usia 10-12 tahun di 20 sekolah menengah pertama di Portugal memberikan gambaran bahwa resiko tinggi menjadi korban bullying mengarah pada laki-laki dari kelas sosial ekonomi bawah.
Sementara itu penelitian terhadap 238 siswa kelas tujuh Taiwan, bahwa Sebagian responden telah menjadi korban bullying sejak pertama kali masuk sekolah menengah pertama. Aksi verbal dan fisik merupakan tipe kekerasan yang paling sering ditemui. Penelitian dengan self and peer-report measure ini juga menunjukkan bahwa siswa laki-laki lebih banyak terlibat dalam kasus bullying fisik dan verbal daripada siswa perempuan.
Selain kasus bullying, kasus asusila juga marak terjadi akhir-akhir ini di tengah-tengah masyarakat kita, termasuk dunia pesantren. Tentu saja perbuatan yang dilakukan oleh beberapa oknum yang tidak bermoral itu telah mencoreng marwah pesantren secara umum sebagai institusi terdepan dalam mengawal pendidikan akhlak dan nilai-nilai keislaman,
Komisioner Komnas Perempuan, Siti Aminah Tardi mengatakan, pesantren menempati urutan kedua dalam hal kasus kekerasan seksual dalam periode 2015-2020. (Kompas.com). Dilihat dalam laporan Komnas Perempuan per 27 Oktober 2021, sepanjang 2015-2020 ada sebanyak 51 aduan kasus kekerasan seksual di lingkungan pendidikan yang diterima Komnas Perempuan.
Dalam laporan itu, Komnas Perempuan mengungkap, bahwa kasus kekerasan seksual paling banyak terjadi di universitas dengan angka 27 persen. Kemudian, 19 % terjadi di pesantren atau pendidikan berbasis agama Islam, 15 % terjadi ditingkat SMU/SMK, 7 % terjadi di tingkat SMP, dan 3 % masing-masing di TK, SD, SLB, dan pendidikan berbasis agama Kristen.
Jumlah tersebut adalah angka yang diadukan Ke Komnas Perempuan, karena banyak kasus kekerasan yang terjadi di lingkungan sekolah namun tidak dilaporkan. Masih segar dalam ingatan kita kasus seorang guru pesantren MH di Bandung, Jawa Barat yaitu Herry Wirawan (36) melakukan tindakan pemerkosaan pada 12 santriwati. Seorang oknum pengasuh pondok pesantren yang juga mantan anggota DPRD di Banyuwangi, Jawa Timur yang mencabuli lima santriwati dan menyodomi seorang santri. (TribunBatam.id). Parahnya lagi, ada oknum guru berinisial RO (31) tahun di salah satu pesantren di wilayah Kabupaten Mesuji melakukan hubungan sesama jenis terhadap murid laki-lakinya, dan beberapa kasus asusila lainnya.
Perilaku bullying dan Tindakan asusila yang akhir-akhir ini mencoreng nama baik Lembaga Pendidikan Pesantren hendaknya dapat dijadikan sebagai pelajaran berharga dari para kiai dan pimpinan pesantren tentang arti tanggung jawab terhadap amanah yang diemban; kepada Allah Swt., Orang tua, dan masyarakat secara luas. Wallahu ‘alam.***