DIJANJIKAN Jadi Polwan, 12 Santriwati Dirudapaksa di Hotel Oknum Guru Ngaji Bejat Selama 5 Tahun

Aksi Herry Wirawan, guru mengaji bejat itu, ternyata sudah berlangsung sejak tahun 2016 hingga 2021.

Editor: Wiedarto
Tribun Jabar/Sidqi Al Ghifari
Ketua P2TP2A Kabupaten Garut, Diah Kurniasari saat menggelar jumpa pers di Kantor Ketua P2TP2A Kabupaten Garut, Kamis (9/12/2021). 

Tak hanya itu, pelaku bahkan juga mengiming-imingi para korbannya beragam janji.

Herry, yang mengajar di beberapa pesantren dan pondok, mengiming-imingi korbannya menjadi polisi wanita.

Iming-iming tersebut tercantum juga dalam surat dakwaan dan diuraikan dalam poin-poin penjelasan korban.

"Terdakwa menjanjikan akan menjadikan korban polisi wanita," ujar jaksa dalam surat dakwaan yang diterima wartawan, Rabu.

Selain menjadi polisi wanita, pelaku menjanjikan kepada korbannya untuk menjadi pengurus pesantren.

Herry juga menjanjikan kepada korban akan dibiayai kuliah.

"Terdakwa menjanjikan anak akan dibiayai sampai kuliah," ujarnya.

5. Izin operasional pesantren dicabut

Kementerian Agama (Kemenag) Kota Bandung telah mengambil langkah strategis untuk menangani kasus rudapaksa yang terjadi di salah satu pondok pesantren di Kota Bandung.

Mulai dari permohonan pembekuan operasional lembaga sampai memastikan keberlansungan pendidikan para korban.

Saat ini, Kemenag RI telah mencabut izin pondok pesantren tersebut.

Kepala Kemenag Kota Bandung, Tedi Ahmad Junaedi menuturkan, sejak kasus ini terkuak Juni lalu, pihaknya langsung berkoordinasi dengan Kantor Wilayah Kemenag Jawa Barat untuk meninjau ulang operasional lembaga pendidikan tempat HW alias Herry Wirawan, guru rudapaksa santri tersebut mengajar.

"Saat ini sedang proses pencabutan izinnya. Karena yang berwenang mencabut izin yaitu Kemenag RI," ujar Tedi, Kamis (9/12/2021).

Tedi menuturkan, Pendidikan Kesetaraan Pondok Pesantren Salafiyah (PKPPS) yang diselenggarakan oleh yayasan pondok pesantren tersebut hanya mendapatkan izin untuk di Antapani.

Sedangkan pesantren yang berlokasi di Cibiru berdiri tanpa izin Kemenag.

"Ketika lokasinya berbeda harus ada izin terpisah, yaitu izin cabang. Pelaku belum urus izin cabang di Cibiru, yang katanya boarding school. Sebelumnya kita tidak mengetahui pendirian cabang di Cibiru," ujarnya.

Selain mengajukan pembekuan lembaga, Tedi juga langsung bergerak cepat menangani keberlanjutan proses pendidikan para santriwati yang terdata di lembaga tersebut. Tujuannya agar bisa segera memindahkan ke lembaga pendidikan lain.

Kendati dari perkembangan kasus yang menjadi korban sebanyak 12 orang, namun Tedi memilih seluruh santriwati yang ada di lembaga pendidikan tersebut untuk dipindahkan.

Total sebanyak 35 orang santriwati yang terdaftar, semuanya difasilitasi.

"Kita rapat dengan provinsi dan seluruh pokja PKPPS berkoordinasi siapa yang akan menampung 35 anak."

"Namun keputusannya tetap itu tergantung kepada anak. Sebagian besar anak mau ke sekolah formal," terangnya.

Menurut Tedy, saat rapat dengan DP3A Jawa Barat dan Polda Jabar, Kemenag ikut pendampingan terhadap kasus tersebut secara proporsional.

"Kasus kriminalnya ditangani oleh Polda Jabar, psikologi anak oleh Dinas DP3A, dan Kemenag membina dan menangani kelembagaan serta kelanjutan pendidikan anak-anak tersebut," jelasnya.

 

Artikel ini telah tayang di TribunJabar.id

 

 

Sumber: Tribun Jabar
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved