Berita Nasional
Anak Jenderal Achmad Yani Lihat Bapaknya Diseret, Sebelum Peristiwa G30S PKI Ada Suara Seruling
Masih lekat diingatannya, bagaimana ia menjalani masa kecilnya bersama sang ayah, seorang Pahlawan Revolusi Indonesia.
Penulis: Rahmaliyah | Editor: Fadhila Rahma
SRIPOKU.COM -- Sebagai saksi hidup peristiwa mencekam Gerakan 30 September 1965 atau dikenal G30S PKI, sosok puteri Jenderal Achmad Yani mengungkapkan bagaimana sang ayah menjadi tumbal Revolusi
Ia adalah Amelia Achmad Yani, putri ketiga dari delapan bersaudara dari Jenderal Achmad Yani dan Yayuk Rulia.
Masih lekat diingatannya saat ia beusia 7 tahun, bagaimana ia menjalani masa kecilnya bersama sang ayah, seorang Pahlawan Revolusi Indonesia.
Bahkan, menjelang peristiwa G30S PKI ia mengaku merasakan suasana yang berbeda dari biasanya.
Terutama untuk pengawalan ayahnya ditambah dari Batalyon yang lebih seram gayanya.
Baca juga: Mengenang Letjen S Parman yang Jadi Korban Brutal G30S PKI, Ternyata Adik Petinggi PKI, Ini Kisahnya
Selama makan siang, keluarganya kata Amelia Achmad Yani selalu bersama di dalam ruangan makan.
Disana sang ibu sering bicara soal politik, namum Jenderal Achmad Yani tidak suka bicara banyak
Saat akan membicarakan soal Bung Karno, sang Ayah menggunakan bahasa Belanda Tua.
Sementara saat bercanda, Jenderal Achmad Yani sering gunakan bahasa Jawa ke keluarga.
Disebutkan Amelia Achmad Yani, G30S PKI sebagai penghianat bukanlah sebagai pemberontak. Karena, antara Pengkhianatan dan Pemberontak sangat berbeda.
"Kalau pemberontak itu masih berhadapan seperti bapak saya saat dengan Achmad Husein. Sedangkan, penghianat menculik pagi-pagi, membunuh dan membuang," ujarnya dikutip dari Kanal Youtube Ahmad Nowmenta Putra, Kamis (30/9/2021).
Ia juga mengungkapkan pada 30 September malam itu, dirinya mendengar dua kali dering telepon, ada orang main seruling diluar yang tidak dicurigai, lalu ajudan sang ayah dan Batalyon Polisi Militer diminta pulang.
Baca juga: Kesaksiaan Penggali Lubang Buaya G30S, Dua Hari tak Bisa Makan Ingat Bau Busuk
"Jadi kita saat itu hanya bersama 12 orang Pasukan saja, sementara ibu saya di Taman Suropati, di rumah dinas," katanya.
Kemudian, besok pagi harinya pada 1 Oktober menjelang subuh sekitar 200 orang, terdiri dari Cakrabirawa dan pemuda rakyat berbaju hijau.
"Mereka masuk dan turun dari truk langsung menyita senjata, rumah sudah dikepung hanya untuk mengambil satu orang yang sedang tidur. Lalu, adik saya membangunkan bapak dan bapak saya bangun terjadilah dialog yang kasar bentak-bentak saya. Pada denger yang didalam, adik saya bangun dan ngumpet dibawah mesin jahit," ceritanya.