Mengenang Cinta yang Menggenang Bakda Hujan
Kesan ketiga, penulis cenderung membuat kabur latar yang ada sehingga pembaca bebas saja untuk menafsirkan di mana sebetulnya kejadian ini terjadi
Ada adegan perselingkuhan.
Adegan bercinta secara seksual.
Yang semuanya dicoba dibungkus.
Di cerita “Mendua”, saya pikir hampir mirip.
Cerita perselingkuhan yang juga saya dibungkus dengan metafora.
Cerita yang kemudian menjadi kontemplasi personal dengan gaya filosofis.
Di banyak cerita, ada kecenderungan tokoh bersolilokui.
Ini ditandai dengan bagian-bagian kalimat yang dibikin miring.
Sebetulnya tanpa dibikin miring pun tak masalah, tapi ini tentu strategi teks yang dilakukan penulis.
Nah, cerita menjadi lebih sadar plot mulai cerita ke delapan.
Cerita berjudul “Lakon” ini saya pikir merupakan cerita terbaik.
Ini cerita yang menyinggung mengenai penciptaan pertama juga perseteruan abadi umat manusia dan iblis yang terus berupaya menggoyahkan iman.
Menarik sekali bagaimana cerita menghadirkan sosok manusia dan makhluk halus yang berdialog.
Lagi-lagi berdialog, seolah menegaskan keinginan untuk mendiskusikan sesuatu, mungkin mempertanyakan atau menantang keimanan.
Kesan ketiga, penulis cenderung membuat kabur latar yang ada sehingga pembaca bebas saja untuk menafsirkan di mana sebetulnya kejadian ini terjadi.
Tidak ada acuan yang spesifik tentang latar, kecuali di cerita “Berlayar” penulis menyebutkan Pulau Tikus, yang mengacu pada sebuah pulau yang berada di lepas pantai Kota Bengkulu.
Strategi semacam ini membuat pembaca merdeka sepenuhnya, tetapi ini membuatnya jadi seolah-olah tidak berpijak.
Sebagai seorang yang gemar sekali ketika membaca hal-hal yang sangat dekat dengan saya, misalnya dekat dengan sejarah hidup, letak geografis, dan kebudayaan.
Hal-hal itu akan membuat saya lebih bersemangat dan bergairah untuk membacanya.
Dengan latar yang seperti bisa di mana saja, saya justru seperti tidak diajak menjelajah ke mana-mana.
Kesan keempat, cerita di buku ini bergerak dengan lincah.
Saya bertanya-tanya, apakah cerita ini nyambung ke cerita berikutnya.
Setelah membaca sekian cerita, bolehlah pembaca menganggap cerita-ceirta ini berhubungan, tapi boleh juga dianggap terpisah.
Saya mendapati cerita-cerita ini diceritakan dengan lancar.
Kelincahan bercerita ini adalah satu modal tersendiri dalam bercerita atau menulis.
Sebab dengan begitulah penulis dapat mempertahankan pembaca agar terus menyimak atau membaca sampai selesai.
Apakah akhirnya nanti pembaca akan senang atau malah kecewa dengan cerita tersebut, itu hal lain, tetapi telah sanggup membuat pembaca bertahan untuk menyelesaikan adalah satu hal yang sangat penting.
Harapan saya, selain kelancaran bertutur, penulis perlu bertungkus lumus lagi menjelajahi tema dan menggarap bahasa.

Tema cinta sudah biasa ditulis, tetapi bagaimana tetap menarik dan awet dikenang, dalam kasus buku dengan judul cinta, seperti Cinta Tak Pernah Tepat Waktu, Cinta Tak Pernah Mati, Cinta Tak Pernah Tua, kita menemukan tokoh-tokoh cerita hadir dengan kerumitan atau kompleksitas permasalahan dan penulis menuturkan ceritanya dengan mendayagunakan bahasa hingga pembaca mencapai momen katarsis dan mengalami “kenikmatan tekstual”.
Saya menebalkan ungkapan-ungkapan asyik yang dihasilkan penulis, cerita “Bertemu”; “besar harapanku ada juga jembatan yang bisa menghubungkan hatiku dengan hatinya”; “parasnya yang sendu, muka yang ditekuk seribu”.
Cerita “Bersama”; dialog “Aku ingin seperti hujan, selalu tabah” menunjukkan alusi ke puisi SDD.
Cerita “Pelampiasan”; “kau datang pada malam minggu dengan membawa martabak rindu”.
Saya berharap ada banyak lagi ungkapan-ungkapan berbahasa semacam ini dalam cerita-cerita penulis kelak.
Seperti nasihat para teoretikus naratologi, cerita yang baik itu dapat dilihat dari capaian literernya, yang meliputi isi dan bentuk.
Ketika membayangkan literatur, kita akan selalu sepakat, cerita dan penceritaan sama-sama penting dan harus mendapat perhatian.
Kiriman Wendy Fermana, pengarang dan pengajar bahasa