Mimbar Jumat
Konsep Berkah dan Indikasinya Dalam Eknomi
Kita tahu bahwa dalam pandangan ekonomi pada umumnya ekonomi haruslah sangat materialis, tetapi dalam ekonomi islam materialisme saja tidak cukup.
Oleh : Dr. M. Rusydi, M. Ag
Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam UIN Raden Fatah Palembang
SRIPOKU.COM -- Adalah Monzer Kahf seorang ahli kenamaan dalam bidang ekonomi Islam yang berasal dari Damaskus Suriah, dan berpendidikan barat (University of Utah) mengatakan ekonomi islam adalah cabang dari science of economic yang berparadigma Islami.
Berparadigma islami inilah yang akan membedakan secara fundamental cara pandang (world view), aksioma, dan modelling antara ekonomi islam dan yang lainnya (baca: konvensional).
Kita tahu bahwa dalam pandangan ekonomi pada umumnya ekonomi haruslah sangat materialis, tetapi dalam ekonomi islam materialisme saja tidak cukup.
Ia sekaligus juga harus bermuatan spiritulasime dalam arti bahwa ada kekuatan atau kenyataan spiritual-transendental di belakang setiap fakta ekonomi, dan konsep yang mewakili perbincangan kita kali ini adalah konsep tentang berkah.
Berkah secara Agama
Pada dasarnya konsep berkah sangat berkait dan berkelindan erat dengan konsep, istilah, kono-tasi dan konteks dalam bidang keagamaan.
Ia merupakan manifestasi spiritualitas dan sensibilitas kehidupan Islam yang sejati.
Jangan lupa subscribe, like dan share channel Youtube Sripokutv di bawah ini:

Meskipun tidak tampak, tetapi perwujudannya dapat dirasakan secara individual, social dan juga ekonomi.
Secara singkat dapat dikatakan berkah adalah ekspresi sekaligus manifestasi Islam yang sejati dan universal dalam kehidupan.
Berkah atau barakah dalam istilah Arab secara kebahasaan dapat berarti nilai tambah (al-zi-yadah), kebahagiaan (al-sa’adah), kemanfaatan (al-manfa’ah), dan suci (al-taqdis).
Dan secara istilah dimaknai dengan bertambahnya kebaikan di dalam sesuatu (subut al-khair Allah fi syai) (al-Raghib al-Isfahani, 1997).
Lebih jauh seperti disinggung, al-Tabhatbhai, ia juga dapat bermaka kebaikan yang muncul tanpa diduga dan tidak terhitung pada semua segi kehidupan baik yang bersifat materi dan non-materi.
Dengan demikian kata berkah atau barakah memiliki konotasi yang spesifik berkaitan nilai tambah, kebahagiaan, manfaat dan kesucian yang berasal dari Allah.
Mencari berkah Allah pada dasarnya merupakan dimensi yang teramat penting dalam kehidupan seorang.
Hidup dalam keberkahan merupakan suatu bentuk kehidupan yang didamba-dambakan bagi setiap muslim.
Akan tetapi lantaran informasi dan pengamalan yang sampai kepada kita amat terbatas.
Maka, seringkali kita dapati alih-alih mencari keberkahan Allah dalam sesuatu tetapi yang didapat malah sebaliknya.
Jangan lupa juga subscribe, like dan share channel Instagram Sriwijayapost di bawah ini:

Sasaran dan hikmah agar dapat mencari keberkahan dalam setiap aspek kehidupan, bukanlah se-mata-mata manifestasi lahiriah yang bersifat materi saja, melainkan juga sekaligus sebagai ma-nifesatasi yang bersifat ruhani.
Oleh sebab itu tidak ada polarisasi dalam menggapai berkah apakah dalam aspek materi saja atau ruhani saja, melainkan kedua-duanya baik aspek materi dan juga ruhani.
Internalisasi berkah dalam setiap individu dan sosial selain penting dalam rangka melatih kepeka-an pada aspek mental dan spiritual.
Ia sekaligus juga penting dan bermakna dalam melatih sikap diri terhadap ekonomi dan harta.
Konsep ini mengajarkan kepada kita semua bahwa semua aspek dalam kehidupan ini tidak dapat diukur dengan harta semata, tetapi banyak ukuran lain yang secara hakiki lebih bermakna.
Betapa banyak kita saksikan dalam kehidupan di sekeliling kita, orang yang mempunyai harta yang banyak, tetapi dalam kehidupan sehari-hari kesusahan dalam menjalani kehidupan.
Di dunia ini, kesenjangan penghasilan dan mata pencaharian merupakan sesuatu hal yang lumrah terjadi.
Tetapi dengan mengedepankan konesp berkah baik secara individual dan sosial tidak akan menyebabkan kecemburuan satu dengan yang lain.
Sebab dengan doktrin berkah seorang individu akan senantiasa berpikir bahwa perbedaan rizki yang diperolehnya dibandingkan dengan orang lain adalah sunnatullahberkah.
Jangan lupa subscribe, like dan share channel TikTok Sriwijayapost di bawah ini:

Dan ia selalu percaya bahwa Allah akan selau menambahkan keberkehan dalam setiap aspek kehidupannya selama ia bertakwa kepada-Nya.
Berkah dalam ekonomi
Di sisi lain, kalkulasi materialis-ekonomis-logis yang sering digunakan sebagai ukuran dalam membaca realitas kehidupan sering kali bertolak belakang dengan keberadaan berkah.
Hal ini karena pandangan hidup ekonomi (world view of economic) melakukan pemisahan yang tegas antara aspek positif dan normative dalam ekonomi.
Implikasi dari pemisahan semacam itu, menyebabkan seolah-olah fakta ekonomi merupakan sesuatu yang independen terhadap norma, sehingga memunculkan pandangan bahwa tidak ada hubungan kausalitas antara norma dan fakta.
Dengan kata lain, realitas ekonomi merupakan sesuatu yang independent dan karenanya bersifat obyektif dan universal.
Dalam hukum permintaan misalnya, jika harga barang meningkat maka jumlah barang yang ditawarkan juga akan meningkat (cateris paribus).
Maka keuntungan produsen dengan sendirinya akan ikut naik, tanpa dikaitkan dengan aspek normative dengan mempertanyakan faktor apakah yang mengharuskan produsen untuk mendapatkan keuntungan maksimum (Munrokhim Misanan, dkk: 2009).
Namun, betapa sering dalam kehidupan kita jumpai ukuran materalisme-logis ternyata tidak dapat dengat tepat menggambarkan kenyataan-kenyataan ekonomi yang dihadapi seseorang dalam menjalani dan menegakkan kehidupannya.
Jangan lupa Like fanspage Facebook Sriwijaya Post di bawah ini:

Banyak bukti yang dapat dikemukakan untuk mendukung premis ini, misalnya diberitakan seorang ibu paruh baya yang bekerja sebagai pembantu rumah tangga mampu mengantarkan enam orang anaknya menjadi sarjana.
Ada juga seorang bapak yang bekerja sebagai tukang becak mampu mengantarkan putri tercintanya sebagai sarjana terbaik di salah satu Universitas di Semarang.
Kasus-kasus ini jika dikalkulasi secara materialis-logis tidak akan mungkin dapat dilakukan malah terasa aneh.
Bagaimana mungkin seorang ibu yang bekerja sebagai pembantu ibu rumah tangga dengan gaji yang sangat terbatas mampu membiayai enam orang anaknya hingga semuanya bergelar sarjana.
Dalam beberapa kasus di atas, adaptabilitas berkah pada hakekatnya terjadi pada ekonomi riil yaitu dalam kasus produksi, konsumsi dan distribusi.
Dalam kasus produksi misalanya, ibu yang bekerja menjadi pembantu rumah tangga secara produksi sedang menjajakan keahliannya kepada sektor rumah tangga lain yang membutuhkan, atas supply tenaga kerja ini dia mendapatkan gaji.
Masalahnya kemudian cukupkah gaji ibu tersebut mengcover seluruh kebutuhan enam orang a-naknya hingga akhirnya mereka menjadi sarjana.
Dalam ukuran materialisme logis tidak mungkin gaji ibu tersebut dapat memenuhi kebutuhan enam orang anaknya betapapun kerasnya ibu itu bekerja.

Update 25 November 2021. (https://covid19.go.id/)
Tetapi dalam ukuran berkah kasus itu menjadi mungkin terjadi, Allah SWT melalui caranya sen-diri mengantarkan keberkahan dengan memberikan tambahan kebaikan.
Hal itu muncul tanpa diduga dan tidak terhitung baik yang bersifat materi dan non-materi dalam kehidupan ibu dan enam orang anaknya karena motivasi intrinsik yang kuat (ketakwaan) dalam keluarga itu.
Dalam kasus kedua, seorang anak tukang becak yang mengenyam Pendidikan tinggi dengan fasilitas dari orangtua yang dapat kita bayangkan pasti sangat terbatas karena sang ayah hanyalah seorang pengayuh becak.
Ternyata mampu menyelesaikan Pendidikan sarjananya dengan prestasi terbaik dibandingkan dengan teman-temannya yang lain dengan fasilitas serba berkecukupan.
Dalam kasus distribusi dapat juga dilihat betapa ekonomi Islam sangat menekankan peran distri-busi fungsional dalam pembayaran zakat dan ibadah-ibadah sosial lainnya.
Dengan cara menarik dana zakat dari The Have dan mendistribusikannya kepada The Have Not adalah dalam rangka mencari keberkahan dalam harta.
Harta yang berkah adalah harta yang tumbuh dengan subur, selalu bertambah dan mampu mengentaskan problema-problema saudaranya dalam kehidupan sehari-hari.
Selain dua kasus tersebut dan peran berkah dalam distribusi fungsional, sebenarnya banyak kasus lain di sekitar kita yang menohok paradigma materialism logis.
Ternyata cara pandang yang memisahkan aspek material dengan aspek spiritual tidak mampu menjelaskan fenomena-fenomena tersebut.
Sementara dengan konsep berkah yang melihat ada kekuatan atau kenyataan spiritual-transendental di belakang setiap fakta ekonomi, mampu dengan sangat gamblang menjelaskan-nya. wallahu’a’lam bi al’sawab.