OPINI

Problematika Kebijakan Asimilasi di Rumah Bagi WBP

Kementerian Hukum dan Ham RI telah dua kali mengeluarkan kebijakan guna pencegahan dan penangulangan penyebaran Covid-19 di Lapas/Rutan/LPKA

Editor: Welly Hadinata
IST
Armicho Roy Jaka Suma, S.Sos 

SRIPOKU.COM - Seperti kita ketahui sebelumnya, Kementerian Hukum dan Ham RI telah dua kali mengeluarkan kebijakan guna pencegahan dan penangulangan penyebaran Covid-19 di Lapas/Rutan/LPKA.

Kebijakan pertama di keluarkan pada akhir bulan maret tahun 2020 melalui terbitnya Peraturan Menteri Hukum dan HAM No.10 Tahun 2020 Tentang Syarat Pemberian Asimilasi Dan Hak Integrasi Bagi Narapidana Dan Anak Dalam Rangka Pencegahan Dan Penanggulangan Penyebaran Covid-19 dan Keputusan Menteri Hukum dan HAM nomor MHH-19.PK/01.04.04, tentang Pengeluaran Dan Pembebasan Narapidana Dan Anak Melalui Asimilasi Dan Integrasi Dalam Rangka Pencegahan Dan Penanggulangan Penyebaran Covid-19 yang berlangsung Terhitung pada tanggal 1 april 2020 kebijakan tersebut mulai berlaku dan telah dilaksanakan di seluruh Lapas/Rutan/LPKA seluruh indonesia dan berakhir hingga 31 desember 2020.

Selanjutnya Kementerian hukum dan HAM RI Memperpanjang pengeluaran narapidana melalui Program asimilasi di rumah dengan mengeluarkan Pemenkumham No.32 Tahun 2020 yang dimulai awal bulan januari 2021 hingga tanggal 21 Juni 2021 melalui dimana memiliki tujuan yang masih sama yaitu dalam rangka pencegahan dan penanggulangan Covi-19 di Lapas/ Rutan/LPKA.

Jika dilihat dari syarat dan ketentuan bagi narapidana antara Permenkumham No.10 Tahun 2020 Tentang Syarat Pemberian Asimilasi Dan Hak Integrasi Bagi Narapidana dan Permenkumham No 32 Tahun 2020 terdapat penekanan perbedaan persyaratan bagai warga binaan maupun anak didik pemasyarakatan yang memenuhi persyaratan untuk asimilasi dirumah.

Kebijakan sebelumnya sebagai persyaratan administrasi untuk melihat perubahan perilaku narapidana sebagai pertimbangan mendapatkan asimilasi dirumah hanya berdasakan laporan perkembangan pembinaan warga binaan pemasyarakatan yang ditandatangani oleh Kepala Lembaga Pemasyarakatan, sedangkan dalam Permenkumham No 32 Tahun 2020 persyaratan yang digunakan lebih mendetail.

Pengeluaran narapidana harus mendapatkan rekomendasi dari pembimbing kemasyarakatan melalui penelitian kemasyaratakan, dimana memuat assesment resiko pengulangan tindak pidana bagi narapidana guna melihat resiko pengulangan tindak pidana serta perkembagan klien selama menjalani pembinaan di Lapas/Rutan/LPKA.

Jika narapidanaa atau anak mendapatkan kategori resiko pengulanggan tinggi, maka pemberian hak asimilasi tersebut tidak dapat diberikan.

Terbitnya Permenkumham no 32 Tahun 2020 maka pemberian asimilasi dirumah bagi narapidana dan anak didik pemasyarakatan lebih selektif dan dapat mencegah serta menekan pengulangan tindak pidana kembali bagi narapidana dan anak didik pemasyarakatan yang memperoleh program asimilasi di rumah.

Tentunnya kebijakan pengeluaran narapidana melalui program asimilasi dirumah menimbulkan pro dan kontra dimasyarakat, secara khusus bagi narapidana bersama dengan keluarga narapidana kebijakan tersebut dianggap sebgai anugrah.

Narapidana dapat bekumpul kembali bersama dengan keluarga, narapidana dan anak didik pemasyrakatan sangat berterimakasi dengan adanya kebijakan tersebut.

Kebijakan tersebut juga terbukti telah membantu meringankan beban negara dengan memangkas anggaran guna memberi makan narapidana dan anak didik pemasyarakatan.

Sejauh ini data yang terhimpun oleh penulis dari Ditjen Pemasyarakatan telah memangkas keuangan Negara menjadi hemat sekitar 260 milyard atas program asimilasi tersebut, dengan perhitungan biaya hidup Rp 32.000 per hari bagi narapidana dan anak didik pemasyarakatan dikalikan 30 ribu narapidana dikalikan lagi dengan 270 hari dari bulan April hingga bulan Desember 2020.

Tentunya kebijakan tersbut sangat baik bagi pengurangan beban negara guna memberi makan narapidana di Lapas/Rutan/LPKA. Terlepas dari manfaat positif dari kebijakan pengeluaran narapidana tersbut juga terdapat problematika di masyarakat, masyarakat memiliki kekauhatiran dan ketakutan sendri dengan pengeluaran narapidana tersebut.

Masyarakat masih belum percaya dengan stigma negatif yang melekat pada narapidana, terdapat kekhuhatiran di masyarakat dengan pengeluaran narapidana tersebut membuat resah situasi ketertiban sosial dan keamanan sosial di masyarakat akan menjadi terganggu.

Melihat problema tersebut penulis menyimpulkan masyarakat belum memberikan kepercayaan seratus persen bagi narapidana, pasalnya masyarakat tidak mengetahui pola pembinaan di Lapas/Rutan/LPKA. Penjara dalam perkembanganya di masyarakat telah mendapatkan stigma yang menyeramkan di mata masyarakat, stigma yang melekat di penjara digambarkan sebagai tempat yang  menyeramkan dan penuh dengan penyiksaan sebagai bentuk sanksi dan bagian dari sistem hukum yang memiliki fungsi, seperti fungsi penderitaan bagi pelanggar hukum agar membuat efek jera, juga sebagai fungsi pengasingan untuk mengurung seseorang disatu tempat dan mencegah bersangkutan berinteraksi dengan masyarakat.

Halaman
12
Sumber: Sriwijaya Post
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved