Peringatan Hari Buruh Internasional, 9 Poin UU Cipta Kerja Jadi Sorotan, Pencabutan Jadi Prioritas
Pencabutan Undang-undang Cipta Kerja menjadi prioritas utama pada unjuk rasa Peringatan Hari Buruh Internasional, Sabtu 1 Mei 2021.
SRIPOKU.COM -- Pencabutan Undang-undang Cipta Kerja menjadi prioritas utama pada unjuk rasa Peringatan Hari Buruh Internasional, Sabtu 1 Mei 2021.
Buruh dari Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI), dan Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI) melaksanakan aksi unjuk rasa pada Hari Buruh, Sabtu (1/5/2021).
Tuntutannya adalah untuk mencabut Undang-Undang No 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UUCK).
Buruh juga menyampaikan petisi kepada Mahkamah Konstitusi (MK) dan Presiden Republik Indonesia.
Menurut Presiden KSPI Said Iqbal, petisi tersebut diberikan agar hakim dari MK memperhatikan secara sungguh-sungguh uji materi dari Undang-Undang Cipta Kerja yang telah diajukan oleh buruh sebelumnya.
"Ada sekitar 69 pasal yang kita uji materikan di dalam klaster ketenagakerjaan, antara lain ada 9 isu prioritas dari 69 pasal tersebut," kata Said di lokasi aksi, Sabtu.
Baca juga: Mantan Komandan KRI Nanggala 402 Kolonel Iwan,Terbujur Sakit Terpaksa Jual Rumah untuk Pengobatan
Baca juga: 10 Hari KRI Nanggala Dinyatakan Tenggelam, Suasana Haru Tabur Bunga, Keluarga Korban Pingsan
Baca juga: Jadwal Pendaftaran Kartu Prakerja Gelombang 17 Akan Segera Diumumkan, Begini Penjelasannya
Berikut adalah sembilan isu prioritas tersebut.
Isu pertama adalah terkait pengaturan upah minimum. Dalam dokumen petisi yang diterima Kompas.com, dinyatakan bahwa, pengaturan upah minimum dalam Undang-Undang Cipta Kerja menunjukan tidak adanya perlindungan dari negara untuk mengupayakan kesejahteraan buruh. Dokumen petisi tersebut ditandatangi oleh Said dan Presiden KSPSI Andy Gani.
"Untuk mencapai tujuan bernegara dalam pengaturan upah minimum seharusnya ditetapkan; UMK tanpa syarat; UMSK tetap diberlakukan; dan dasar penetapan UMP dan UMK bersifat kumulatif, yaitu inflasi dan pertumbuhan ekonomi, dimana setiap 5 tahun sekali dilakukan peninjauan ulang terhadap KHL," tulis Said dalam dokumen petisi tersebut.
Isu prioritas kedua adalah terkait pesangon. Buruh tidak setuju dengan ketentuan pesangon yang diatur dalam Undang-Undang Cipta Kerja.
"Semestinya, untuk mencapai tujuan bernegara, perlindungan dan kesejahteraan bagi buruh diwujudkan dengan membuat pengaturan: nilai UP, UPMK, dan UPH tidak ditetapkan sesuai ketentuan (nilai standar), melainkan bersifat paling rendah (nilai minimum) agar terbuka peluang bagi perusahaan untuk memberikan nilai lebih kepada buruh; dan nilai UPH 15% tidak dihilangkan," kata Said.
Isu prioritas ketiga adalah terkait outsourcing.
"Kami tidak setuju kalau outsourcing tidak dibatasi, tidak dibatasi jenis pekerjaannya maupun tidak dibatasi antara kegiatan pokok dan kegiatan penunjung," kata Said.
"Akibatnya apa? Seluruh perusahaan di Indonesia boleh menggunakan outsourcing 100 persen, this is modern slavery, ini adalah perbudakan zaman modern, istilah daripada hukum internasional ILO," imbuhnya.
Kemudian, isu prioritas keempat adalah terkait Pengaturan Karyawan Kontrak (PKWT). Dalam dokumen petisi, tertulis bahwa kebijakan PKWT dalam UU Cipta Kerja tidak sesuai dengan tujuan bernegara karena buruh dapat dikontrak dalam jangka pendek, tanpa periode, dan secara terus menerus atau tanpa batas waktu sehingga menyebabkan buruh kehilangan kesempatan menjadi karyawan tetap (PKWTT).