Mimbar Jumat
Mewaspadai Konsep-konsep Modernisasi Agama
Dalam I’tiqad, menganut faham “Asy’ari, yaitu faham Ahlussunnah wal Jam’ah, bukan Mu’tazilah dan bukan Syi’ah.
Jangan lupa juga subscribe, like dan share channel Instagram Sriwijayapost di bawah ini:

Ibnu Taimiyah bernama Ahmad Taqiyuddin, Abdul Abbas bin Syihabuddin. Kemudian masyhur dengan nama Ibnu Taimiyah lahir di Desa Heran sebuah desa kecil di Palestina, tanggal 10 Rabi’ul Awal tahun 661 H. Sejak kecil belajar agama dengan bapaknya Syihabuddin seorang ulama yang bermadzhab Hamnbali, begitu juga bapak Syihabuddin (kakek Ibnu Taimiyah) Majduddin juga ulama besar penganut Madzhab Hanbali.
Ibnu Taimiyah kemudian menjadi ulama besar dalam Madzhab Hanbali, bukan saja dalam ilmu Fiqih, tetapi dalam Ushuluddin dan dalam ilmu Tauhid.
Sayangnya, ia kemudian terpengaruh dengan faham “musyabbihah dan mujassimah” yaitu faham sekelompok orang yang berpendapat Tuhan itu menyerupai manusia, pakai tangan, pakai kaki dan pakai muka.
Di dalam Fiqihpun, walaupun ia penganut Madzhab Hanbali, namun banyak fatwa-fatwanya bertentangan dengan Madzhab Hanbali yang murni. Ibnu TimiYah mengeluarkan fatwa sendiri , yang walaupun Ushul Fiqhnya menurut Hanbali karena dia tidak punya Ushul Fiqih sendiri, namun Fatwanya bebas dari garis Madzhab Hanbali. (DR. Muhammad Yusuf Musa, Ibnu taimiyah, hlm.168,-169-170).
Ibnu Batutah, seorang pengembara abad ke VII H. Dari Tanjah Tunisia dalam bukunya Rahlah Ibnu Batutah jilid I, hlm 57 seperti yang dikutip Sirajuddin Abbas di dalam buku 40 Masaalah Agama Jilid II.Hlm 219; Di kota Damsyik seorang ahli Fiqih yang besar dalam Madzhab Hanbali, namanya Taqiyuddin Ibnu taimiyah. Penduduk kota Damsyik menghormatinya. Pada suatu kali ketika ia mengajar, berdiri di atas mimbar masjid Damsyik, ia memberikan fatwa yang berbeda dengan ahli fiqih yang lain, sehingga ia diadukan kepada Raja Nashir yang berkedudukan di Kairo (Damsyik ketika itu di bawah kekuasaan Kairo. Dia di adili, Jaksa penuntut ketika itu bernama Syarafuddin Zawawi seorang ahli hukum dalam Madzhab Hambali juga. Setelah ditahan beberapa lama di penjara Kairo, ibunya memohon kepada Raja Nashir agar anaknya di bebaskan. Raja Nashir memperkenankannya dan Ibnu Taimiyah dibebskan dan pulang lke Damsyik.
Jangan lupa subscribe, like dan share channel TikTok Sriwijayapost di bawah ini:

Pada hari Jum’at di atas mimbar Masjid Damsyik, Ibnu Taimiyah berpidato, diantara yang diucapkannya adalah, bahwa Tuhan Allah turun ke langit dunia tiap-tiap malam, seperti turunnya saya ini, lalu ia turun dari mimbar.
Ketika itu hadir seorang ulama Madzhab lain, namanya Ibnu Zahra’, mendebat Ibnu Taimiyah karena Ibnu Taimiyah menyerupakan Tuhan dengan dirinya, tapi beberapa murid Ibnu Taimiyah memukul Ibnu Zahra’ dan membawanya kepada qadhi Izzuddin bin Muslim bermadzhab Hambali (sama Madzhab dengan Ibnu Taimiyah).
Qadhi Izzuddin menghukum Ibnu Zahra’ beberapa hari dalam penjara tetapi ahli Fiqih yang lain yang bermadzhab Syafi’i dan Maliki, melakukan protes keputusan Qadhi Izzuddin ini dan mengajukan perkaranya kepada Raja Besar (Malikul Muluk) bernama Saifuddin Tankiz.S Raja ini orang baik menurut Ibnu Batutah, Ia memerintahkan kepada Raja Nashir di Kairo supaya Ibnu Taimiyah dibawa ke Pengadilan tinggi, karena fatwa Ibnu Taimiyah dalam agama banyak yang salah. Di antara fatwa yang salah itu menurut Ibnu Batutah ialah bahwa thalaq tiga yang dijatuhkan sekaligus jatuh satu, berziarah ke Madinah ke makam Rasulullah adalah ma’siyat (munkar) dan lain-lain.
Pengadilan Tinggi memutuskan bahwa Ibnu Taimiyah melakukan banyak kesalahan dalam fatwanya, dalam Fiqih maupun dalam ushuluddin, dan ia di hukum penjara dalam benteng Damsyik. Ia di tahan dan wafat di dalam penjara benteng Damsyik tanggal 27 Syawal tahun 728 H.
Ini sejarah ringkas Ibnu Taimiyah yang dikatakan orang pemimpin gerakan modernisasi agama Islam dan penganut faham salaf atau pemimpin gerakan salaf.
Jangan lupa Like fanspage Facebook Sriwijaya Post di bawah ini:

Konsepsinya dalam modernisasi agama dalam fahamnya diantaranya sebagai berikut;
a. Dalam Ushuluddin
1. Tuhan bersela di atas ‘Arasy, serupa dengan duduk berselanya Ibnu Taimiyah.
2. Tuhan sama besarnya dengan ‘Arasy.
3. Tuhan turun setiap akhir malam ke langit dunia serupa turunnya Ibnu Taimiyah dari mimbar.
4. Tuhan bersabda di jihat atas, boleh ditunjuk dengan telunjuk ke atas.
5. Tuhan bertubuh, berjihat dan pindah-pindah.
6. Tuhan bicara dengan huruf dan suara.
7. Sifat Tuhan hadits (baru) dan yang hadits itu melekat pada Zat Tuhan yang qadim.
8. Quran itu baru (hadits) bukan qadim.
9. Nabi-Nabi tidak ma’shum.
10. Bepergian ke makam-makam, seumpama makam Nabi di Madinah, Makam Ibrahim di mesjid Rhanl, makam wali dan ulama adalah pekerjaan ma’shiyat (munkar).
11. Mendo’a dengan bertawassul syirik.
12. Istighatsah dengan Nabi syirik.
13. Neraka akan lenyap bukan kekal.
14. Mengingkari ijma’ tidak kafir.

Sumbere: https://covid19.go.id/
b. Dalam Fiqih
1. Thalaq tiga sekaligus jatuh satu.
2.Thalaq ketika isteri berkain kotor (haidl) tidak jatuh.
3. Sembahyang yang ditinggalkan dengan sengaja tidak diqadha.
4.Orang junub boleh sembahyang sunat malam tanpa mandi lebih dahulu.
5. Bersumpah dengan thalaq, tidak jatuh ketika sumpah itu di langgar, tetapi wajib dibayar kafarat saja.
6. Orang yang tidak sembahyang tidak boleh diberi zakat.
7. Boleh qashar sembahyang dalam perjalanan, walaupun perjalanan itu pendek.
8. Boleh bertayammum walaupun ada air untuk sembahyang, kalau dihawatirkan akan habis waktu kalau berwudhu’.
9. Syarat si Wakif tak diperdulikan
Di luar rumah boleh tayammum saja.
10. Thalaq di waktu suci yang disetubuhi tidak jatuh.
11. Wanita yang tidak bisa mandi di rumah dan sulit pergi mandi ke kolam di luar rumah bolh tayammum saja.
12. Air yang sedikit (kurang dua kulah) tidak akan menjadi najis oleh kemasukan najis, kecuali kalau ada perobahannya.
c. Dalam Tasauf
1. Tasauf dan amal orang tasauf seumpama tharikat-tharikat harus dibuang jauh-jauh.
2. Ulama-ulama tasauf dikecam habis-habisan.
Demikian konsepsi Ibnu Taimiyah dalam modernisasi agama yang dikutip oleh Sirajuddin Abbas dari bermacam-macam literatur diantaranya buku karangan DR. Muhammad Yusuf Musa berjudul “Ibnu Taimiyah”. (*)