Kontestasi Pilgub Dalam Perspektif Komunikasi Lintas Budaya
PELAKSANAAN Pilkada serentak, termasuk Pilkada Gubernur Sumatera Selatan (Pilgub Sumsel) tahun 2024 sudah ada titik terang.
Oleh Fatkurohman, S Sos
Pemerhati Politik dan Opini Publik Rumah Citra Indonesia (RCI)
PELAKSANAAN Pilkada serentak, termasuk Pilkada Gubernur Sumatera Selatan (Pilgub Sumsel) tahun 2024 sudah ada titik terang. Komisi II DPR RI dan Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah menyepakati dan telah ditetapkan pada November 2024 akan datang. Dengan keputusan ini, sudah bisa menjadi acuan bagi stekholder terkait untuk mempersiapkan dalam rangka menghadapi Pilkada 2024, termasuk di Sumatera Selatan.
Salah satu elemen penting dalam pemilu yakni daftar pemilih. Lalu seperti apa gambaran daftar pemilih di Sumatera Selatan berdasarkan data terbaru. Berdasarkan data terbaru yang dihimpun dari KPU Sumatera Selatan, pemilih di Sumsel berdasarkan rekapitulasi Pemutakhiran Data Pemilih Berkelanjutan (PDPB) terbaru, total sebanyak 5.904.114 pemilih. Dari jumlah tersebut, pemilih laki-laki sebanyak 2.981.690 atau sekitar 50,50 persen.
Sementara pemilih perempuan sebanyak 2.922.424 atau 49.50 persen. Dari jumlah tersebut, 50 % lebih pemilih terdapat di 5 daerah dari 17 Kabupaten Kota di Sumsel yakni Palembang, Banyuasin, Ogan Komering Ilir, OKU Timur dan Musi Banyuasin.
Dalam perspektif Pilkada Gubernur, ada beberapa suku budaya yang mendominasi dan mempengaruhi politik Sumsel. Sebut saja suku Musi, Komering, Palembang, Besemah, Ogan dan Jawa. Sejak era demokrasi pilkada Gubernur Sumsel secara langsung pertama kali pada tahun 2008, Gubernur dan Wakil Gubernur terpilih selalu mempresentasikan dari suku-suku tersebut. Misalkan Alex Noerdin dari Musi-Besemah, Eddy Yusuf (Komering), Ishak Mekki (Ogan), Herman Deru (Komering), Mawardi Yahya (Ogan).
Jangan lupa subscribe, like dan share channel Youtube Sripokutv di bawah ini:

Ke depan gimik-gimik budaya dalam politik diprediksi masih akan kental, mengingat demokrasi rasional saat ini belum menjadi tradisi. Artinya dalam upaya memenangkan kontestasi Gubernur Sumsel masih sangat membutuhkan komunikasi lintas budaya, karena tidak ada suku yang dominan. Dengan komunikasi lintas budaya ini terdapat pertukaran makna berdasarkan pikiran yang disepakati bersama untuk mewujudkan visi dan persepsi bersama yakni memenangkan kontestasi politik Pemilihan Gubernur.
Dari berbagai analisis, tokoh-tokoh yang berpotensi bakal tampil ke depan pada pemilhan gubernur diprediksi masih berasal dari suku dan wilayah yang dominan dari sisi jumlah pemilih. Sebut saja Herman Deru dari Nasdem (Komering dengan basis OKU Timur DPT terbesar ke-4), Eddy Santana Putra dari Gerindra (Palembang Komering dengan basis Kota Palembang DPT terbesar ke-1), klan Kahar Muzakir dari Golkar (Musi-Ogan DPT terbesar ke-5), Iskandar dari PAN (Ogan dengan basis OKI DPT terbesar ke-3), Heri Amalindo (Musi dengan basis Muba-PALI) dan klan Mawardi Yahya (Ogan). Sementara dari Jawa yang jumlahnya cukup dominan belum ada tokoh yang muncul dan diunggulkan sehingga seringkali jadi penentu. Apalagi Pemilih Jawa dikenal dengan sangat kompak dan loyal.
Morgan (1986) menjelaskan pendekatan budaya mengarahkan kita untuk memahami sebuah organisasi sebagai sesuatu yang dikonstruksi berdasarkan pikiran dan jiwa para anggotanya dan aturan yang disepakati bersama. Dalam budaya dimana terjadi proses pertukaran makna, mengandung muatan emosi dimana terjadi melalui komunikasi baik verbal maupun non verbal (Hogan, 2000).
Jangan lupa juga subscribe, like dan share channel Instagram Sriwijayapost di bawah ini:

Bahasa Politik
Dalam politik melakukan komunikasi tidak hanya untuk berbincang-bincang, tetapi ia harus mencari kata-kata yang representatif, menyusun kalimat, mengeluarkan suara dengan nada tertentu dan berperilaku dengan cara yang sesuai dengan situasi sosial.
Nilai kepatuhan, kesetiaan, atau kerja keras terhadap organisasi atau kelompok lebih disebabkan oleh kebutuhan emosional daripada pertimbangan rasional. Keberadaan dari setiap individu berkaitan dengan aspek-aspek empiris tertentu, sehingga makna diperoleh dari kajian interpretatif untuk mencari makna (meaning) bersama (Kurniawaty, 2019). Artinya bahasa politik yang gunakan tokoh atau kandidat dalam berkomunikasi merepresentasikan dan mampu dimaknai sesuai dengan realitas sosial kelompok tersebut baik secara perilaku dan suara sehingga mampu dimaknai bersama dan diterima oleh kelompok tersebut.
Secara mendalam Blumer menggambarkan tentang makna sebagai dasar manusia bertindak muncul dari 3 premis dasar yaitu : (1) Manusia bertindak terhadap sesuatu berdasarkan makna yang ada pada sesuatu tersebut; (2) Makna itu diperoleh dari hasil interaksi sosial yang dilakukan dengan orang lain; (3) Makna tersebut diciptakan, dipertahankan, diubah, dan disempurnakan melalui proses penafsiran ketika berhubungan dengan sesuatu yang dihadapinya.
Dalam politik, Graber menegaskan bahwa sebagian besar aktivitas politik adalah permainan kata-kata. Politisi berhasil meraih kekuasaan karena keberhasilannya berbicara atau komunikasi secara persuasif kepada para pemilih dan kepada elit politik. Manusia berkomunikasi sangat ditentukan oleh budayanya. Dalam konteks ini, proses komunikasi bukan hanya menyampaikan informasi, tatapi juga merepresentasikan keyakinan- keyakinan bersama (Carey, 1989:18).
Sumatera Selatan dengan tidak ada suku yang dominan maka harus bahasa komunikasi politik yang bisa dimaknai bersama atau diyakini bersama. Dan yang paling efektif komunikasi dengan bahasa yang dipahami secara budaya oleh kelompok masyarakat tersebut.
Misalkan komunikasi dengan masyarakat Musi maka akan lebih efektif menggunakan bahasa yang bisa dimaknai secara budaya oleh masyarakat Musi. Maka tokoh politik yang mampu menguasai multi bahasa dalam kultur budaya berbeda akan memiliki keunggulan dalam komunikasi politik yang berdampak positif pada persepsi pemilih.
Jangan lupa subscribe, like dan share channel TikTok Sriwijayapost di bawah ini:

Misalkan Gubernur Sumsel Herman Deru dari Komering mampu menguasai bahasa Jawa secara fasih maka dia akan mudah memainkan komunikasi politik dengan mudah pada basis pemilih Jawa melalui bahasa. Tokoh atau kandidat yang lain pada Pilgub Sumsel 2024 jika ingin lebih efektif secara emosional juga harus mampu menguasai bahasa politik multi kultural.
Jika prediksi ini benar dengan mengeloborasi data pemilih dan fakta tokoh potensial maka kedepan Calon Gubernur Sumsel akan didominasi oleh kandidat dari latarbelakang Komering dan Ogan.
Artinya tantangan kandidat kedepan bagaimana mempengaruhi pemilih diluar Komering dan Ogan seperti Musi, Besemah, Jawa dan Palembang. Bahasa adalah alat komunikasi paling mudah untuk dimaknai dari kandidat melalui bahasa bagaimana mempengaruhi pemilih di luar Komering dan Ogan.
Simbol
Komunikasi lintas budaya sebagai proses perubahan mencari dan menemukan makna antar manusia yang berbeda budaya diperlukan cara komunikasi yang tepat. Komunikasi lintas budaya adalah terjadinya pengiriman pesan dari seseorang yang berasal dari satu budaya yang berbeda dengan pihak penerima pesan. Atau dengan kata lain, komunikasi lintas budaya ini memberi penekanan pada aspek perbedaan kebudayaan selain faktor lain yang kompleks.
Komunikasi massa tidak hanya langsung dimediasi oleh teknologi yang ditujukan langsung kepada public audience yang terpisah secara ruang. Karena perlu didalami kembali tipe komunikasi yang ada, siapa kami?, siapa penerima pesan?, apa konteks komunikasinya?, bagaimana seharusnya kita merespon dan bertindak?, dengan norma atau nilai yang mana? (Mirela dan Pastae, 2017 dalam Kurniawaty). Dalam konteks ini, pesan yang disampaikan harus disesuaikan dengan norma dan nilai.
Oleh karena simbol-simbol kultur budaya seringkali dijadikan alat komunikasi politik. Simbol tanjak, simbol blangkon yang digunakan tokoh politik atau kandidat adalah sebagai upaya Komunikasi simbol dalam politik untuk mempengaruhinya persepsi politik dalam kelompok budaya tersebut.
Jangan lupa Like fanspage Facebook Sriwijaya Post di bawah ini:

Lebih dari itu, ketika masalah-masalah komunikasi yang muncul, kebudayaan akan berfungsi sebagai salah satu rujukan untuk menemukan cara pemecahan masalah. Representasi budaya di dalam proses komunikasi politik tampak dalam bahasa politik (Political language) dan simbol budaya dalam berbagai tindakan politik (Nimmo dan Sanders, 1981: 195).
Untuk memahami perilaku individu dalam arena politik, simbol-simbol yang dipertukarkan serta makna-makna yang diciptakannya akan beranjak dari perspektif political symbolism (Abner Cohen dalam Karim Suryadi, 2004). Simbol-simbol budaya, seperti pakaian yang digunakan tokoh politik adalah sebagai sebuah proses simbolik komunikasi politik dimana sebuah realitas politik keberadaan multikultural diproses dan ditransformasikan untuk mendapatkan persepsi politik yang baik.
Dengan demikian dalam konteks Pilgub Sumsel penggunaan bahasa dan simbol dalam menerjemahkan program melalui komunikasi politik menjadi salah satu pilihan pada pilgub 2024 akan datang agar bisa diterima oleh masyarakat yang multikultur.
Sebagai penutup, pemakaian bahasa dan simbol akan mudah dimaknai dalam politik dengan melibatkan peran para tokoh dalam kelompok budaya tersebut. Pemilihan agen komunikasi yang tepat dalam masyarakat multikultural dalam menerjemahkan bahasa simbol dalam konteks Pilgub Sumsel sangat penting.
Pemilihan tokoh masyarakat yang tepat sebagai agen kampanye guna menerjemahkan makna dan simbol yang pakai oleh kandidat dalam mempengaruhi kelompok kultural tersebut ditujukan untuk mendapatkan persepsi yang sama terkait kandidat. Semakin banyak tokoh yang terlibat maka akan semakin mudah dalam menyamakan persepsi politik tentang kandidat guna mendapatkan popularitas dan elektabilitas. (*)
