76 Tahun Perjalanan Undang Undang Dasar 1945
Undang Undang Dasar yang disingkat UUD 45, adalah bagian dari hukum dasar kita dalam arti normatif.
Membicarakan 76 tahun perjalanan UUD 1945 merupakan pembicaraan yang bersifat sejarah. Itu dapat dilakukan dari berbagai sudut.
Undang Undang Dasar yang disingkat UUD 45, adalah bagian dari hukum dasar kita dalam arti normatif.
Sebagai bagian dari hukum dalam artinya itu, tinjauan terhadapnya juga harus dilakukan dengan cara pendekatan yang sesuai dengan keadaannya.
Pendekatan semacam itu di dalam ilmu hukum, dapat dilakukan dengan pendekatan yang yurisidis historis-sosiologis.
Dalam pendekatan semacam itu, peristiwa sosial politik yang merupakan unsur dalam perjuangan republik pada saat perjuangan, berlangsung dalam membela tegaknya UUD 45, tidak akan diketemukan secara penuh dan detail.
Hanya dari fakta fakta yang relevan dalam arti tersebut, akan diajukan secara ringkas dan proporsional sebagai argumen dalam menyimpulkan.
Berawal dari sejarah, pada saat UUD 45 disahkan tanggal 18 Agustus 1945. hanya bernama "Oendang-Oendang".
Begitu pula saat UUD tercantum dalam Berita Republik Indonesia Tahun II No 7.tanggal 15 .Februari 1946, istilah yang dipergunakan masih "Oendang-Oendang Dasar" tanpa ada tahun 1945.
Baru setelah Dekrit Presiden 1959 menggunakan UUD 1945 sebagaimana tercantum dalam Lembaran Negara Nomor 75 Tahun 1959.
Jangan lupa subscribe, like dan share channel Youtube Sripokutv di bawah ini:

Dalam perjalanan bangsa selanjutnya, sejak dikeluarkannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang salah satu isinya adalah kembali kepada UUD 45, di dalam konsiderannya mengakui bahwa Piagam Jakarta menjiwai dan merupakan satu kesatuan dengan UUD 1945.
Setelah Dekrit Presiden 5.Juli 1959, diawal pemberlakuannya sangat kondusif dan bahkan dalam per-jalanannya, menjadi keinginan seluruh pihak, termasuk Presiden, DPR dan MPR untuk selalu tetap melaksanakan UUD 45 secara murni dan konsekuen
Pemberlakuan UUD 45 cukup lama bertahan, sejak Dekrit Presiden 1959 sampai 1999, bila dibanding dengan masa-masa awal pemberlakuannya sejak 1945 sampai 1959.
Bahkan dalam pelaksanaannya, baik eksekutif, legislatif maupun Yudikatif selalu menekankan agar pelaksanaan UUD 45 harus dilaksanakan Secara murni dan konsekuen.
Komitmen untuk melaksanakan UUD 45 secara murni dan konsekuen tersebut, salah satunya diwujudkan dengan ketatnya aturan terhadap keinginan untuk melakukan perubahan terhadap UUD 45 yaitu yang terlebih dahulu harus melalui referendum.
Sebagaimana tercantum dalam Ketetapan MPR Nomor IV/MPR/1983 tentang Referendum.
Namun reformasi 1999 telah membawa perubahan yang cukup mendasar, karena salah satu tuntutannya adalah melakukan perubahan terhadap UUD 45 karena sebagian dari isinya dipandang perlu disesuaikan dengan perkembangan kehidupan ketatanegaraan dan perpolitikan waktu itu kurang relevan sehingga perlu dilakukan penyesuaian.
Jangan lupa juga subscribe, like dan share channel Instagram Sriwijayapost di bawah ini:

Karena tuntutan tersebut, pada tahun 1999-2002, MPR melakukan perubahan terhadap UUD 45 dan sejak itu pula mulai terjadi perubahan perkembangan ketatanegaraan di Indonesia.
Pada tanggal 21 Mei 1998 ,Presiden Soeharto menyatakan berhenti dari jabatan presiden.
Pada 1999 sampai 2002, MPR melakukan Perubahan UUD 45 yang menjadi tuntutan reformasi 1998.
Pada awal era reformasi, muncul desakan dari masyarakat yang menjadi tuntutan reformasi berbagai komponen bangsa, termasuk mahasiswa dan pemuda.
Tuntutan itu antara lain sebagai berikut :
1. Amendemen (perubahan ) UUD 45.
2. Penghapusan dwifungsi ABRI
3. Penegakan supremasi hukum, penghormatan HAM, serta pemberantasan KKN (korupsi, kolusi dan nepotisme).
4. Desentralisasi dan hubungan yang adil antara pusat dan daerah (otonomi daerah),
5. Mewujudkan kebebasan pers,
6. Mengujudkan kehidupan demokrasi.
Tuntutan terhadap perubahan UUD 45 yang digulirkan berbagai elemen masyarakat dan kekuatan politik didasarkan pada pandangan bahwa UUD 45, dianggap belum cukup memuat landasan bagi kehidupan yang demokratis, pemberdayaan masyarakat dan penghormatan hak asasi manusia.
Selain itu didalamnya terdapat pasal pasal yang menimbulkan multitafsir dan membuka peluang bagi pe-nyelenggara negara yang otoriter, sentralistik, tertutup, dan KKN yang menimbulkan merosotnya ke-hidupan nasional di berbagai bidang kehidupan.
Jangan lupa subscribe, like dan share channel TikTok Sriwijayapost di bawah ini:

Perubahan UUD 45 pertama kali dilakukan pada sidang umum MPR tahun 1999 yang menghasilkan per-ubahan pertama.
Setelah itu dilanjutkan dengan perubahan kedua pada sidang umum tahunan MPR tahun 2000.
Perubahan ketiga pada sidang tahunan MPR Tahun 2001,dan perubahan keempat pada sidang tahunan tahun 2002.
Ditinjau dari segi sistematika, UUD 45 sebelum perubahan terdiri atas tiga bagian (termasuk penama-annya) yaitu;
1. Pembukaan (preambule);
2. Batang Tubuh;
3. Penjelasan.
Setelah perubahan, UUD 45 terdiri atas dua bagian, yaitu :
1. Pembukaan;
2. Pasal-pasal (sebagai ganti istilah Batang Tubuh).
Perubahan UUD 45 yang dilakukan mencakup 21 bab, 73 pasal, dan 170 ayat, 3 pasal Aturan Peralihan dan 2 pasal Aturan Tambahan.
Dengan perubahan yang dilakukan pada tahun 1999-2002, UUD 45 memuat antara lain pengaturan prinsip cheks and balances system, penegasan otonomi daerah, penyelenggara pemilihan umum, pe-nyelenggara kekuasaan kehakiman yang merdeka.
Termasuk pengaturan institusi lainnya terkait dengan hal keuangan dan lain lain dalam rangka penyempurnaan penyelenggaraan ketatanegaraan.
Jangan lupa Like fanspage Facebook Sriwijaya Post di bawah ini:

Perubahan terjadi atas pasal dan ayat dan amat fundamental.
Pembukaan disepakati untuk dipertahankan dan dinyatakan berada di luar jangkauan perubahan UUD 45. Aturan perubahan hanya menyangkut pasal pasal dan ayat, tidak dapat menjangkau Pembukaan.
Bentuk negara kesatuan dinyatakan dengan tegas sebagai substansi yang tidak dapat diubah (non-amendable).
Sistem ketatanegaraan dengan MPR sebagai pemegang kekuasaan tertinggi dan merupakan penjelmaan seluruh rakyat yang memiliki kewenangan salah satunya memilih Presiden dan Wakil Presiden.
Hal itu telah diganti dengan sistem politik cheks and balance, dimana Presiden dipilih langsung oleh rakyat untuk masa 5 tahun.
Seseorang hanya boleh menjadi Presiden berturut turut untuk 2 masa jabatan.
Hasil perubahan menegaskan Presiden sebagai Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan.
Pemilihan presiden dilakukan langsung oleh rakyat, dimana calon presiden dicalonkan satu paket ber-pasangan dengan calon wakil presiden oleh partai atau gabungun partai peserta pemilu.
Pemenang adalah pasangan yang memperoleh suara lima puluh persen tambah satu secara nasional dan suara yang diperoleh itu tersebar sebagai mayoritas di paling tidak dua pertiga provinsi.

Update 8 Agustus 2021. (https://covid19.go.id/)
Bila tidak yang memperoleh dukungan demikian maka digelar pemilihan ulang.
Pemenang pertama dan kedua dalam putaran pertama akan bertanding dalam putaran kedua.
Kali ini pasangan yang memperoleh suara paling banyak dinyatakan sebagai pemenang.
Aturan ini ditetapkan demikian untuk menghadapi kenyataan bahwa masyarakat Indonesia itu tersebar dan amat majemuk.
Menjadi Presiden kiranya jangan hanya dengan dukungan jumlah suara yang terpusat di daerah tertentu.
Supremasi hukum ditegaskan dengan menyatakan bahwa Indonesia adalah negara hukum, bukan se-kadar negara berdasarkan hukum.
Prinsip itu menegaskan bahwa tidak ada pihak, termasuk Pemerintah, yang tidak dapat dituntut berdasarkan hukum.
Kekuasaan kehakiman ditegaskan merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.
Pembentukan Lembaga lembaga negara baru dalam bidang kekuasaan kehakiman, seperti Mahkamah Konstitusi dan Komisi Yudisial adalah untuk menegakkan kekuasaan kehakiman yang merdeka.
Bentuk negara sebagai negara kesatuan diperkokoh.
Tetapi sekaligus dengan itu, memahami kemajemukan bangsa dan luasnya negara, otonomi ditegaskan dan diberikan menurut kehasan daerah.
Kalimat yang digunakan "Negara Kesatuan Republik Indonesia di bagi atas daerah daerah provinsi dan daerah propinsi itu dibagi atas kabupaten dab kota, dan tiap tiap propinsi, kabupaten dan Kota itu mempunyai pemerintahan daerah, yang diatur dengan undang undang”, menegaskan bahwa kewenangan otonomi daerah berasal dari pelimpahan kedaulatan nasional melalui undang undang.
Proses pembuatan undang undang pada dasarnya adalah proses politik, tidak lepas dari tawar menawar atau dominasi mayoritas, yang mengandung kemungkinan terjadi inkonsistensi undang undang terhadap UUD 45.
Demikianlah sejarah singkat dari Konstitusi kita yang sudah memasuki usia ke 76 tahun.
Semoga dengan bertambah nya usia akan menjadikan negara yang aman makmur adil dan berkeadilan berdasarkan Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 dan dilanjutkan dengan lahirnya Pancasila serta Prokla-masi Kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus 1945 dan di sahkannya UUD 1945.
Sebagai dasar bernegara, berdasarkan Pancasila serta menjaga Negara Kesatuan Republik Indonesia yang ber Bhinneka Tunggal Ika. (Albar S Subari SH, MH/Ketua Koordinator JPM Sriwijaya Sumsel)
